sesekali membaca, sesekali menulis dan sesekali bingung.

Piagam Madinah: Landasan Demokrasi dalam Islam

Misrof Aditya

2 min read

Demokrasi tampil sebagai sistem yang banyak diperbincangkan dan dipraktikkan negara-negara di dunia. Terlepas dari perdebatan yang penuh pro-kontra, demokrasi telah teruji dalam laboratorium politik dunia. Hasilnya, peningkatan kesejahteraan masyarakat di negara-negara yang menerapkan demokrasi. 

Banyak negara mengalami gelombang demokratisasi, tetapi beberapa negara Islam tidak mengalaminya. Mereka menanggapi demokrasi secara negatif: mengejek, mencaci, dan mencela konsep politik tersebut. Alasannya, demokrasi lahir dari budaya orang-orang kafir yang gemar membuat kerusakan. Bagi negara Islam, demokrasi adalah gagasan yang menjijikkan.

Negara Islam tak sama dengan negara berpenduduk mayoritas muslim. Negara Islam menggunakan syariat Islam sebagai konstitusinya. Contoh negara Islam adalah Iran dan Arab Saudi. Sementara itu, negara berpenduduk mayoritas muslim salah satunya adalah Indonesia.

Baca juga:

Apa yang menjadi faktor negara-negara Islam menolak konsep politik demokrasi? Ada dua jenis faktor yang mendasari penolakan itu, yakni faktor eksternal dan internal.

Faktor eksternal, salah satunya, penerapan demokrasi yang identik dengan sekularisasi. Contohnya, Turki pada masa kepemimpinan Mustafa Kemal Attaturk. Kala itu, lembaga pendidikan Islam ditutup, organisasi sufi ditekan, dan lain-lain. Kemudian, demokrasi identik dengan politik luar negeri Amerika Serikat. Padahal, kalau dicermati, demokrasi yang diterapkan oleh AS standar ganda—selama kepentingannya tidak terganggu, AS akan diam saja walaupun ada pelanggaran yang mencederai demokrasi.

Faktor internalnya tak lain adalah sistem dan ajaran yang memengaruhi proses berpikir umat. Kebanyakan tafsir dan wacana Islam didominasi oleh pandangan klasik atau tradisional sehingga konsep demokrasi terkesan asing.

Warisan Peradaban Yunani

Demokrasi pertama kali lahir di peradaban dan kebudayaan Yunani. Konsep demokrasi diperkenalkan oleh Plato, lalu dikembangkan oleh sang murid, Aristoteles. Aristoteles membagi bentuk pemerintahan menjadi tiga macam, yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan kekuasaan seluruh rakyat dalam suatu negara. Rakyat memegang kekuasaan tertinggi.

Pada awal perkembangannya, konsep demokrasi telah mendapat tempat tersendiri meski masih minim dalam praktiknya. Pada abad pertengahan, demokrasi sempat redup. Banyak negara menjadi teokrasi—cara memerintah negara berdasarkan doktrin bahwa Tuhan langsung memerintah negara dan hukum negara yang berlaku adalah hukum Tuhan. Pemimpin sewenang-wenang berlindung di balik baju bernama agama. Saat itu, demokrasi meredup dan suara rakyat dibungkam oleh penguasa yang mengatasnamakan Tuhan.

Di masa Renaisans, demokrasi mendapat angin segar. Masa Renaisans diwarnai dengan munculnya berbagai pemberontakan rakyat terhadap penguasa tiran. Pada masa ini, humanisme hadir kembali setelah tenggelam sepanjang abad pertengahan. Manusia yang merasa ditindas oleh kesewenang-wenangan penguasa mulai sadar akan haknya atas kebebasan. Lahirlah Revolusi Prancis yang berlangsung selama enam tahun, mulai dari 1789-1795. Revolusi ini berhasil menjatuhkan Raja Louis XVI yang menjadi ikon kediktatoran Prancis. 

Seiring berkembangnya zaman, demokrasi pun terus berkembang. Demokrasi klasik yang teori dan praktiknya hanya menekankan pada ide bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dengan output kesejahteraan bersama. Kini, demokrasi telah berkembang dan mempunyai tiga ciri, yakni terdapat bentuk pemerintahan atau kekuasaan yang mengatur, ada tujuan yang akan dicapai, serta ada proses untuk membentuk pemerintahan. Ciri ketiga demokrasi modern itu identik dengan pemilihan umum. Selanjutnya, demokrasi diartikan pula sebagai kompetisi dan partisipasi.

Piagam Madinah: Konstitusi Pertama

Salah satu tugas Nabi Muhammad SAW sebagai rasul adalah membentuk masyarakat yang ideal. Nabi tidak mungkin membentuk tatanan masyarakat ideal di Mekah. Maka dari itu, Nabi hijrah ke Madinah. Tindakan pertama Nabi setelah hijrah adalah membentuk tatanan masyarakat yang berkualitas dengan menetapkan suatu piagam yang disebut Piagam Madinah atau Mitsaq al-Madinah. Para sarjana Barat menyebutnya Konstitusi Madinah.

Piagam Madinah disebut konstitusi karena merupakan hasil kesepakatan bersama yang memuat tata dan aturan hidup komunitas yang di wilayah Madinah waktu itu. Akademisi Ziauddin Sardar mengatakan bahwa negara Madinah menjadi model peradaban muslim ideal di masa depan.

Sebelum mengusulkan Piagam Madinah, Rasulullah menjajaki komposisi latar belakang agama penduduk Madinah. Dengan kata lain, Rasulullah melakukan sensus penduduk. Beliau mendapati penduduk Madinah berjumlah 10.000 jiwa yang terdiri atas 1.500 muslim, 4.000 orang Yahudi, dan 4.500 kaum musyrikin—penganut ajaran lama atau penyembah berhala. Kaum muslim hanya minoritas, tetapi Nabi MuhammadSAW ingin menyatukan masyarakat Madinah di bawah kekuasaannya. Oleh karena itu, beliau perlu menerapkan langkah strategis agar berhasil.

Nabi Muhammad SAW menghadapi masyarakat yang multi-agama. Tindakan awal yang dilakukan Nabi adalah mempersatukan kaum muslim yang terbagi menjadi Muhajirin dan Anshar. Setelah berhasil mempersaudarakan kaum muslim, langkah selanjutnya yang dilakukan Nabi adalah mengadakan perjanjian dengan orang-orang Yahudi atas dasar aliansi dan kebebasan beragama. Terjadi kesepakatan antara Nabi dan kaum Yahudi sehingga kekuatan sosial-politik Madinah berada dalam kekuasaan Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, Rasulullah mengadakan konsensus dengan tiga komunitas yang ada di Madinah dan lahirlah Piagam Madinah.

Baca juga:

Piagam Madinah adalah warisan peradaban Islam yang tak ternilai harganya. Nabi Muhammad SAW seakan mengetahui apa yang dibutuhkan umatnya di masa yang akan datang. Piagam Madinah adalah pijakan untuk merealisasikan proyek sosial yang pluralis, yakni masyarakat yang multi-agama. Piagam Madinah adalah preseden bahwa masyarakat Islam sejalan dengan masyarakat yang demokratis, serta partisipatif, egaliter, dan pluralis.

 

Editor: Emma Amelia

Misrof Aditya
Misrof Aditya sesekali membaca, sesekali menulis dan sesekali bingung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email