Dua puluh tahun pasca Reformasi, demokrasi kita tidak kunjung menemukan citra dan dampaknya terhadap kesejahteraan sosial. Partai politik sebagai lokomotif demokrasi di Indonesia tak punya cukup ide untuk meramu kebijakan dan menentukan tools pembangunan manusia Indonesia yang sejahtera. Meski mencitrakan diri sebagai negara demokrasi, fakta di lapangan, demokrasi di Indonesia masih jauh dari kata paripurna.
Hal itu bisa kita lihat dalam beberapa hasil riset yang menyatakan demokrasi Indonesia mengalami degradasi. Berdasarkan data SMRC, terdapat penurunan indeks demokrasi yang semula 71,9% pada bulan Maret 2021 menjadi 61,7% pada Maret 2022. Data ini menunjukkan catatan buruk bagaimana negara mengelola proses demokrasi yang didambakan pasca lepas dari cengkeraman Orde Baru.
Partai politik sebagai entitas yang bermain dalam lingkaran demokrasi dan kekuasaan sering kali terjebak dengan kejumudan ide dan konsumerisme politik. Partai politik tidak menjual ide, tapi menjual sembako sebagai alat tukar suara di bilik TPS. Akhirnya, cost atau ongkos politik membengkak sehingga terjadi korupsi dan gratifikasi di mana-mana, serta marak pejabat yang mendalangi konflik kepentingan (conflict of interest) dengan tools kebijakan yang mereka buat.
Baca juga:
Konsumerisme Politik
Serangan fajar—dalam sudut pandang luas juga berarti politik uang dengan membagikan amplop, maupun sembako kepada konstituen—telah menjadi hal yang lumrah dalam pemilihan umum kita. Istilah serangan fajar adalah anekdot yang tak lagi lucu. Hingga sekarang, masih banyak pemilih mengharapkan “diserang” sebelum mencoblos di bilik suara.
Mewajarnya serangan fajar adalah ironi demokrasi yang sudah kelewat kronis. Suap, gratifikasi, korupsi merupakan hal yang nista. Perilaku amoral tersebut masih saja sulit untuk diberhentikan sebab sistem demokrasi kita mendukung hal tersebut. Budaya korupsi sudah sedemikian akutnya menggerogoti nalar dan nurani orang-orang kita; tak cuma politikus, tapi juga pemilih yang tak punya integritas.
Demokrasi yang korup bertemu dengan dominasi kapitalisme dalam berbagai segi kehidupan adalah kombinasi yang sangat digdaya untuk menciptakan politik pemerintahan yang disfungsi. Buahnya, paradigma pembangunan dan politik kita menempatkan segala hal sebagai komoditas, mulai dari komoditas ekonomi hingga komoditas politik.
Ketika demokrasi telah tereduksi menjadi sekadar politik elektoral yang disokong oleh transaksi komoditas politik, muncullah fenomena konsumerisme politik. Konsumerisme politik adalah hulu rendahnya kualitas pemilih kita. Karenanya pula ongkos pembiayaan partai politik menjadi sangat bengkak.
Lantas, apakah benar-benar tidak ada ide relevan yang dijual oleh partai politik? Jika tidak, maka tak heran banyak anak muda yang memilih apatis dan antipati terhadap politik tanah air. Angka golput pada Pemilu 2024—yang digadang-gadang bakal didominasi oleh pemilih muda—besar kemungkinan bakal tinggi. Anak muda yang kritis dan melek politik pun barangkali lebih kebal terhadap serangan fajar. Mereka tak lagi mempan diiming-imingi sembako, yang mereka harapkan dari partai politik adalah ide.
Politik Ide
Sudah mulai banyak bermunculan hasil survei elektabilitas beberapa politikus yang digadang-gadang bakal maju sebagai calon presiden dan partai politik tertentu. Jika kita telisik lebih dalam, hasil survei tersebut tidak dipengaruhi oleh politik ide calon presiden maupun parpol.
Konstituen atau responden menjawab hanya berdasarkan basis kesukaan atau popularitas semata. Selain itu, bisa saja ada orderan masuk kepada lembaga survei untuk menaikkan elektabilitas tokoh dan parpol tertentu.
Rasanya, klise kalau harus menuntut pemerintah, partai politik, serta organisasi masyarakat dan keagamaan untuk melakukan pendidikan politik bagi pemilih. Namun, biar bagaimanapun, itu tetap menjadi tugas penting yang mesti mereka penuhi.
Setidaknya, jika pendidikan politik terasa sulit diselenggarakan, mereka bisa mulai mengembangkan politik ide. Politik ide artinya tuangan blueprint tokoh atau parpol tertentu dalam merumuskan arah kebijakan yang berbasis keadilan dan kesejahteraan masyarakat, alih-alih orderan kapital. Politik ide sangat perlu digaungkan untuk menghapuskan konsumerisme politik yang sudah mewabah akut dalam proses demokrasi kita.
Repackaging kampanye politik harus mulai digalakkan. Perlombaan gagasan dari para tokoh yang ingin berlaga di 2024 harus dicermati betul oleh kaum muda dan akademisi. Partai politik sebagai lokomotif penyalur aspirasi harus memperbaharui formula branding dan ide yang mereka bawa. Dengan begitu, bukan tak mungkin bisa mengurangi pembiayaan politik sekaligus menambah trust public terhadap parpol yang selama ini bercitra buruk.
Baca juga:
Sudah bukan zamannya masyarakat hanya menjadi variabel pemanis dalam pesta demokrasi. Bukan pula zamannya penentuan kandidat hanya terbatas pada mereka yang memiliki modal dan popularitas semata. Slogan “dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat” hanya akan menjadi bualan dan lama-lama digantikan slogan “dari partai, oleh partai, dan untuk oligarki” apabila politik ide tidak menjadi landasan untuk parpol berbenah.
Editor: Emma Amelia