Percakapan tentang oligarki kini kian populer seiring lahirnya beragam kebijakan yang hanya menguntungkan kelas penguasa di Indonesia. Aktivis gerakan sosial, akademisi, bahkan politisi bergantian memakai istilah ini untuk membaca perkembangan politik mutakhir. Akan tetapi, penggunaan istilah “oligarki” ada kalanya tidak dibekali dengan kedalaman konseptual sehingga istilah ini terasa kurang jelas.
Dalam menggunakan istilah ini, berbagai kelompok masyarakat sering merujuk oligarki sebagai kelompok orang kaya pemilik bisnis besar yang mampu memengaruhi kebijakan pemerintah sehingga tujuan akumulasi kekayaan pribadi tetap terpenuhi. Untuk membuktikan ini, mereka merujuk pada pemilik bisnis yang punya koneksi ke pemerintahan atau partai politik. Biasanya mereka pemilik bisnis besar di sektor-sektor industri ekstraktif pertambangan dan perkebunan.
Baca juga:
Pemahaman oligarki secara individual ini tidak sepenuhnya keliru. Akan tetapi, pemahaman yang demikian cenderung menyederhanakan persoalan pelik yang terkandung di dalamnya. Pemahaman oligarki yang dimaknai secara individual ini menghabiskan waktu dalam perdebatan tentang siapa yang termasuk oligarki dan siapa yang bukan.
Pemaknaan Oligarki
Walaupun begitu, pemaknaan oligarki secara individual ini tidak lahir dari kekosongan sandaran teoritis. Ilmuwan politik asal Northwestern University, Jeffrey A. Winters adalah proponen tesis oligarki model ini. Karyanya bertajuk Oligarchy yang terbit pada 2011 langsung mendapat tempat dalam percakapan publik Indonesia dan menjadi rujukan wajib untuk membahas oligarki.
Titik tolak analisis Winters berangkat dari sudut pandang Weberian tentang sumber daya kekuasaan yang memungkinkan individu menjadi kelas penguasa. Salah satu sumber daya kekuasaan itu adalah sumber daya material. Menurutnya, hanya individu yang memiliki sumber daya material yang akan menghasilkan “oligark” (istilah Winters untuk merujuk oligarki sebagai individu). Sedangkan individu yang tidak memiliki sumber daya material dan hanya memiliki sumber daya kekuasaan lain, misalnya jabatan resmi, mungkin hanya berhenti sebagai seorang elite, bukan oligark.
Winters menghabiskan waktunya membahas variasi oligarki dan praktiknya di berbagai sistem politik. Usaha ini tidak sepenuhnya sia-sia, akan tetapi ia terlanjur asik membatasi diri pada pencarian tentang “siapa” oligarki itu tanpa menyentuh secara kritis bagaimana oligarki itu berelasi lebih luas di dalam bentangan demokrasi Indonesia yang predatoris, serta kelit-kelindannya dengan ekonomi-politik. Dengan demikian, yang lebih relevan adalah pertanyaan tentang “bagaimana” oligarki itu berelasi dalam setiap perubahan sejarah dan politik yang menyertainya beserta kepentingan ekonomi-politik di belakangnya.
Dua ilmuwan sosial beken, Richard Robison dan Vedi R. Hadiz sudah lebih dahulu (dibanding Winters) terlibat percakapan intelektual serius tentang oligarki dalam perkembangan politik Indonesia pasca otoritarianisme. Karya mereka berjudul Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2004) tidak menitikberatkan pada individu “oligark”, tetapi pada relasi kekuasaannya.
Relasi Kekuasaan Oligarki
Oligarki di sini dipahami sebagai suatu fusi kepentingan ekonomi dan politik dari aliansi politisi-bisnis dan birokrat. Kekuatan ini lahir dari sistem kapitalisme predatoris di Indonesia, terutama pada era Soeharto. Kucuran subsidi dan akses monopoli dari negara yang diberikan kepada konglomerat karib Soeharto membuat mereka berjaya di dalam kondisi politik yang otoritarian. Kekuatan ini memanfaatkan perlindungan negara untuk mengontrol sumber daya material dan institusi negara untuk akumulasi privat. Dengan kata lain, para konglomerat ini tidak dibesarkan dengan mekanisme pasar bebas, melainkan kapitalisme kroni.
Sialnya, ketika Soeharto jatuh pada 1998 dan Indonesia mengalami demokratisasi relatif, kekuatan oligarki ini tetap bertahan. Mereka menyesuaikan diri dalam “kebaruan” situasi politik demokrasi dan memanfaatkan institusi-institusi politik baru kemudian membajaknya. Mereka menggunakan demokrasi sekadar sebagai instrumen untuk memastikan kontrol terhadap sumber daya material dan akumulasi privat tetap berlangsung via kekuasaan politik yang kini mereka raih.
Program reformasi pemerintahan skala besar yang ditopang lembaga-lembaga pembangunan internasional proponen neoliberalisme di bawah tajuk “pemerintahan yang baik” (good governance) tidak berhasil menumbangkan kekuatan dan kepentingan oligarki. Mereka akan meminggirkan program reformasi ini dan tidak menghiraukannya apabila itu mengganggu kepentingan.
Baca juga:
Dengan demikian, realitas politik macam ini tidak mengarahkan demokrasi Indonesia ke taraf konsolidasi, sebagaimana harapan para pengamat transisi demokrasi. Akan tetapi, realitas ini membawa Indonesia ke dalam fase demokrasi predatoris. Kelas sosial lama maupun kekuatan predatoris baru tetap mengokohkan kepentingan predatorialnya. Faksi-faksi di antara mereka saling bertarung untuk merebut posisi, terutama melewati pertarungan elektoral.
Di sisi yang lain, kekuatan sosial masyarakat sebagai penentang yang signifikan tetap tidak muncul. Setelah mengalami depolitisasi panjang selama otoritarianisme, baik mereka yang berhaluan kiri maupun liberal tetap saja marginal. Ketiadaan kendaraan politik bersama yang kuat membuat gerakan sosial tidak koheren dan terfragmentasi. Sebagian dari mereka yang mencoba peruntungan di jalur politik formal dengan kendaraan partai politik kelas lama akhirnya terserap dalam kuasa politik predatoris.
Sementara Winters menggali oligarki secara individual beserta varian-variannya, Robison dan Hadiz menawarkan cara pandang struktural mengenai oligarki sebagai relasi kekuasaan. Dengan demikian, oligarki bukan tentang “siapa”, melainkan “bagaimana”. Tetapi harus diakui, pemaknaan oligarki secara individual inilah yang dominan dalam percakapan publik Indonesia. Apakah ini ada kaitannya dengan karya Winters tentang oligarki yang telah diterjemahkan sementara karya Robison dan Hadiz belum tersedia versi terjemahannya? Atau lebih jauh, apakah pendekatan ekonomi-politik Robison dan Hadiz yang mempertanyakan kekuasaan secara lebih kritis tidak disenangi oleh status-quo sehingga pemikiran mereka tidak diperbincangkan dengan luas?
Yang pasti, pemahaman oligarki secara struktural lebih menyediakan keluasan analisis. Hal ini memungkinkan kita untuk tidak terjebak pada penyederhanaan konsep tentang oligarki sekadar individu kaya yang memiliki kekuasaan material dan politik. Mereka yang diluar golongan itu pun bisa termasuk oligarki ketika mendukung relasi kekuasaan yang oligarkis. Politisi, pebisnis, dan birokrat bisa termasuk di dalamnya ketika melanggengkan sistem relasi kekuasaan oligarki untuk tujuan akumulasi privat. Dalam demokrasi yang predatoris, tidak ada garis pemisah yang tegas di antara kekuatan sosial dominan ini.
Editor: Prihandini N
nice