Minyak Goreng: Mengabaikan Rakyat, Melindungi Oligarki

Aswin Online

2 min read

Kelangkaan minyak goreng telah memberikan efek yang sangat signifikan bagi kehidupan ekonomi rakyat, terutama rakyat miskin. Rakyat miskin telah terbiasa membeli minyak curah daripada minyak goreng kemasan.

Ketika membeli minyak curah, rakyat miskin dapat menyesuaikan kebutuhan pembeliannya. Tidak ada batasan minimum dalam membeli minyak curah. Orang bisa membeli seperempat, setengah, satu liter, dan seterusnya. Harga minyak curah pun sangat terjangkau oleh kantong kantong mereka. Sementara itu, minyak goreng kemasan dibandrol dengan harga yang eklusif; dengan volume standar seperti satu liter, dua liter, dan seterusnya.

Baca juga:

Keberadaan minyak goreng curah sangat bermanfaat bagi para pedagang kecil. Tanpa minyak goreng curah, mereka mesti menggunakan minyak goreng kemasan yang jauh lebih mahal. Alhasil, mereka butuh mengeluarkan modal lebih untuk membeli minyak goreng kemasan. Padahal, pengeluaran tambahan untuk modal itu belum tentu akan berbanding lurus dengan pendapatan.

Pedagang kecil tidak leluasa menaikkan harga. Jelas, di tengah tingginya harga minyak goreng, para pedagang kecil tidak berani bermimpi mendapatkan keuntungan lebih dengan cara menaikan harga dagangannya. Ibaratnya, balik modal saja sudah syukur. Mereka tahu benar, daya beli masyarakat pun ikut anjlok seiring dengan tingginya harga minyak goreng. 

Peduli Siapa?

Penanganan kelangkaan dan penurunan harga minyak goreng masih menggunakan pola lama. Mantan Menteri Perdagangan, M. Lutfi, yang lantas terkena reshuffle kabinet dan penggantinya, Zulkifli Hasan, pun masih menggunakan KTP sebagai syarat bagi warga untuk mendapatkan minyak goreng bersubsidi. Kalaupun ada perbedaan, paling-paling hanya sebatas aspek kuantitas maksimum pembelian minyak goreng.

Sedikit terobosan dalam hal pendistribusian minyak goreng adalah penggunaan aplikasi PeduliLindungi. Namun, secara prinsip, penggunaan KTP maupun PeduliLindungi sebagai syarat pembelian minyak goreng bersubsidi sama-sama bertujuan untuk mengetahui NIK warga yang bersangkutan. Dengan menunjukkan KTP atau data NIK di aplikasi PeduliLindungi, warga bisa mendapatkan minyak goreng curah murah seharga kurang lebih Rp14.000,00.

Lantas, apakah penggunaan aplikasi PeduliLindungi ini membawa manfaat atau justru kian menyulitkan warga? Sebagaimana diketahui, layanan aplikasi PeduliLindungi berbasis teknologi telepon pintar. Itu artinya, mengakses aplikasi ini tidaklah mudah.

Masih ada di antara jutaan rakyat Indonesia yang tidak memiliki telepon pintar maupun koneksi internet untuk mengakses aplikasi Peduli Lindungi dan memperoleh minyak goreng curah bersubsidi. Ingat, sasaran utama program subsidi ini adalah warga tidak mampu. Lebih lanjut, penggunaan aplikasi ini pun tidak serta merta bisa mengatasi antrean panjang pembeli minyak goreng curah, lebih-lebih mengakhiri kelangkaan minyak goreng.

Satu pertanyaan yang sangat relevan dengan kondisi ini dari ekonom Rizal Ramli, apakah pergantian menteri menteri dapat mengubah kebijakan politik pemerintah dari kebijakan yang memihak oligarki menjadi lebih memihak kepentingan rakyat, khususnya mereka yang miskin? Atau sebaliknya, justru kian mengukuhkan kepentingan oligarki di republik ini?

Tak ada jawaban yang cukup bagi pertanyaan itu, kecuali kinerja yang nyata dari pemerintah. Sudah lewat masanya pertanyaan itu dijawab dengan menggunakan pencitraan politik dan kekuasaan di ruang-ruang publik. Rakyat pengin mendapatkan minyak goreng murah tanpa harus mengantri, serta tanpa aplikasi. Rakyat miskin juga pengin hidup merdeka setelah pandemi Covid-19 memasung kemerdekaan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rakyat ingin menghirup kemerdekaan di republik ini secara nyata.

Bukankah Pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah menegaskan bahwa kekayaan sumber daya alam di Indonesia adalah milik negara dan diperuntukkan atau dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup rakyat Indonesia? Namun, mengapa kedaulatan ekonomi nasional belum juga dapat mengejawantah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Baca juga:

Sudah tak terhitung ada berapa politikus yang menjanjikan akan mewujudkan Indonesia yang maju secara ekonomi; rakyat sejahtera dan makmur kehidupannya. Akan tetapi, lagi-lagi, janji-janji politik kekuasaan itu hanya sebatas pencitraan semu kepada publik. Nyatanya, hajat hidup rakyat banyak justru dikelola untuk kepentingan segelintir orang.

Kelangakaan dan tingginya harga minyak goreng inilah contohnya. Indonesia memiliki kekayaan perkebunan sawit, tetapi mengapa minyak goreng bisa sampai langka di pasaran sehingga rakyat terpaksa harus membeli dengan harga tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka?

Apa sebutan bagi kondisi ketika pemerintah melulu mengkhianati amanat rakyat? Apa sebutan bagi janji-janji para politikus terpilih yang tidak pernah mereka usahakan agar terpenuhi sampai tuntas? Ya, benar, sebutannya tak lain dan tak bukan adalah bohong, omong kosong.

 

Editor: Emma Amelia

Aswin Online

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email