Kadang Main Musik Kadang Tidak

Slank yang Baik Hati?

Djoko Santoso

2 min read

Orde Baru menjadi orde perlawanan terbuka. Banyak pihak merasa dizalimi oleh kebijakan-kebijakan penguasa karena pembatasan media, masuknya militer ke ranah sipil, KKN, dan lain sebagainya. Akhirnya, model perlawanan mulai digencarkan dengan banyak cara: orasi, tulisan, demonstrasi, juga dengan seni. Musik menjadi salah satu cara populer untuk melawan.

Pernah mendengar lagu Seperti Para Koruptor atau Aktor Intelektual? Lagu milik Slank yang bernuansa perlawanan ini pernah menjadi lagu sandaran para aktivis untuk menyuarakan keberpihakan mereka. Slank menjadi salah satu grup musik yang cukup veteran dalam menyuarakan perlawanan. Kritik-kritik dari lirik-liriknya menjadikan ia diberi tempat istimewa di hati para pendengar, terutama aktivis.

Lagu baru Slank yang diunggah di kanal YouTube pada 14 Juli 2023 lalu menuai banyak komentar. Banyak yang pro, tetapi jauh lebih banyak yang kontra. Kekecewaan para pendengar (kalau tidak mau disebut fans) musik Slank terpampang nyata. Yang ada di benak mereka, Slank adalah band yang dengannya jeritan rakyat disuarakan. Kritik-kritik tajam di lagu-lagu mereka yang terdahulu kerap membuat keder para penguasa. Lagu baru mereka, Polisi yang Baik Hati, jelas sudah melenceng jauh dari imej Slank di mata penggemar.

Agaknya, band yang sering menyuarakan keresahan rakyat sekarang tak lagi berpihak kepada rakyat. Band yang semula menjadi corong rakyat, sekarang berubah menjadi corong pejabat. Sekira sepuluh tahun terakhir ini, tepatnya mulai Pilpres 2014, tampak sekali keberpihakan Slank kepada Jokowi. Puja-puji tersirat dan tersurat sering kali mereka lontarkan kepada pemerintah.

Sentimen terhadap Slank terafirmasi ketika Abdee diangkat menjadi komisaris Telkom. Maka, tak berlebihan jika band ini sekarang dijuluki band Pelat Merah. Diangkatnya Abdee menjadi komisaris BUMN juga menguatkan dugaan bahwa ini adalah politik balas budi. Ini adalah hasil dari jerih payah “musik kampanye”.

Coba baca lirik lagu baru mereka yang didominasi puja-puji untuk institusi Polri. Kita jadi bingung, lagu ini murni karya seni, pesanan institusi, atau apa? Apakah Slank lupa dengan lagu-lagu rebel-nya? Bahkan, sampai ada yang bertanya menyindir produksi lagu ini, “Apa hukum lagu yang dibuat dengan APBN?”

Apa yang melatari Bimbim menulis lirik Polisi yang Baik Hati ini? Apakah Bimbim dan kawan-kawannya tak pernah baca berita ketika ada banyak polisi berbuat kriminal? Menjadi bandar sabu, tukang palak, hingga menjadi pembunuh di tragedi Kanjuruhan baru segelintir tindak kejahatan polisi yang masih lekat di ingatan. Apakah personel Slank tidak bermain Twitter dan membaca tagar #percumalaporpolisi? Apakah mereka tidak membaca hasil survei tentang kepercayaan publik terhadap institusi negara yang satu itu?

Ada yang menafsirkan bahwa lirik Bimbim di lagu baru Slank merupakan bentuk satir. Akan tetapi, jika kita pakai logika satir, bentuk kritik ini bisa terjadi (atau dianggap terjadi) ketika pengkritik dan objek kritik merupakan dua entitas yang berjarak. Padahal, Slank dan penguasa sekira sepuluh tahun ini sudah seperti pasangan harmonis. Agak sulit untuk mengatakan bahwa lagu ini merupakan bentuk satir.

Baca juga:

Sebenarnya, ada juga musisi lain yang sikapnya mirip-mirip dengan Slank—semula vokal mengkritik, lalu kini tiba-tiba jadi jinak. Iwan Fals, misalnya, pernah menjadi musisi pionir perlawanan di Indonesia. Lagu-lagunya sarat dengan perlawanan dan tak jarang menjadikan ia berurusan dengan aparat. Lagu Bento sempat geger geden pada zamannya. Apa arti sebenarnya dari Bento? Apakah Benteng Soeharto? Apakah yang dimaksud Bento adalah Soeharto sendiri? Atau bagaimana? Kalau dari pengakuan Iwan Fals, Bento adalah nama fiktif yang sengaja dibuat untuk dijadikan nama tokoh dalam lirik—semacam Sephia-nya Sheila On 7.

Selain Iwan Fals, ada sosok seniman Jogja yang keras sekali kritiknya terhadap rezim SBY, yakni Butet Kartaredjasa. Akan tetapi, sejak naiknya Jokowi, taji Butet tampaknya sudah tumpul. Laiknya Slank, beragam puja-puji untuk pemerintah terus meluncur darinya.

Belum lama ini, Butet membacakan puisi di acara partai. Aksinya ini kemudian menuai cibiran. Bagaimana tidak, seorang budayawan membaca puisi yang isinya mengolok-olok calon lawan politik sebuah partai. Tiga kata kontroversi: pandir, hobi menculik, dan dijegal KPK tampaknya menjadi diksi pamungkas Butet. Tak heran jika setelah itu ia dijuluki sebagai “pelacur politik”. Walaupun cukup sering menunjukkan keberpihakannya kepada penguasa, cibiran dan kekecewaan penggemar Iwan Fals dan Butet Kertaredjasa tak sebesar Slank. Hal ini bisa jadi karena mereka berdua tak mendapatkan balas budi segamblang Slank.

Musik diharapkan menjadi media alternatif untuk menyuarakan perlawanan orang pinggiran, orang papa. Pasca rilisnya lagu baru Slank ini, jangan sampai harapan kaum pinggiran akan suara kritis menjadi hilang. Sebab, kalau dilihat-lihat, kekecewaan dan ketidakpercayaan kepada para seniman ini semakin ke sini semakin meningkat. Jangan sampai orang-orang berpikiran bahwa dalam hal perlawanan, berharap konsistensi musisi sama halnya dengan berharap pada konsistensi politisi. Kritikan musisi bisa saja mati, tetapi musik sebagai kritik akan terus hidup.

 

Editor: Emma Amelia

Djoko Santoso
Djoko Santoso Kadang Main Musik Kadang Tidak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email