Perkembangan epistemologi pemikiran Islam yang cenderung fokus pada teks suci (baryani) dan mengabaikan penggunaan rasionalitas (burhani) secara maksimal, diperkirakan menjadi faktor utama yang mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam hal iptek.
Berangkat dari Hellenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif, para sarjana muslim pada masa kejayaannya leluasa menyerap dan memodifikasi postulat-postulat Al-Qur’an dengan mengetengahkan tradisi berpikir empirikal-eksperimental sehingga menjadi tradisi filsafat sains.
Usaha tersebut dilakukan dengan mendayagunakan perangkat-perangkat intelektual sebagai jalan mencari jawaban tentang hakekat realitas, baik yang nyata (fisik) maupun yang gaib (metafisik). Dari revolusi filsafat di tangan kaum muslimin itu, lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas postulat-postulat Qur’ani.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam ketika ilmu pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX sampai XII. Semangat mencari kebenaran dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam saat kekaisaran Romawi jatuh. Semangat tersebut kemudian dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah, simpul H.G. Wells, orang Islam adalah bapak angkatnya. Lewat perjalanan sejarah umat muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.
Hanya saja, setelah memasuki abad XII M, pergumulan pemikiran kaum muslim sedikit mulai meninggalkan tradisi pelacakan filsafat, khususnya filsafat sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis dan asketisme. Pemikiran kaum muslim lari dari dunia materi atau kesadaran kosmis menuju dunia sufisme.
Pentakwilan secara rasional terhadap teks-teks Qur’an menjadi haram. Pintu ijtihad ditutup rapat-rapat. Kegiatan berfilsafat mulai dihujat, dan para filosof mulai dicap kafir. Islam kemudian direduksi sebatas persoalan-persoalan ritual semata, atau sekadar ajaran-ajaran moral yang melangit. Pada fase inilah umat Islam menuju pintu gerbang awal kemunduran dan keredupan mercusuar peradabannya.
Epistemologi Islam Kontekstual
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja, dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada, corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani yang sangat sufistik lebih mendoninasi. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan penggunaan rasionalitas (burhani) secara optimal.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan akal, tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Segenap aktivitas didominasi oleh otoritas teks (wahyu) sebagai sumber utama kebenaran. Penggunaan teks yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, sebab epistemologi ini tidak mampu merespons perkembangan zaman.
Epsitemologi bayani selalu menempatkan akal sebagai sumber sekunder. Hal ini mengakibatkan akal terpasung di bawah bayang-bayang teks sehingga tidak dapat mendukung dan melengkapi teks.
Metode irfani dalam kritik epistemologi juga bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekadar pemikiran yang paling rendah, bentuk pemahamannya pun tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism. Apa yang mereka alami mungkin benar, atau barangkali kebenaran karena kebetulan, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.
Pendekatan irfani bersifat suprarasional, menafikan kritik atas nalar, serta berpijak pada logika paradoksal di mana segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya. Akibatnya, epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.
Berpijak pada Epistemologi Burhani
Dalam menyikapi kemunduran iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, menurut saya, seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi burhani yang dipandu oleh kebersihan hati sebagai manifestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti mengabaikan teks. Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Dalam hal ini, saya setuju dengan pendapat Harun Nasution yang menempatkan manusia dan akalnya sebagai penentu perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan teks. Dan patokan ini perlu mengutamakan isi teks (Al-Qur’an) yang masih bersifat global. Tujuannya adalah untuk memberikan kekuasaan kepada manusia agar dapat menyesuaikan realitas zaman yang terus berubah.
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti sebatas akal belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktikkan oleh para ilmuan Barat.
Baca juga:
Pikiran brilian yang dipandu oleh hati jernih akan menjadikan iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi. Kegersangan yang dirasakan manusia modern saat ini timbul akibat iptek ciptaan mereka hanya didasari oleh rasionalitas belaka dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan iptek atas segalanya dan mengabaikan potensi jiwa atau rasa. Akibatnya, mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.
Kebangkitan Dunia Islam
Keseimbangan antara pikiran dan rasa ini begitu penting. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya juga adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada dua pilar ini disebut Al-Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu mengintegrasikan kekuatan pikiran dan rasa, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut Al-Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran (QS. al-Baqarah: 269).
Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang. Pikiran dan rasa harus diintegrasikan secara mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar.
Epistemologi sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Rumusan-rumusan epistemologi para Filosof muslim klasik harus disikapi dengan kritis dan tidak boleh diterima begitu saja hanya karena terlanjur berlabel Islam. Setiap perkembangan baru dalam dunia epistemologis mesti disikapi secara arif dengan prinsip menerima secara terbuka setiap perkembangan terbaru yang baik, tanpa menafikan peninggalan-peninggalan lama yang masih relevan.
Perhatian yang mendalam terhadap epistemologi yang kontekstual terhadap tuntutan zaman akan mengantarkan umat Islam pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang benar, logis, rasionalis, dan ilmiah. Pada waktu yang akan datang, ini akan membawa kita kepada penemuan-penemuan baru yang berguna bagi kemashalatan manusia. Dan akhirnya, harapan besar akan kebangkitan kembali dunia Islam yang telah dicanangkan beberapa dasawarsa silam bukan lagi sesuatu yang mustahil untuk diraih.