Dunia yang Sepele

Ilham Maulana

9 min read

Sejak kenal dunia ini. Penulis yang kutemui gagal total menjauhkan dirinya dari prasangka buruk. Ketika memperlakukan orang mereka kadang jadi sok-sokan dan merasa paling bijak. Umur kami belum dua puluh saat kulihat kepala-kepala itu membesar hendak meletus.

Aku ingat teman-teman, yang terobsesi jadi bijak sementara nilai-nilai hidup belumlah direngkuh banyak. Seperti halnya Bandi, yang sepantar denganku dan bau badannya cukup mengganggu. Memang sifat rajinnya mesti ditiru, ketika di asrama ia memilih menyuci sendiri pakaian dibanding menggunakan jasa laundry. Begitupun sifat cueknya, yang masa bodoh melenggang dengan pakaian lecek, mengabaikan cibiran orang. Tapi saat aromanya menyerang hidung, itu lain cerita.

Kamar jagoan Taekwondo dan pengurus Forum Giat Pena itu bersebelahan denganku. Di hari Jumat, kamar Bandi yang kosong ditinggal teman-temannya berlibur, membuatku seringkali iseng berkunjung. Berikut kucuplik gaya soknya, setelah tiga hari lalu ia hibahkan buku-bukunya padaku.

“Keren juga ya bisa tahu pikiran orang dari buku.” kataku yang tiba-tiba duduk di seberang ranjangnya. Lihat bagaimana aku menjalin pertemanan. Membiarkan hidung terganggu sebab Bandi mengenakan sarung lusuh, juga kemeja yang ia pakai pergi ke masjid sekaligus tidur. Ia tetap percaya diri, meski pakaian kotornya, yang menumpuk dalam ember, terletak persis di dekatku. Komentar tadi dimaksudkan untuk membuka obrolan buku. Sebenarnya buku-buku yang ia beri tak termasuk buku yang bagus. Aku pikir orang ini bosan melihat buku-buku lawas di lemarinya yang berantakan, lantas, seolah dapat ide cemerlang, memperlakukanku sebagai gudang.

“Kalau hanya baca buku, cuma pikiran orang yang terus kautiru. Sebaliknya, kalau menulis kau bakal dikenal orang,” balasnya dengan lagak sok mengajariku. Beda halnya dengan celoteh, yang memiliki kadar spontanitas. Keterusterangan tak disembunyikan yang membuat kawan terkejut. Kata-kata itu lebih kuanggap sebagai pancingan untukku, yang tak menulis sebaik dirinya. Setidaknya itulah yang ia kira. Sementara dalam hati. Aku selalu berpikir. Mengarang saja sampai meninggal, Bandi! Tulisanmu sekadar picisan, karya yang merengek bahkan sebelum ditemukan oleh pembaca.

Aku sudah siap, dengan omongannya. Orang ini, sangkaku, anak yang mesti diberitahu, kalau karyanya sepele, agar sungkan untuk menggurui, apalagi bermodal kata-kata yang ia hafal dari penulis lain. Kata-kata yang ia ingat dari perpustakaan FGP, di mana di situlah buku-buku kulahap seluruhnya sampai habis.

Ruangan kecil itu sebetulnya tak cocok disebut perpustakaan. Karena hanya berisi satu boks buku, menyia-nyiakan rak besi yang berdiri gagah di belakangnya. Buku-buku yang ada hasil sumbangan anggota baru. Jadi wajar saja, aku hafal kata-kata yang dicopet Bandi, untuk membuat orang kagum padanya. Bukannya tercerahkan, aku malah muak kalau harus mencontohnya.

Mestinya Bandi malu, mengutip kata-kata buku dan menyampaikannya seolah milik sendiri. Kalau kau perhatikan mukanya yang minta disanjung. Kau bakal paham seluruhnya omong kosong. Aku dan dia memang bergiat di FGP. Saat itu kawan-kawan yang mendaftar menyerahkan karya, rata-rata tiga halaman di kertas portofolio. Beda halnya dengan karangan Bandi. Kombinasi dari cerita pasutri, rumah tangga penuh berkah, serta nasehat dan anjuran yang mesti kaupegang setelah menikah, sementara penulisnya baru tumbuh bulu kemaluan, aku mengirim karya tentang koboi yang dipenjara menanti eksekusi. Koboi yang akhirnya lolos dari tiang gantungan setelah raja menyilakannya untuk bertarung meladeni Troll di pegunungan. Makhluk buas yang sering mengunyah ternak. Relevansi sejarah Koboi, dengan Troll yang hanya ada di dongeng barat, tak kupikirkan saat itu.

Ketika Bandi diterima FGP karena tulisannya cocok di lingkungan islami, kupikir imajinasilah yang membuatku dapat sekomunitas dengannya. Lucu sekali bagaimana Bandi menulis soal rumah tangga yang belum pernah ia coba. Ketika membaca karangannya tanpa konflik, apalagi kacamata perempuan dalam menyikapi kebosanannya hidup terpisah dari tetangga, hidup seturut keinginan suami sehingga menolak dorongan studi S2 dari orangtuanya, aku rasa tak ada apapun yang ditawarkan dari karyanya.

Kami mestinya dilantik sebagaimana komunitas lain mengenalkan anggota barunya di pesantren. Perkenalan di dalam masjid sehabis isya, di mana jamaah akan membuka jalan untuk kami maju bergiliran. Nama-nama bergiliran disebut, hingga baris panjang, berdiri menghadap santri lainnya.

Seperti bocah pada umumnya, dikenalkan dalam masjid sebagai FGP akan sangat membanggakan. Namun acara itu batal, sebab malam harinya, ambulan datang, mengantar jenazah kakak kelas kami, yang lima hari kemarin, mengalami kecelakaan. Tak ada yang menyangka, kompetisi futsal antar santri memakan korban. Kakak kami ambruk usai duel udara. Sulit bernafas setelah disikut tengkuknya oleh lawan.

Malam itu kami mengadakan salat jenazah. Tak ada acara pelantikan. Tak ada kebanggaan yang aku dan Bandi impi-impikan. Itulah mungkin, mengapa sampai kini, Bandi ingin menyadarkan semua orang, kalau dirinya penulis hingga wajar mengeluarkan kata-kata emas kepada siapapun yang mendekatinya.

Aku tak begitu saja menuduhnya. Sekali waktu. Terengah-engah menempuh trek enam kilometer dalam acara lari pagi setiap minggu, aku berhenti. Mengambil nafas dan menemukan Bandi di belakangku. Coba menyejajarinya dengan ikut jogging, aku memulai basa-basi, bertanya di mana kawan lain, juga kenapa, sepanjang jalur hanya ada kita berdua.

“Waktu lari dari asrama, ane jadi sadar. Beda pemenang sama pecundang. Pecundang berhenti sebelum berhasil.  Tapi pemenang sampai tujuan biarpun lelet.” Ucap Bandi, tanpa perlu berbasabasi.

Mendadak aku hilang selera. Hanya berjalan melewati pohon pisang di gigir selokan, pangkalan ojek juga anak-anak kecil yang menyapa di halaman sekolah. Biar saja aku telat. Dihukum oleh divisi olahraga dengan push up. Menunda waktu hanya untuk menghindari Bandi. Membiarkan punggungnya pergi, menjauh meninggalkanku yang dongkol sendiri.

Pikirku lomba apa yang sedang kita lakukan sampai-sampai Bandi dengan lagaknya harus berbagi quotes tanpa kuminta. Apakah dia menyindirku yang duduk-duduk, bukannya berlari? Apakah saat menemukanku, ia tak sadar kalau kawan-kawan lain tak terlihat karena kutinggal jauh di belakang? Merekalah yang kubalap sejak awal. Modal motivasiku tak perlu disebut namun buktinya nyata. Lagipula yang Bandi katakan amat familiar. Persis pengandaian hidup dari sepeda, ketika kita tak sampai ke manapun saat berhenti menggowesnya. Tak lebih dari kata-kata mutiara yang sliweran di media sosial.

Kesan yang sama muncul saat aku mengajaknya ngobrol tentang writers block dan kiat-kiat apa yang menghindarkan penulis pemula dari kebosanan itu. Setelah mulut pegal menyampaikan, sedang Bandi tak melirik selain buku yang ia pegang. Ringan berkata, “Jangan batal menulis karena gak ada inspirasi. Menulislah, maka kau akan terinspirasi.” Aku marah dan cepat-cepat mengajaknya kelahi. Ia mengutip quotes, melemparkannya secara sembarang seolah kami fakir motivasi. Ia mau didengar, tapi mudah menyepelekan. Karena itu, kupancing ia untuk Taekwondo. Menyerangnya asal-asalan dengan teknik Jean-Claude Van Damme yang kucontoh.

Belum satu menit ketika Bandi ingin menendang pahaku untuk kedua kali. Hendak mengincar perut sebelum gagal karena aku melompat tinggi. Balik mendorongnya dengan kaki. Perkelahian itu bakal lebih serius kalau saja tak ada orang memisahkan kami.

Setelah kejadian itu, ketua kamar melarangku mengunjungi Bandi. Kenangan terakhir dengannya hanya seputar perkelahian. Kawan-kawan yang panik merangkul kami. Juga beberapa orang yang naik ke lantai atas. Terganggu karena berisik.

Selama berpisah dari Bandi. Ada banyak penulis yang kukenal. Mereka-mereka inilah yang meskipun bukan anggota FGD tetap getol dalam menulis. Ada Nizam yang fokus merampungkan novel. Ceritanya soal kemampuan mata, yang dapat mengendalikan musim, mendorong benda-benda dengan semacam telekinesis, menumbuhkan rambut di kepala botak, atau menghentikan burung yang sedang bergegas dalam alur terbang. Aku sempat membaca karangan Nizam. Seluruhnya ada lima puluh halaman di buku tulis. Sayangnya saat kutunggu karyanya terbit, ia kehilangan motivasi. Ibunya meninggal menyusul sang bapak yang empat tahun sebelumnya tutup usia. Bermodal keinginan ibunya, agar sang anak memenangi olimpiade IPA. Ia banting setir, mengikuti banyak bimbingan belajar, bergabung dalam grup yang berisi para jenius, menjajal kompetisi di kota-kota untuk jadi yang terbaik. Kecuali menolak membaca bundel puisi yang kusodorkan padanya, memandang sinis puisi dan menuduhnya sebagai karya populer, Nizam tak menunjukkan bakat sok-sokan melebihi Bandi.

Masjid mengenalkanku dengan penulis lainnya. Mengisi percakapan sastra dan senggangnya waktu yang sempat kosong karena menjauhi Bandi. Sewaktu menginap, santri-santri yang terbungkus bed cover, tertidur pulas secara acak, mengelilingi kami mengobrol seru tentang fiksi. Ada Nizam, Sujeng, dan Tito yang meninggikan karya masing-masing.

Di antara ketiganya, hanya aku yang menulis puisi. Sujeng sedang menggarap cerita detektif. Ia ingin menandingi Holmes muda yang dikarang oleh Shane Peacock. Tito menulis kisah seorang pilot, yang mengalami kecelakaan dan berhasil terjun ke pulau cebol. Bertualang, mencari garis tengah antara logika dan mitos.

Keduanya setuju, puisi hanya permainan. Kata-kata yang gagal untuk dicerna. Bahkan tak bisa untuk sekadar menahan pembacanya duduk lama.

Tito berteman akrab dengan pelanggaran. Kerjanya bersembunyi di aula kosong, tak peduli kalau ada yang memergoki. Ia senang ngobrol dengan temannya di facebook, membalas komentar di wordpress-nya. Cerita yang ia buat hasil mengetik dalam notes ponsel. Tiga sampai lima paragraf yang menurutnya inspiratif hingga tak berpikir dua kali untuk memposting.

Kasus pencuriannya dibicarakan oleh semua orang. Di mana sekardus kaleng sarden ia alokasikan untuk teman-temannya setelah membobol gudang. Malang bagi Tito, belum puas menikmati kemenangan, satpam menggiringnya ke kantor pos. Salah seorang kawan yang membocorkan aksi itu. Menyebabkannya mesti digundul, mengenakan nametag pencuri, dan dijemur di lapang asrama putri.

Barangkali, karena sifat dasarnya. Tito mengangguk saja saat Sujeng mengajaknya mencuri.

Sekarang kami berada di dalam tenda. Di halaman parkir yang tiga hari dari sekarang, dijadikan bazzar oleh penerbit terkenal. Menggiurkan melihat buku-buku fiksi terjemahan saling himpit di dalam rak. Tersusun secara asal. Aku menghafal judul buku-buku yang nantinya akan kubeli. Sedang Sujeng memasukkan tiga sampai lima buku ke dalam tas, mengecek ringkasan cerita, dan menyuruh kami menilep buku yang ia minta.

Bukannya aku mendukung aksi mencuri. Ini terjadi berhubung aku kena tipu. Aku pikir kita hanya melihat-lihat. Hanya tiga orang bocah yang ngiler begitu menemukan tenda berisi buku. Tito dengan lagaknya coba meluruskan; “Masih untung bisa bermanfaat buku-buku ini. Kalau bukan kita yang menyelamatkan, kasihan karyawan, buang-buang waktu menunggu booth sepi.” Aku merasa dibohongi oleh mereka. Keduanya hanya mengajakku izin di hari selasa. Mencari inspirasi di taman kota.

Hari di mana aku yakin untuk menjauhi mereka, adalah ketika keduanya bungkam, tak membelaku yang dianggap mencuri buku oleh Wali Asrama. Buku-buku cecunguk itulah yang kusimpan di lemari, dalih tempat aman, sebab di asrama mereka sering ada penyitaan barang, membuatku apes, menanggung poin pelanggaran sendirian.

Selain itu, Sujeng berhasil membuatku enggan lebih jauh dalam mengenalnya. Tipikal orang yang merasa pantas meledek segalanya. Sekali waktu ia menunjuk mukaku yang penuh jerawat dan menyamakannya dengan bulan. Aku bisa terima, atau sebatas meninju dagu untuk melihat reaksi, kalau saja yang menghinaku orang tampan. Tapi Sujeng? Bocah jelek yang terlihat dijauhi teman-temannya, anak yang gerak-geriknya konyol kalau berjalan karena lengannya persis seperti T-Rex, dan bokongnya naik turun tak wajar, sama sekali aneh berani menyinggung orang. Masih untung ada orang coba mengerti ia.

Di depan kantor informasi. Ketika aku dan Umar duduk-duduk membaca koran. Sujeng yang mengklaim tempat favoritnya ringan saja mengusir kami.

“Ngapain lu Mar? Jangan di sini lu,” sebut Sujeng

“Gue gak boleh di sini Jeng?” balas Umar dengan muka membikin haru.

Sujeng pula yang meremehkanku, saat berfoto bersama tim redaksi. Dia pikir aku tak pantas gabung dengan mereka. Tak percaya mesti berkali-kali kuterangkan.

“Gak mungkin. Ini tuh majalah santri buat pesantren. Tulisan ente aja lebih jelek dari ane, mana bisa tiba-tiba masuk redaksi,” ucapnya tak menghargai.

“Kalau gak percaya, tanya aja sendiri,” kataku, melirik ke anggota redaksi lain yang sedang mengamati Sujeng. Tatapan heran dan rasa malas untuk sekadar meladeni, membuatku percaya, untuk sejumlah orang, Sujeng amat mengganggu mereka.

Cerita tadi kusampaikan kepada Sofi. Pacarku yang sering menemani ke toko buku. Ia berkacamata. Gagang merah jambu di atas telinga amat serasi dengan bibir mungilnya yang lembab. Waktu memilih buku, kepalanya sering menyembul di balik rak. Siap melarangku, yang berjongkok mengambil jarak dari posisinya, kalau-kalau tertangkap lihat, memasukkan buku ke dalam tas.

Beberapa menit lalu, ia mengisahkan kegiatannya di majalah sekolah, bahkan sempat mengikuti lomba-lomba kepenulisan di kelas XI Aliyah. Itulah yang mendorongku, membayangkan momen ketika banyak kawan ingin jadi penulis terkenal.

Aku masih menulis sampai sekarang. Mengabaikan minimnya apresiasi. Tak peduli dengan komunitas menulis di jurusan kuliah. Di mana lebih banyak yang datang bergabung atas dasar sertifikat belaka.

Orang-orang masih tak paham, mengapa kutulis puisi banyak-banyak. Bukan cuma potensi kecil untuk meraup popularitas seiring novel lebih sering dicari pembaca, mereka pun bingung sewaktu kutolak ajakan untuk berpuisi dengan tema pesanan mereka, atau untuk keperluan semisal teks monolog sebelum pentas, yang pastinya menyulitkan karena toh saat meminta puisiku, mereka tak mengirim naskah untuk dibaca.

Apa menurut mereka mudah, kalau aku menulis mengandalkan perkiraan? Meski begitu beberapa orang yang tak meminta justru kubuatkan puisi cuma-cuma. Ucapan ulang tahun, atau sambutan selamat karena mereka berhasil wisuda, kubuat serius tanpa bilang-bilang sebelumnya.

Melihatku rutin menulis, sekali waktu seorang teman minta dibuatkan puisi. Ia baru patah hati. Ditinggal perempuan yang ia kenal dari gim Mobile Legend. Aku menulis dan peroleh upah dua bungkus rokok. Hal seperti ini terjadi, hanya bila orang yang memesan terhitung teman karib. Sisanya, rutinitas dan segenap fokus demi dimuat dalam kolom sastra, mentah tak sesuai selera redaktur.

Aku coba memeriksa, seberapa jauh pencapaian kawan-kawan penulisku dulu di Instagram. Nizam, Tito, dan Sujeng terlihat sibuk bergelut di bidang lain. Tak ada karya yang diunggah atau dijadikan bahan pamer ke semua followers-nya untuk menyampaikan betapa mereka pantas disebut penulis. Mengenai ini. Mungkin mereka menulis di media lain, tak memberitahu siapapun, giat bekerja di dalam hening.

Bandi selalu menghibur dengan segala optimismenya. Ia masih menulis, mengedarkan buku yang terbit secara self publishing kepada kawan-kawan pengajiannya. Aku tertawa membaca tulisan-tulisan dakwah yang ia sebut puisi, sekalipun tanpa majas, hanya enjambemen dan tipografi meniru puisi.

Bahkan saat kuliah, aku temukan orang-orang aneh. Duduk bersama di halaman Sekre Alumni. Kakak tingkatku mengisahkan, bagaimana program pembukuan karya seringkali menerima puisinya. Tapi begitu kuintip sendiri, karyanya hanya mainan anak-anak, kanal untuk mengungkap kepedihan, sama sekali bukan hasil belajar dari tiga tahun masa kuliah.

Di toko buku, ketika seorang kenalan papasan denganku, sedang sibuk membolak balik puisi Kahlil Gibran. Mulai bercerita tanpa kuminta soal mudahnya menulis, soal ia dapat mengarang apapun. Aku mengangguk-angguk seolah tertarik. “Nulis apa aja gue mah, gampang semuanya bisa,” akunya dengan percaya diri.

Ketika orang yang sama menyerahkan puisinya, bertanya jenis apakah puisinya. Ringan saja kuberitahu ia, “Bukan puisi ini mah. Cuma catatan-catatan sedih.” aku tak menunggu reaksinya. Berharap perkataan pahit itu mendorong dirinya banyak belajar, meskipun yang terjadi sebaliknya. Unggahannya di Instagram: kata-kata yang dibalut design visual. Tiba-tiba lenyap dihapus semua.

Mengingat mereka semua, mendorongku khusyuk dalam berlatih dan membaca. Puisi-puisi yang kusiapkan, kukirim dahulu kepada dosen atau teman yang bagiku karyanya lebih berkualitas. Sesekali ada saran dari mereka. Meski begitu. Betapapun kugubah karya, melumasi ungkapan-ungkapan konkrit dengan uraian alusi atau intertekstual, tetap tak banyak disambut media.

Sekarang kalau dipikir, ada banyak jalan menjadi penulis. Aku bisa meniru Bandi. Bergabung ke dalam komunitas menulis. Menerbitkan karya secara mandiri yang biarpun jelek tapi tetap dielu-elukan oleh segelitir orang sebagai penulis. Bisa juga nyemplung ke circle sastra, menggembar-gemborkan karya senior sebagai karya terbaik, memuji seorang patron agar namaku cepat naik. Tapi aku bukan penjilat, dan sebesar apapun karya mereka, sebagaimana diulas para kritikus atau dimenangkan juri sayembara. Pembelajaran yang kudengar juga buku-buku teori yang kubaca sanggup memindai di dalam magnum opus itu pastilah tersimpan cacat. Ekosistem pembacalah, yang tanpa adu argumen, tukar pendapat, menerima karya secara final membuat penulis-penulis itu seolah tanpa tandingan.

Sekonyong-konyong tangan lembut itu menarik tanganku. “Balikin, Ilham,” perintah Sofi yang berdiri di belakang. Menangkap basah aksiku, yang seolah memasukkan buku ke dalam totebag. padahal hati-hati mengeluarkan buku yang kucetak sendiri. Celingak-celinguk memastikan jarak petugas jauh, kujelaskan padanya soal rencanaku.

“Tapi kan kalau ada yang beli, datanya gak bisa diinput. Nanti kamu gak dapat uang lho.” Sofi melihatku dengan heran. Mengepit tiga buah buku yang masih ditimbang untuk dibeli salah satunya, ia amati pengunjung lain, menjagaku agar tak terlihat.

“Peduli amat, yang penting orang tahu, kalau bukuku ada di toko besar.”

Dalam rak kategori fiksi kuselipkan buku dengan cepat. Inilah cara paling cocok untuk membiarkan karya menawarkan dirinya sendiri, beradu gagah dengan buku-buku penulis lain. Bertanding dengan karya yang telah difilmkan. Menyembul di antara buku, yang saking bagusnya membuatku iri.

Setidaknya kalau Bandi dan kawan-kawan berkunjung ke kota ini, mampir ke toko buku ini, mereka akan kaget. Soal lainnya, seperti bagaimana respons kasir menerima buku tanpa harga dari pembeli, bagaimana pihak toko akan menghubungiku, memprotes soal perdagangan ilegal atau mungkin langsung membuang bukuku ke gudang, sama sekali tak kuambil pusing.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ilham Maulana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email