Tak lekang dari ingatan kita, bahwa umat Islam Indonesia pernah ribut dalam persoalan apakah boleh mengucapkan Selamat Hari Natal atau tidak. Pendapat ini sekurangnya dilatari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang orang Islam untuk mengucapkan Selamat Natal kepada orang Kristen. Bagaimana semestinya kita memandang persoalan ini?
Tentunya, pertama harus dipisahkan antara persoalan teologi dan sosial. Penting kita ketahui bahwa Nabi Isa AS yang kelahirannya diperkirakan 25 Desember (ada yang mengatakan 01 Januari) bukan hanya milik orang-orang Kristen, melainkan juga milik orang yang percaya kepadanya. Bahkan, orang Islam diperintahkan beriman bukan hanya kepada Nabi Muhammad SAW, tapi juga kepada seluruh nabi yang pernah diutus oleh Allah SWT.
Ada yang menyebut jumlah Nabi adalah 124000, jumlah Rasul 115, tapi yang wajib di ketahui oleh orang Islam hanyalah 25 (termasuk di dalamnya adalah Nabi Isa AS). Dengan demikian, umat Islam pasti mengerti tentang siapa Nabi Isa itu sendiri.
Di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin kita akan banyak menemukan kutipan-kutipan Al-Ghazali yang merujuk kepada Nabi Isa AS. Ini membuktikan bahwa ketokohan Nabi Isa bukan hanya dikenal di lingkungan umat Kristiani, tapi juga di lingkungan orang-orang Islam. Karena itu, tak keliru jika dalam al-Qur’an dinyatakan:
وَسَلٰمٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوْتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
Artinya:
“Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 15).
Dengan itu, sekiranya orang Islam mengucapkan Selamat Natal (hari kelahiran Nabi Isa) mestinya tidak seharusnya menjadi permasalahan. Sekali lagi, ini karena Nabi Isa bukan hanya milik komunal terbatas orang Kristen, melainkan juga orang Islam ikut memilikinya. Lebih dari itu, ajaran-ajaran Nabi Isa juga dilanjutkan oleh para sufi seperti Al-Ghazali, Muhyiddin Ibnu Arabi, Junaid al-Baghdhadi dan sufi lainnya.
Teologi kita tidak mempersoalkan sekiranya umat Islam (bukan hanya mengucapkan Selamat Natal) tapi juga merayakan hari kelahiran Nabi Isa AS, seperti halnya dibolehkannya umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, jika dari sudut teologi tidak ada masalah, maka seharusnya dari sudut sosial tidak ada masalah juga.
Kita tahu, penduduk Indonesia bukan hanya orang beragama Islam. Situasi sosial tersebut seharusnya bisa menjadi bekal masyarakat dalam memahami kebhinekaan, bukan malah berselisih karena berbeda keyakinan.
Syahdan, tak bisa dipungkiri, ada sekian banyak orang yang secara keimanan merasa sangat rapuh, sehingga sekiranya ia mengucapkan Selamat Hari Natal kepada orang Kristen, ada rasa khawatir keimanannya bisa berubah, goyah dan lapuk. Atas dasar kehati-hatian ini, bisa dipahami kalau sebagian orang Islam memilih untuk tidak mengucapkan Selamat Hari Natal.
Nabi Muhammad dan Interaksi Komunitas Kristen Makkah
Nabi Muḥammad adalah seorang pemimpin agama yang tidak memaksakan kehendaknya untuk mengajak orang lain memeluk agama yang dibawanya. Bahkan, Nabi Muḥammad SAW memberikan kebebasan memeluk agama sebagaimana peristiwa yang terjadi pada para perempuan Yahudi Bani al-Naḍir dan kedua putra Abu al-Husayn.
Tidak hanya menjamin kebebasan memeluk agama, Nabi Muḥammad pun menjamin kebebasan melaksanakan ibadah masing-masing pemeluk agama. Jaminan tersebut tertuang dalam perjanjian seluruh penduduk Yathrib (al-Madinah) yang kemudian dikenal dengan nama Madinah Charter atau Piagam Madinah.
Jaminan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah bagi pemeluk agama selain Islam yang dilakukan oleh Nabi Muḥammad SAW boleh jadi karena didasari pada pengakuan dan penghormatannya akan eksistensi agama selain Islam. Bahkan, Nabi marah dan menegur sahabatnya yang bertengkar dengan orang Yahudi.
Sahabat Nabi tersebut mengunggulkan Nabi Muhammad atas Nabi Musa sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibn Hibban, dari Abu Hurayrah (57 H) bahwa Nabi melarang sahabatnya untuk menganggap dirinya (Nabi Muhammad) lebih baik dari Nabi Musa karena kelak nanti di hari Kiamat ia adalah orang yang pertama kali dibangkitkan, padahal ternyata Nabi Musa telah berada di Arsy. Nabi pun menyatakan bahwa tidak seorang pun lebih unggul dari Yunus ibn Matta (Nabi Yunus).
Lebih dari itu, pernyataan Nabi Muḥammad sebagaimana disebutkan dalam Ḥadits riwayat al-Bukhari dan Muslim tersebut setidaknya menunjukkan beberapa hal. Pertama, Nabi Muhammad mengakui eksistensi orang Yahudi yang menyebutkan nama Musa dalam konfrontasinya dengan sahabatnya sendiri.
Kedua, Nabi Muhammad acap kali melarang sahabatnya untuk mengunggulkan dirinya dibandingkan dengan nabi-nabi yang lain. Ironisnya, sejumlah penceramah di beberapa tempat saat memberikan ceramah pada acara maulid Nabi Muhammad sering mengunggulkan Nabi Muhammad dibandingkan nabi-nabi yang lain.
Tidak hanya persoalan pengakuan dan penghormatan kepada eksistensi agama selain Islam, Nabi Muhammad pun menganggap pemeluk agama lain dapat masuk surga. Informasi sejarah yang menunjukkan hal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan al-Ḥakim, yaitu pernyataan Nabi tentang Waraqah ibn Nawfal, seorang yang dikenal dan diakui sebagai pemeluk agama Nasrani bahkan pendeta (rahib).
Nabi menemuinya setelah menerima wahyu untuk pertama kalinya, dan Waraqah menjanjikan pertolongannya jika ia masih hidup pada saat Nabi menyampaikan wahyu. Nabi melarang siapapun untuk menghina Waraqah, karena menurut Nabi telah disediakan satu atau dua surga baginya.
Selain menjamin kebebasan memeluk agama, menjamin kebebasan melaksanakan ajaran agama, dan tidak membatasi klaim keselamatan (surga) hanya milik umat Islam, Nabi Muhammad bahkan pernah mengizinkan umat agama lain untuk melaksanakan ibadah mereka di dalam masjid.
Ibn Ishaq, al-Bayhaqi, dan Ibn Katsir (774 H) menceritakan bahwa pernah ada kunjungan 60 tokoh agama Kristen dari Najran ke Madinah yang dipimpin oleh 3 orang di antara mereka, yaitu al-Aqib Abd al-Masih, pemimpin utama, al-Ayham orang yang dianggap sebagai “sang penolong”, dan Abu Haritsah ibn Al-qamah, seorang uskup yang berasal dari tanah Arab dan mengenal Nabi Muhammad sehingga Abu Haritsah-lah yang menjadi salah satu juru bicara dari rombongan Najran tersebut.
Setibanya di Madinah, mereka langsung menuju Masjid menjelang masuk waktu salat ashar. Ketika waktu ashar tiba, dengan mengenakan pakaian yang bagus dan indah, rombongan tokoh Kristen Najran itu pun masuk ke dalam Masjid dan melaksanakan ibadah (kebaktian) menghadap ke arah Timur. Melihat ini Nabi berkata kepada para sahabatnya: “Da’uhum” (biarkan mereka).
Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-9 H, saat Nabi Muhammad bersama umat Islam berada pada puncak kejayaan Islam. Nabi bisa saja mencegah atau melarang rombongan tokoh Kristen Najran tersebut untuk beribadah di dalam Masjid, karena pertama, saat itu waktu salat ashar telah tiba, selayaknya Nabi dan para sahabatnya yang berhak menggunakan masjid untuk beribadah.
Kedua, rombongan tersebut adalah non Muslim, dan masjid adalah tempat ibadah bagi umat Islam, bukan untuk selainnya. Tapi sekali lagi Nabi Muhammad tidak melakukan pencegahan maupun pelarangan yang mungkin dapat dilakukannya. Wallahu a’lam bisshawab.
***
Editor: Ghufroni An’ars