Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Sumber Ajaran Islam: Antara Wahyu dan Akal

Salman Akif Faylasuf

4 min read

Secara konseptual, wahyu dan akal budi merupakan dua entitas yang sebenarnya tidak perlu dipertentangkan secara diametral. Wahyu sebagai tuntunan ilahi diturunkan tak lain untuk membimbing entitas akal menuju jalan yang benar sesuai rambu-rambu Tuhan, pencipta jagad raya. Sebaliknya, akal pikiran diciptakan Tuhan menjadi tolok ukur dalam menentukan baik-buruk, suci-najis, dan mashlahah-mafsadah. Setidaknya pandangan seperti ini mengacu pada filsafat hukum Islam yang menandaskan bahwa wahyu Tuhan turun tak lain untuk mendatangkan kemaslahatan dan menangkal terjadinya kerusakan.

Namun demikian, fakta sejarah pemikiran keagamaan menunjukkan kenyataan lain. Keberadaan wahyu dan akal budi manusia sering kali diperdebatkan bahkan dipertentangkan satu sama lain. Terdapat perdebatan cukup serius dalam kajian filsafat dan teologi Islam menyangkut komposisi ideal nalar dan wahyu dalam upaya pemunculan beragam ketentuan hukum.

Di antaranya terdapat perdebatan klasik antara Muktazilah dan Asya’irah dalam mengapresiasi intervensi akal manusia dalam proses terbentuknya ketentuan-ketentuan Tuhan. Tak hanya Muktazilah vis a vis Asya’irah yang meramaikan bursa perdebatan, tetapi juga faksi lain seperti kalangan Maturidiyah, aliran salaf, serta filsuf muslim turut meramaikan wacana bagaimana mengidealkan komposisi nalar dan wahyu dalam menyikapi titah Tuhan terhadap hamba-Nya.

Alih-alih diperdebatkan, pertanyaannya adalah, benarkah wahyu dan akal sumber ajaran Islam? Terminologi wahyu dan akal budi manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam diskursus pembentukan panduan hukum sebagai pengejawantahan ajaran Islam. Begitu kuatnya interelasi keduanya sampai-sampai sumber hukum dalam Islam dapat disimplifikasi menjadi hanya dua, yaitu naqli dan aqli.

Sumber pertama tak lain merupakan wahyu Tuhan dalam bentuk lembaran teks Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan sumber kedua adalah perangkat nalar manusia dalam memahami keterkaitan teks wahyu dengan realitas kehidupan yang terus bergerak dinamis. Dalam tradisi pemikiran yurisprudensi Islam, sumber aqli ini dirumuskan menjadi sumber-sumber istidhal seperti qiyas (analogi), istihsan (penganggapan baik), mashlahah mursalah (kemaslahatan yang didiamkan oleh wahyu), urf (adat kebiasaan), dan lain-lain.

Ushul fiqh sebagai metode istinbath (penggalian) hukum-hukum juga merupakan perpaduan antara wahyu dan logika formal. Rumus-rumus dan metodologi ilmiah yang dibangun berdasarkan logika dalam ilmu ushul fiqh juga mengacu pada esensi ajaran wahyu secara universal.

Pada masa-masa awal Islam misalnya, filsafat Yunani pernah mendominasi kajian tentang logika. Akan tetapi para yuris serta kaum teolog-skolastik Islam saat itu tidak mengadopsi begitu saja logika helenistik yang tengah berkembang di masyarakat. Sebaliknya, mereka melakukan adaptasi dan perubahan terhadap logika Yunani menjadi sebuah logika baru yang mencakup seluruh esensi.

Kita tahu, Al-Ghazali memasukkan unsur logika dalam mukadimah masterpiece-nya, Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul. Awal kata pendahuluan dalam kitab ini, al-Ghazali menyimplifikasi persoalan logika ke dalam dua sub pembahasan, yaitu al-hadd (batasan) dan al-burhan (pembuktian).

Lebih dari itu, ia juga mempunyai karya monografi bertajuk Mi’yar al-Ilm dan Mahk an-Nadhar yang memuat pembahasaan tentang logika secara lebih luas dan komprehensif. Namun, pada akhirnya Al-Ghazali meninggalkan logika karena ia menilai tidak akan mampu mengantarkan umat manusia pada nilai-nilai keimanan.

Paparan Al-Ghazali tentang logika tersebut menyiratkan adanya keterkaitan cukup kuat antara logika dan ushul fiqh. Bahkan dalam kata pengantarnya, Al-Ghazali secara eksplisit menunjukkan adanya keterkaitan tersebut. Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian. Pertama, aqli mahdh (nalar murni), yaitu ilmu pengetahuan yang semata-mata dilandaskan pada akal manusia yang adanya pijakan wahyu. Seperti ilmu matematika, ilmu teknik, ilmu astronomi, dan lain-lain.

Baca juga:

Kedua, naqli mahdh (wahyu muni), yakni ilmu pengetahuan yang bertumpu pada teks-teks wahyu tanpa ada intervensi nalar. Seperti ilmu tafsir, ilmu hadis. dan lain-lain.

Ketiga, izdiwaji (gabungan nalar dan wahyu), yaitu ilmu pengetahuan yang dasar pijakannya adalah wahyu dan nalar secara berimbang. Ilmu fikih dan ushul fiqh menurut Al-Ghazali termasuk dalam kategori ketiga ini, dan ia menggolongkannya dalam level ilmu paling tinggi.

Relasi Wahyu dan Akal

Wahyu dan akal budi merupakan dua sumber ajaran yang saling berinterelasi dalam proses pembentukan hukum. Bedanya, jika wahyu bersifat transendental dan absolut, akal budi manusia merupakan anugerah Tuhan yang diperintahkan untuk menyusun kriteria bagaimana mengevaluasi suatu argumen yang benar. Logika mempunyai tugas mempelajari metode dan prinsip sesuai dengan konteks hukum yang kompatibel dengan nilai-nilai kemaslahatan dan keadilan.

Wahyu memang bersifat universal dan mutlak, tetapi wahyu tidak dapat membumi tanpa keterlibatan nalar manusia. Untuk mengaitkan kandungan teks wahyu dengan konteks kemaslahatan yang mesti diapresiasi dalam setiap aktivitas penggalian hukum, perangkat nalar dan logika sangat diperlukan.

Dengan demikian, wahyu dan akal budi semakin tidak dapat dihindarkan lantaran teks wahyu itu sendiri banyak mengungkapkan persoalan hukum secara makro atau kulli. Dalam praktiknya, jenis teks seperti ini sangat membutuhkan intervensi nalar ijtihad untuk memunculkan aneka ketentuan hukum sebagai panduan hidup masyarakat.

Pada Prinsipnya, hukum lahir bukan dalam ruang yang kosong, melainkan tumbuh dan berkembang untuk menebar kemaslahatan dan keadilan di tengah kehidupan masyarakat. Untuk merealisasikan tujuan luhur ini, sambungan wahyu dan nalar dibutuhkan sepanjang sejarah kemanusiaan untuk memperbarui setiap ketentuan hukum sesuai konteks perubahan.

Ketika Nalar dan Wahyu Dipertentangkan

Nalar berpikir merupakan ciri khas manusia yang dapat membedakan dirinya dari makhluk lain. Dalam sejarah pemikiran agama, nalar manusia sering dipertentangkan vis a vis wahyu Tuhan. Padahal, wahyu Tuhan sendiri melalui beberapa firman dalam kitab suci telah banyak mendelegasikan nalar manusia dalam menyikapi beragam persoalan yang bersifat profan (keduniaan).

Penaklukan nalar manusia di bawah otoritas wahyu pernah mencapai klimaksnya pada abad pertengahan. Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, pernah terjadi era taklid buta di mana penggunaan nalar ijtihad diharamkan. Kondisi seperti ini dibarengi dengan tumbuh suburnya asketisisme yang cenderung mengabaikan dimensi alam nyata, serta mengedepankan realitas alam metafisika. Akibatnya, peran agama menjadi terisolasi dari belantika kehidupan sosial sehari-hari.

Dalam tradisi pemikiran Kristen, kondisi seperti itu juga pernah terjadi yang kemudian menyemangati lahirnya renaisans, yakni pencerahan kembali Eropa pada abad ke-14 M. Pada saat itu posisi akal telah terbukti ditaklukkan oleh otoritas agamawan kaum gereja. Akibatnya, agama menjadi terisolasi dari pranata hidup sehari-hari. Agama saat itu direduksi hanya berurusan dengan ritual keagamaan. Selebihnya, dalam persoalan kemasyarakatan, agama dianggap tidak memiliki domain akses karena ranah tersebut tidak memiliki kaitan dengan agama.

Posisi Nalar dan Wahyu Kini

Sebaliknya, pada era teknologi informasi dan komunikasi ini, posisi nalar teramat sentral dan istimewa melampaui pembenaran atau bahkan pemutlakan nilai-nilai agama. Revolusi industri telah mengubah posisi agama sejajar dengan fenomena sosial biasa. Akibatnya, diakui atau tidak, tampilan modernitas dalam batas-batas tertentu dapat mendistorsi persoalan etika dan moralitas yang sangat dijunjung oleh ajaran agama.

Karena itu, era pascamodern saat ini tidak sedikit kalangan yang menyebutnya era kebangkitan agama dengan performa yang lebih rasional. Otoritas wahyu mesti dikawinkan dengan penafsiran nalar dalam rangka aktualisasi diri menyikapi persoalan-persoalan hukum yang terus mengemuka. Itu sebabnya, pertautan antara teks wahyu dengan nalar manusia menjadi sangat menarik dimaknai secara teologis untuk memunculkan diktum-diktum hukum yang sangat dibutuhkan masyarakat sebagai garis panduan.

Baca juga:

Prinsipnya, hukum bukan lahir untuk dirinya sendiri, melainkan bekerja untuk kemaslahatan masyarakat. Untuk memunculkan kemaslahatan dalam pengertiannya yang substantif perlu artikulasi wahyu dan akal dalam merumuskan ketentuan hukum yang dibutuhkan oleh realitas masyarakat yang terus berkembang. Segala ketentuan hukum sesungguhnya dilandaskan pada dalil-dalil wahyu yang sangat transendental.

Namun, wahyu verbal pada umumnya mengungkapkan persoalan secara makro dan garis besar. Oleh karena itu, keterlibatan nalar ijtihad atau istinbath dalam merumuskan aneka ketentuan hukum tidak dapat dihindarkan. Wahyu yang mengatur persoalan secara makro dalam terminologi yurisprudensi Islam disebut dalil kull atau ijmali. Sementara teks wahyu yang mengungkap persoalan secara mendetail disebut dalil juz’i atau tafshili.

Dalil kulli-ijmali dengan demikian merupakan dalil global yang tidak menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum tertentu secara tersurat. Sebaliknya, ia secara tersirat merupakan indikator-indikator yang menunjukkan beberapa segmen hukum yang terus relevan dengan perkembangan masyarakat. Seperti teks wahyu yang memuat larangan melakukan perusakan. Teks seperti ini tidak mengarah pada ketentuan hukum peristiwa tertentu, tetapi mencakup beragam peristiwa hukum yang di dalamaya mengandung perusakan.

Oleh Karena itu, peristiwa yang ketentuan hukumnya dilandaskan pada teks wahyu seperti ini tidak terkirakan jumlahnya. Misalnya keharaman mengonsumsi narkoba serta perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak diri sendiri maupun orang lain. Sedangkan dalil juz’i-tafshili adalah sebaliknya, dalil tersebut adalah dalil terperinci dan berupa teks wahyu yang menunjukkan hukum-hukum tertentu secara tersurat. Misalnya adalah teks wahyu yang dengan lugas menunjukkan hukum wajib melakukan shalat fardu, puasa di bulan Ramadan, haram berbuat zina, mencuri, membunuh, dan lainnya.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email