Professional Google Map Reader

Panduan Sederhana Memahami Rukyat dan Hisab

Agus Ghulam Ahmad

5 min read

Hari ini kita hampir tak pernah berdebat soal hitungan kalender Masehi. Seluruh dunia seragam. Tahun kabisat disepakati jatuh tiap empat tahun. Selebihnya tak ada perubahan berarti. Namun, saat bicara soal kalender Hijriah, nyaris tiap tahun selalu ada perdebatan, lebih-lebih ketika bulan puasa. Hal ini tak lain karena metode penetapan awal bulan dalam Islam terbagi dua: rukyat dan hisab.

Rukyat adalah metode konvensional yang diterapkan sejak zaman Nabi Muhammad, dengan cara melihat langsung wujud hilal (bulan sabit) di langit, yang dalam Al-Qur’an diibaratkan seperti ‘pelepah kurma’. Sementara hisab menggunakan perhitungan matematis dan astronomis untuk menentukan posisi hilal awal bulan.

Ilmu matematika dan astronomi sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad hidup. Namun, dalam banyak riwayat, ia selalu menentukan awal puasa dengan metode yang mungkin digunakan tiap orang, yaitu rukyat. Misalnya, dalam hadis riwayat Bukhari, Nabi Muhammad bersabda, “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (akhiri Ramadan) karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), sempurnakanlah bilangan Sya’ban jadi 30 hari.”

Maksud dari terhalang adalah, jika hilal tak dapat dilihat entah karena memang belum muncul atau langit mendung sehingga menghalang-halangi penampakannya.

Baca juga:

Sementara itu, metode hisab untuk menentukan awal bulan baru diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyyah sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Oleh karena itu, banyak ulama akhirnya simpang pendapat soal penentuan awal bulan: antara mengikuti praktek di zaman nabi dan sahabat atau menggunakan metode yang notebene ‘baru’ dipakai belakangan.

Di Indonesia, perdebatan soal ini kerap terdengar saban menjelang Ramadan dan Lebaran. Sering kali juga berujung dengan riak-riak keributan antara penganut mazhab rukyat dan hisab. Umumnya, orang-orang memandang dua ormas Islam terbesar di Indonesia sebagai perwakilan masing-masing mazhab, NU sebagai penganut rukyat dan Muhammadiyah sebagai penganut hisab. Meskipun begitu, dalam kenyataannya kesimpulan tadi belum tentu tepat.

Tulisan ini tak akan membahas panjang lebar soal teknis penentuan awal bulan berdasarkan masing-masing metode, tetapi bagaimana kita menyikapi perbedaan yang ada. Harapannya, semoga kita bisa sama-sama bersepakat untuk menerima perbedaan itu dan memberi ruang untuk keragu-raguan dalam keyakinan kita bahwa pendapat kita belum tentu benar, begitu pula sebaliknya.

Sepeninggalan Nabi Muhammad, Perbedaan adalah Keniscayaan

Nabi Muhammad baru menunaikan ibadah haji sepuluh tahun setelah ia hijrah ke Madinah, kira-kira setahun sebelum ia wafat. Itu adalah ibadah hajinya yang pertama dan terakhir kali. Umat Islam menyebutnya sebagai Haji Wada’ atau haji perpisahan. Di Padang Arafah, saat itu ia berkhutbah:

“Sesungguhnya waktu kini telah berputar kembali seperti ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada 12 bulan, di antaranya empat bulan haram: tiga berturut-turut Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, lalu Rajab.”

Ulama sepakat ibadah haji Nabi Muhammad waktu itu tepat berada pada bulan Zulhijah, dan waktu wukufnya di Arafah tepat pada hari kesembilan Zulhijah. Sebagian mengatakan itu pula sebabnya Nabi Muhammad baru berhaji tahun itu, sebab ia menunggu hingga harinya pas sesuai petunjuk Allah. Mengapa begitu? Karena dulu orang Arab gemar mengubah-ubah pembagian bulan seenaknya. Praktik itu disebut an-nasi’.

Sejak lama orang Arab percaya ada bulan-bulan haram di mana mereka harus gencatan senjata dan tak boleh berperang, yaitu empat bulan yang disebut Nabi Muhammad sebelumnya. Namun, mereka suka mengakalinya agar bisa terus berperang. Gara-gara itu, dalam setahun bisa terdapat 13 bulan. Perhitungan hari jadi kacau.

Nabi Muhammad lantas mengoreksi ini. Saat Haji Wada’ ia memberi ultimatum bahwa tak ada penambahan atau pengurangan bulan lagi setelah itu. Waktu diulang kembali dari awal, setahun hanya 12 bulan. Ini sekaligus menandakan perhatiannya terhadap ketepatan waktu.

Hingga ia wafat, relatif tak ada perbedaan di antara umat, sebab segala persoalan menyangkut agama bisa langsung dirujuk kepadanya. Namun, keadaannya jadi berbeda sepeninggalan Nabi Muhammad. Bahkan saat kematiannya, sahabat mulai berdebat apakah nabi sudah wafat atau ruhnya hanya pergi sementara seperti Nabi Musa. Setelah itu mereka berdebat siapa yang berhak menggantikan kepemimpinannya.

Sejak Nabi Muhammad wafat, perbedaan adalah keniscayaan, termasuk soal penentuan awal bulan. Apalagi tidak semua yang ia sampaikan bersifat gamblang dan jelas sehingga terkadang menimbulkan bermacam penafsiran.

Misalnya di satu sisi Nabi Muhammad mengabarkan jika kita tak mampu melihat hilal, maka genapkanlah hitungan bulan jadi 30 hari. Namun, dalam satu riwayat sahih lain, ia bersabda, “Jika kalian terhalang melihat hilal, maka taqdir-kanlah (kira-kirakan).”

Sebagian ulama mengartikan taqdir sebagai istikmal (menyempurnakan 30 hari), tetapi ada juga yang mengartikannya agar kita mengira-ngira apakah hilal sudah muncul atau belum dengan hisab. Mana yang benar? Hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu.

Menimbang Keunggulan dan Keterbatasan Rukyat

Jika di zaman Nabi Muhammad sudah ada ilmu matematika dan astronomi untuk menghitung awal bulan, mengapa ia berpegang pada rukyat ketimbang hisab? Apakah ia menolak hisab dan perkembangan pengetahuan? Tentu tidak, karena Al-Qur’an juga mengakui ilmu tersebut.

Saat mengomentari hadis seputar rukyat, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa pada zaman itu sedikit sekali sahabat yang menguasai ilmu hisab. Oleh karena itulah Nabi Muhammad mengaitkan hukum puasa dan ibadah lain dengan rukyat untuk menghilangkan kesulitan orang-orang.

Hal ini sebagaimana yang juga pernah disampaikan Nabi Muhammad: sesungguhnya kita adalah umat ummi yang tidak menulis dan tidak berhitung. Bulan itu bilangannya begini, begini (sambil memberi isyarat 29 hari dan 30 hari dengan tangannya).

Dari sini rukyat menjadi metode konvensional yang punya keunggulan praktis untuk digunakan banyak orang, sebab siapa pun dengan pengelihatan yang baik dapat melihat hilal, tak peduli tua atau muda, laki-laki atau perempuan, bisa membaca atau tidak. Selain itu, rukyat juga memastikan masuknya bulan baru secara riil.

Namun, di sisi lain metode seperti ini juga bisa dibilang tidak praktis, karena rukyat mengharuskan kita untuk melihat hilal setiap bulan untuk bisa menentukan pergantian bulan. Akibatnya, dengan rukyat semata umat Islam tak akan mampu merumuskan kalender jangka panjang.

Baca juga:

Maka dari itu, jika ada yang bilang NU tak memakai hisab sama sekali, juga keliru. NU sendiri punya lembaga falakiyah (astronomi) yang tiap tahun menerbitkan kalender. Banyak pesantren-pesantren khas NU mempelajari ilmu falak dan beberapa ulamanya juga mengarang kitab dalam bidang ini, seperti Guru Mansur dengan kitab Sullam An-Nayrain. Metode hisab jadi penting karena pembuatan kalender tak bisa mengandalkan rukyat.

Selain itu, rukyat sangat tergantung kepada kondisi cuaca. Hilal bisa saja sudah muncul tetapi tertutupi awan gelap. Dalam skenario lain, mungkin saja di suatu tempat hilal sudah tampak, sedangkan langit sedang mendung di tempat lain. Maka kemungkinan perbedaan awal bulan lebih tinggi ketimbang menggunakan metode hisab.

Menghitung Untung-Rugi Hisab

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar, bulan bercahaya, dan menetapkan tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan hisab.” (QS. Yunus: 5)

Ketika saya bilang Al-Qur’an mengakui ilmu hisab, ayat di atas adalah dalilnya. Dan karena Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, sudah pasti ia juga mengimani ilmu hisab untuk mengetahui bilangan tahun dengan menghitung pergerakan bulan.

Namun, seperti sudah dipaparkan sebelumnya, metode hisab tidak dipakai semasa Nabi Muhammad karena keterbatasannya yang hanya diketahui segelintir orang. Pertanyaannya, lalu bagaimana jika ilmu itu sudah menyebar luas bahkan di kalangan umat Islam seperti sekarang?

Banyak ulama kontemporer berpendapat penentuan awal bulan cukup dengan hisab, seperti pakar hadis Ahmad Syakir. Ia mengatakan bahwa hukum rukyat saat itu ada karena disebutkan sendiri oleh Nabi Muhammad, yaitu banyak orang tak mahir membaca dan menghitung. Maka dari itu, mengikuti kaidah ushul fiqh ‘keberadaan hukum itu tergantung penyebabnya’, sekarang rukyat sudah tak lagi jadi patokan satu-satunya untuk menentukan awal bulan.

Pendapat seperti ini tak hanya ditemui belakangan, tetapi sudah ada sejak lama. Misalnya oleh Ibnu Suraij, seorang ulama bermazhab Syafi’i yang hidup pada abad ketiga hijirah.

Ibnu Suraij mengartikan hadis Nabi Muhammad “jika kalian terhalang melihat hilal, maka taqdir-kanlah” sebagai perintah kepada orang-orang yang dikhususkan Allah dengan ilmu ini untuk mengira-ngirakan posisi hilal menggunakan hisab. Sementara hadis yang menyuruh istikmal ditujukan kepada masyarakat awam.

Ibnu Suraij berpendapat jika seseorang menguasai ilmu hisab dan sudah menentukan awal Ramadan berdasarkan perhitungannya, ia wajib berpuasa berdasarkan itu.

Namun, karena manusia bisa luput, para ulama kemudian merinci lagi persyaratan hisab untuk menentukan awal bulan. Pertama, hitungan tersebut harus qath’i atau pasti dan bisa dipertanggungjawabkan. Kedua, adanya konsensus atau kesepakatan para ahli hisab terhadap hasil tersebut.

Rukyat kemudian menjadi penting untuk membuktikan hasil hisab tadi. Jika hilal tampak dan sesuai dengan perhitungan, hasil hisab bisa dipastikan kebenarannya. Jika hilal belum tampak padahal menurut perhitungan sudah imkan ru’yah (mungkin untuk dilihat), mesti dicek kembali apakah hisabnya sudah benar ataukah kondisi cuaca tak memungkinkan untuk melihat hilal.

Perlu diketahui juga, kondisi hilal mungkin untuk dilihat berbeda-beda di tiap tempat berdasarkan kesepakatan masing-masing. Misalnya, kriteria baru dari Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) menyatakan bahwa hilal dapat dilihat jika sudut ketinggian bulan minimal 3 derajat di atas ufuk. Sementara di negara lain bisa berbeda, seperti di Mesir yang minimal 4 derajat.

Lantas, kiranya metode mana yang lebih pas untuk menentukan awal bulan, rukyat atau hisab? Wallahu a’lam. Namun, saya pribadi lebih condong memilih hisab meskipun berasal dari keluarga NU, sebab di luar penentuan awal bulan, saya juga memakai hasil hisab, seperti waktu salat hingga penentuan arah kiblat.

Kata Gus Baha, kita jangan terlalu anti hisab, karena hisab bahkan bisa menentukan terjadinya gerhana hingga hitungan menit. Sembari guyon ia bilang ke murid-muridnya, “Kalau anti hisab, bakar saja kalender-kalendermu.”

 

Editor: Prihandini N

Agus Ghulam Ahmad
Agus Ghulam Ahmad Professional Google Map Reader

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email