Konsep pluralitas sesungguhnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah Islam, meskipun term ini belum menjadi konsep yang disusun secara sengaja dan sistematis sebagai sebuah teori atau paham.
Rasul berkesempatan memanifestasikan pluralisme ketika beliau membangun sebuah masyarakat kosmopolit di Madinah yang dinamakan dengan Madinah al-Munawarah. Kota Madinah merupakan prototipe dari konsep pluralitas dan kosmopolitan Islam. Di Madinah, orang-orang dari berbagai kelompok agama dan suku bangsa hidup berdampingan secara harmonis. Saking idealnya kota tersebut, para sarjana studi Islam kemudian menjadikan Madinah sebagai contoh konsep masyarakat kosmopolit, egaliter, dan plural dalam masyarakat madani.
Contoh terbaik pluralisme juga diperlihatkan oleh para tokoh Islam ketika membangun peradaban Islam di Andalusia (Spanyol), Eropa Barat. Islam tampil sebagai penguasa politik selama berabad-abad di tanah Eropa tersebut. Islam mengayomi umat agama lain dalam keteraturan yang harmonis, meskipun jumlah umat Islam relatif lebih sedikit. Sejarah menunjukkan, umat Islam tidak menggunakan kekuasaan politik untuk memaksakan pandangan agama kepada orang yang berbeda keyakinan.
Karakteristik pluralisme dalam Islam ini bahkan diakui oleh beberapa penulis Barat, seperti Arnold Toynbee. Dikutip oleh Paul F. Knitter, dari ketiga agama besar penerus ajaran Nabi Ibrahim (Yahudi, Kristen, dan Islam), yang dinilai memiliki reputasi terjelek dalam hal sikap toleransi terhadap agama lain adalah agama Kristen.
Penganut Kristen dinilai bersikap arogan, baik arogansi etnis-teologis sebagai warisan dari tradisi Yahudi, maupun pengaruh Barat sentris yang cenderung menganggap rendah peradaban di luarnya. Sementara Islam memiliki landasan teologis dan pengalaman historis yang panjang dalam mengimplementasikan gagasan tentang pluralisme.
Pluralisme dan Kemutlakan
Karakteristik tersebut kemudian menjadi faktor penopang keberhasilan proses islamisasi di berbagai belahan dunia. Semangat pluralitas pada hakikatnya merupakan prinsip ketauhidan dalam Islam, di mana satu-satunya realitas tertinggi dan berkedudukan mutlak hanya Tuhan, sesuatu selain Tuhan adalah relatif.
Pluralisme agama sering disalahartikan sebagai konsep penyamarataan, semua agama adalah sama benar. Banyak kritik timbul, sebab pandangan tersebut dinilai absurd. Hal ini bisa dimengerti. Disadari atau tidak, dalam logika formal yang banyak dipahami oleh umat beragama, mustahil jika ada lebih dari satu kebenaran yang murni. Keadaan ini yang kemudian menimbulkan kegelisahan, bahkan ketakutan teologis di kalangan penentang gagasan tersebut.
Sebenarnya, apa yang menjadi inti gagasan pluralisme agama? Apa benar konsep ini adalah upaya untuk menyeragamkan atau menyamaratakan kebenaran agama? Persoalan ini memang tidak sederhana, sebab di samping sebuah konsep sosiologis, ini juga merupakan sebuah kontruksi filosofis.
Secara sosiologis, konsep pluralisme relatif tidak ada masalah. Namun, dalam kontek filosofis dan normatif, biasanya polemik akan sangat kuat. Kontek filosofis inilah yang menjadi akar masalah kontroversi ini.
Kita tahu, pada hakikatnya gagasan pluralisme merupakan konsep parenialis, ada satu kebenaran mutlak dan realitas tertinggi, yaitu Allah. Sementara sesuatu yang selain Tuhan adalah nisbi. Tuhan mengintrodusir kebenarannya kepada umat manusia melalui kitab suci, para nabi, filosof, pemikir, dan ayat-ayat (tanda-tanda) yang Ia hamparkan di muka bumi.
Baca juga:
Relasi antara Tuhan dan makhluknya biasanya diibaratkan oleh kaum perenialis dan fenomenologis dengan gerakan cincin konsentris, di mana ada ruang eksoteris yang plural dan esoteris yang bersifat tunggal bergerak secara konsisten menuju Tuhan.
Gagasan pluralisme berpandangan bahwa dalam kontek esoteris, terdapat kesamaan esensial atau kalimah as-Sawa agama-agama di dunia, terutama dalam konsepsi dasar dan tujuan dari semua agama. Kesamaan konsep dasar ini yang kita istilahkan dengan common platform, yaitu agama yang sama-sama berasal dari Tuhan dan memiliki sebuah koneksi historis dan teologis antara para nabi dan rasul yang membawa masing-masing risalah.
Adapun kesamaan tujuan level pencapaian (pusat konsentris) dari semua gerak makhluk (baik dalam lingkup mikro kosmos dan makro kosmos), yaitu menuju kepada kebenaran dan kebahagiaan ilahiah.
Kesamaan Pesan Agama
Berkenaan dengan konsep tentang titik temu agama-agama tersebut, Nur cholis Madjid menerangkan bahwa kesamaan agama bukanlah kesamaan formal dalam aturan-aturan positif (seperti dalam Islam tentang syari’ah) maupun tentang keyakinan tertentu. Islam par excellence memiliki segi-segi perbedaan dengan agama-agama lainnya, meskipun mereka memiliki kedekatan geneologis sebagai agama monotheisme.
Kesamaan di sini adalah kesamaan dalam pesan dasar. Al-Qur’an menyebutkannya dengan kata washiyah, yaitu ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan. Dasar kepercayaan adalah sikap hidup yang hanif atau lurus. Cak Nur mendasarkan konsepsi tentang kesamaan tersebut berdasarkan QS. Al-Imran: 64.
Jelasnya, gagasan kesamaan dalam konsep pluralisme beragama bukan dimaksudkan untuk mengabaikan perbedaan antaragama. Akan tetapi, lebih merupakan upaya mempertemukan kembali kesamaan pesan dasar dari agama-agama yang memiliki koneksi, baik secara geneologis maupun teologis. Perbedaan antara agama mustahil dihapuskan, sebab agama-agama dibawa dari masa yang selisihnya sangat berjauhan. Selain itu, sasaran dan objek pembinaan agama juga berbeda-beda.
Perbedaan dan keragaman ini akan tampak menonjol dalam ranah eksoteris, yaitu lingkup sosiologis atau empirikal. Masalahnya, kebenaran Tuhan yang mutlak dipancarkan ke dalam ruang eksoteris tersebut sehingga spektrum kebenarannya menjadi majemuk, semajemuk manusia yang menerima pesan-pesan suci tersebut.
Konsep pluralisme beragama adalah konsep filosofis sekaligus sosilogis yang berpandangan bahwa kebenaran agama tidak bersifat homogen atau tunggal. Kebenaran agama termanifestasi dalam wujud atau wajah yang beragam. Oleh karena itu, kebenaran yang diterima dan dipahami oleh manusia adalah kebenaran yang bersifat peripheral, sederajat dengan kualitas kerelatifan manusia itu sendiri.
Konsekuensi dari paham pluralisme ini sebenarnya bukan untuk merelatifkan kebenaran semua agama, melainkan untuk memberikan ruang dialog bagi masing-masing agama agar menyempurnakan pandangan menuju kebenaran Tuhan. Ini akan mendorong munculnya satu perspektif keagamaan yang lebih inklusif, egaliter, demokratis, dan damai, sebab penganut agama akan berupaya memahami kebenaran agamanya dalam batas-batas pemaknaan dan keyakinan masing-masing. Mereka tidak harus berpikir bagaimana mengeliminasi peluang munculnya kebenaran-kebenaran lain di luar yang mereka yakini.
Iklim beragama seperti ini yang ingin diwujudkan melalui gagasan pluralisme beragama. Jadi bukan paham untuk menyamarakatan semua agama, seolah-olah tidak ada kebenaran, atau setiap orang dengan bebas bisa pindah-pindah agama semaunya, sesuai dengan kepentingan praktisnya masing-masing.
Dengan demikian, gagasan pluralisme ini merupakan sesuatu yang fundamental dan mendasar untuk diintrodusir kepada masyarakat beragama yang cenderung tertutup (eksklusif), menolak dialog, dan mengembangkan prasangka antarpenganut agama.
Dengan paham pluralisme ini, diharapkan setiap penganut agama dapat menjalankan keyakinanan agama dengan baik dan benar, tanpa harus dibebani pikiran harus pasti benar dan khawatir kalau ada kebenaran lain yang berbeda dengan kebenaran yang diyakininya.
Editor: Prihandini N