Pesta demokrasi akan segera digelar kembali. Kereta kekuasaan akan bergeser dari stasiun rezim lama menuju stasiun rezim baru melalui rel yang sering kita sebut demokrasi. Politisi, pengusaha, dan partai koalisinya adalah deretan gerbong kereta yang panjang. Sementara itu, rupa-rupa interior gerbong kereta menggambarkan janji manis, prestasi, hingga persekongkolan jahat, korupsi, dan kolusi para elit.
Sebagai pengguna layanan, saya akan lebih senang menumpang kereta api yang gerbongnya bersih, indah dipandang, nyaman digunakan, dan memiliki fasilitas lengkap. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika menjelang pemilihan umum begini para politisi dan koalisinya sibuk memoles tampilan luar dan dalam gerbong kereta api mereka. Dengan kata lain, para politisi dan koalisinya gencar bersolek membangun citra diri sembari mengumbar janji-janji manis kepada rakyat.
Baca juga:
Dalam rel demokrasi, suara rakyat adalah bahan bakar mesin lokomotif yang mampu menarik gerbong kekuasaan dari stasiun satu menuju stasiun yang lain. Merebut mayoritas suara rakyat berarti merebut kursi kepemimpinan. Sebagai rakyat, kita jangan sampai terjebak naik gerbong yang hanya bagus polesannya.
Mesin lokomotif kekuasaan bisa bergerak karena dikendalikan oleh legitimasi. Terkadang, perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum saja belum cukup untuk mengukuhkan kekuasaan. Perolehan suara terbanyak masih harus diperkuat dengan klaim-klaim yang menegaskan bahwa politisi dan partai politik benar-benar terpilih karena rakyat menghendaki. Misalnya, klaim bahwa politisi dan koalisinya paling dekat dengan rakyat.
Menurut Franz Magnis Suseno, terdapat tiga bentuk pengabsahan atau legitimasi politik, yaitu elitis, religius, dan demokratis. Elitis mengandung makna golongan bangsawan. Artinya, golongan bangsawan yang memiliki status sosial di masyarakat memiliki hak mutlak untuk menjadi pemimpin.
Legitimasi elitis sudah tidak relevan di Indonesia. Kaum bangsawan hanya memiliki legitimasi budaya, bukan legitimasi politik. Bayangkan seorang politisi melakukan kampanye, kemudian mengajak masyarakat untuk nyoblos fotonya hanya karena ia bergelar Raden Mas, Tumenggung, Andi, atau gelar ningrat lainnya. Alih-alih mendapat dukungan, ia justru bakal menuai cibiran warganet.
Selanjutnya adalah legitimasi religius, yakni pengabsahan yang bersifat keagamaan. Legitimasi religius biasa digunakan di negara teokrasi. Raja-raja Mesir Kuno yang menggambarkan dirinya sebagai sosok Tuhan adalah salah satu contoh legitimasi religius.
Contoh lain legitimasi religius adalah menggunakan agama, atribut keagamaan, dan hal lain-lain yang berkaitan dengan identitas keagamaan untuk mendulang suara. Meskipun cukup sukses di era kebangkitan konservatisme agama, tidak menutup kemungkinan legitimasi religius akan kembali menemui titik jenuhnya.
Terakhir, legitimasi demokratis. Legitimasi ini memiliki dua prinsip dasar. Pertama, semua orang dalam satu negara memiliki hak yang sama sebagai manusia dan warga negara. Kedua, kedaulatan rakyat, yakni keyakinan bahwa tidak ada satu orang atau golongan yang memiliki keistimewaan untuk memerintah yang lainya, kecuali berdasarkan kesepakatan bersama.
Prinsip kedaulatan rakyat bukan tanpa batas. Dalam gelaran Dialog Kebangsaan di Universitas Islam Indonesia tahun 2019, Mahfud MD mengatakan kebebasan dalam demokrasi bukan tanpa batasan. Demokrasi selalu beriringan dengan nomokrasi. Demokrasi adalah kedaulatan rakyat sedangkan nomokrasi adalah kedaulatan hukum. Demokrasi tanpa kedaulatan hukum akan berdampak pada kesewenang-wenangan dan kekacauan. Sementara itu, hukum tanpa demokrasi akan berdampak pada kesewenang-wenangan penguasa.
Baca juga Editorial: Worst Leaders Unite Students
Tiga legitimasi politik tersebut memiliki kelemahannya masing-masing. Legitimasi eliter memungkinkan pemimpim menjadi otoriter. Hitam putihnya politik akan ditentukan oleh kaum bangsawan. Keabsahan politik model ini lebih cocok diterapkan di zaman kerajaan.
Sementara itu, legitimasi religius mulai banyak dipertanyakan keabsahanya karena manajemen negara adalah urusan bumi, bukan urusan langit. Muncul kecurigaan, legitimasi model ini hanya bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan pemimpin dengan memperalat agama yang mengingatkan kita akan karut-marut penyelenggaraan pemerintahan negara di Eropa era Dark Ages.
Legitimasi demokrasi longgar akan kecurangan apabila tidak dikontrol dengan tepat. Legitimasi memungkinkan pemufakatan jahat dilakukan secara berjamaah sehingga melahirkan negara otoriter yang justru paradoks dengan hakikat demokrasi.
Paradoks demokrasi juga berarti pembajakan kedaulatan rakyat oleh elit politik. Demokrasi dikorupsi dan dirontokkan. Alhasil, secara subtantif, demokrasi hanya tinggal omong kosong. Rakyat yang seharusnya menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam demokrasi justru nyawanya hanya dihargai sebutir peluru.
Indonesia, sebagaimana banyak negara lain, tengah mengalami paradoks demokrasi. Perjuangan rakyat menemui babak baru, yaitu perjuangan melawan amnesia para elit politik dan koalisinya terhadap janji-janji mereka sewaktu kampanye karena keasyikan mengembangkan jejaring oligarki.
Pada Pilkada Serentak 2019 lalu, saya mendapat informasi dari senior yang lebih dulu terjun ke partai politik bahwa banyak politisi kelas bawah yang kesulitan bersaing sekalipun punya program yang bagus karena tidak punya cukup dana dan sponsor. Hal ini terhubung dengan praktik oligarki politik yang kian marak seiring dengan mewajarnya pemufakatan politik bawah meja (political deal).
Baca juga:
Lantas, apakah tepat bagi Indonesia untuk tetap mengadopsi sistem demokrasi jika situasinya seperti itu?
Setidaknya, jika Indonesia tetap mengadopsi sistem demokrasi, maka negara harus bertanggungjawab untuk memberi edukasi politik bagi masyarakat. Edukasi politik penting untuk mempersiapkan rakyat menjadi pemilih yang rasional, kompeten, dan berwawasan ketika dihadapkan pada sistem demokrasi yang memberi kelonggaran bagi praktik-praktik curang.
Tidak ada jaminan demokrasi melahirkan pemimpin berkualitas. Meskipun begitu, bukan berarti sistem demokrasi di Indonesia harus diganti. Seperti kata Mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, demokrasi memang bukan pilihan terbaik, tetapi belum ada sistem yang lebih baik darinya.
Kita bisa memperbaiki demokrasi di Indonesia dengan menyadari posisi sebagai rakyat yang berwenang memberi dan mencabut mandat para elit politik. Mari jadi lebih cerdas dalam menilai rekam jejak, kapasitas, kapabilitas serta kredibilitas para politisi sebelum memberikan suara kita. Di tahun-tahun menjelang pemilihan umum begini, selalu ingat peribahasa jangan membeli kucing dalam karung.
Editor: Emma Amelia