Redaksi Omong-Omong

Upaya Membaca Semesta Katarina

Ghufroni An'ars

6 min read

Sesekali cobalah masuk ke rumah dari pintu belakang, dari atap, atau jendela. Lihatlah betapa asing, ruang-ruang yang kita kira kita kenali itu. Begitulah kiranya kesan yang timbul di benak saya ketika membaca cerita-cerita karya Katarina Retno Triwidayati. Di tangannya, tema rumah tangga yang sederhana bisa menjelma rangkaian cerita yang tak biasa. Ia seolah ingin mengajak pembaca untuk melihat ruang-ruang di dalam rumah tangga, dari sudut pandang yang sama sekali berbeda. Ketelatenannya menanam konflik-konflik subtil menunjukkan betapa ia adalah seorang pengamat yang rajin mencatat. Perbendaharaan perspektifnya amat kaya. Katarina selalu punya alasan kuat yang bisa diterima akal atas segala ‘kenakalan’ yang ia perbuat di dalam semesta ceritanya.

Sebagian besar cerita pendek Katarina—yang saya ikuti sejak 2021—berkutat pada satu tema sentral: rumah tangga. Memilih tema yang sederhana tidak lekas membuat ceritanya terjebak dalam kubangan klise. Saya kira banyak penulis pemula yang terbebani untuk menciptakan kebaruan dari karya-karya terdahulu. Kebanyakan dari mereka akan mengeksplorasi aspek tematik terlebih dahulu. Misalnya bermain dalam tema-tema dunia futuristik, anomali waktu, atau dunia fantasi yang hanya bisa dilalui tokoh utama kita. Katarina lain. Saya kira, Katarina yang juga seorang akademisi sastra, menyadari bahwa tema hanyalah satu dari sekian banyak perangkat bahasa yang dapat ia gunakan dalam bercerita. Ia tidak melakukan lompatan-lompatan atraktif secara tematik, melainkan memilih untuk menggunakan bahan-bahan yang paling dekat dengan dunianya. Saya memperhatikan beberapa cara lain yang ia gunakan untuk menjalin kisah rumah tangga itu menjadi khas semesta Katarina.

 

Alienasi Karakter

Saya melihat adanya upaya yang dilakukan Katarina untuk mengalienasi karakter ceritanya dari realita sosial. Adanya jarak antara karakter utama dengan dunia yang ia tinggali, menciptakan keganjilan yang menarik untuk diikuti. Ia tawarkan keterlibatan ciri khas individu dan rasa heran melihat dunia yang kita kira normal. Perpaduan itu yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan eksistensial bagi pembaca. Misalnya, dalam cerita pendek berjudul Obituari untuk Suami (2021). Apa yang dirasakan seorang istri yang telah lama mengurus suaminya yang lumpuh total sampai akhirnya meninggal? Perasaan duka atau merdeka?

“Saya tak mengenalnya. Sedikit pun. Hingga hari kematiannya. Saya hanya melayaninya, terus melayaninya, berpikir akan segera mendapatkan surga. Tapi kematiannya membuat saya sadar, saya hanya sekadar melaksanakan kewajiban dengan kegilaan dan harapan untuk diri saya sendiri. Saya bahkan lupa siapa saya yang sebenarnya. Semua dalam hidup saya terpusat padanya yang kemarin meninggal dunia. Dan harus saya katakan, itu bukan suatu kebaikan. Dia menjelma menjadi berhala kecil dalam dunia saya yang sempit. Oleh sebab itu, saya tidak bisa mengatakan apa-apa tentang dia. Saya juga tidak tahu apakah hari ini saya perlu berduka atau justru bahagia atas kematiannya.”—Obituari untuk Suami

Efek alienasi Marx yang mulanya dicetuskan untuk mengkritisi kondisi buruh yang terasing dari pekerjaan, alam, bahkan dirinya sendiri akibat praktik ekomomi kapitalis, belakangan dapat pula dilihat sebagai gejala individu yang terasing karena faktor mitos-mitos bersama. Dalam konteks Obituari untuk Suami, misalnya, tokoh utama kita merasa terasing karena keyakinannya atas nilai kesetiaan kepada sosok suami. Hal itu pula yang membuatnya mempertanyakan perannya kembali sebagai seorang istri dan sebagai individu yang merdeka. Dalam cerita ini, Katarina menciptakan dunia kecil (rumah tangga) dengan hubungan subordinatif antara suami-istri, sehingga rutinitas domestik yang berlebih terlihat tak ada bedanya dengan tekanan pemodal kepada proletar.

Saya kira alienasi karakter dalam konteks rumah tangga sangat relevan bagi dunia modern yang semakin dingin terhadap emosi individual seperti hari ini. Eksistensi seorang manusia dalam sebuah tatanan keluarga adalah apa yang dapat seseorang lakukan untuk memenuhi ekspektasi anggota yang lain. Jika tidak terpenuhi, maka ia akan merasa terasing dan terbuang. Kenyataan itu memang tak banyak diungkap secara gamblang di dunia yang sopan santun, tetapi melalui sastra wacana itu menari dengan bebas, salah satunya melalui tangan Katarina.

Alienasi karakter juga tampak pada cerpen Kiamat Sarmi (2021) ketika sang narator merasa bingung pada sikapnya sendiri yang meminta Sarmi, tetangganya, untuk terus bertahan meski menjadi korban kekerasan suaminya. Katarina mempertanyakan persepsi yang seolah mutlak bahwa betapapun pahitnya, hidup harus terus dijalani. Ada jarak antara logika sang narator dengan sikapnya sendiri, yang secara otomatis berpikir bahwa mempertahankan hidup yang pahit masih lebih baik daripada mengakhiri penderitaan di jalan kematian.

“Kau harus kuat,” bisikmu di telinganya. Mengapa kamu memintanya bertahan? Bukankah hidupnya serupa neraka? Jika dia tidak bertahan, bukankah itu sebuah kebaikan? Atau boleh disebut keuntungan? Atau lebih tepat lagi keberuntungan?—Kiamat Sarmi

 

Kematian Sang Dominan dan Perilaku Ganjil

Saya menandai ciri khas karya Katarina dari dua caranya menggerakkan tokoh: kematian tragis dan perilaku ganjil orang-orang yang ditinggalkan. Dua hal itu yang kiranya berhasil memancing minat pembaca (mungkin juga editor) untuk melangkah ke paragraf berikutnya.

Anda akan kecewa bila menduga kematian dalam semesta Katarina sebagai puncak ketegangan. Sebaliknya, kematian itu kerap digambarkan sebagai peristiwa biasa, bukan karma tuhan untuk si jahat, bukan pula romantisasi perpisahan dari hubungan antar karakter dalam cerita. Karakter yang mati cenderung merupakan pihak yang dominan. Sebagian besar laki-laki. Saya menduga penggambaran itu ada kaitannya dengan sikap pengarang terhadap dominasi patriarki yang ia cerap dari studi literatur, atau mungkin pengalaman pribadi sebagai seorang perempuan dalam keluarga.

Dalam cerita Mea Culpa (2022) tokoh utama kita—yang merupakan pengarang perempuan—menjadikan menulis sebagai cara untuk membangun dunia ideal yang tak bisa ia wujudkan di dunia nyata. Kekerasan rumah tangga yang dialaminya membuat tokoh utama kita mendambakan kontrol atas situasi, termasuk menghadirkan dan menyingkirkan karakter sesuka hatinya. Di sisi lain, sadar bahwa rasa sakit dapat mendorongnya dalam berkarya, ia lantas membiarkan kekerasan yang dialaminya terus terjadi tanpa perlawanan.

“Aku menjadi penulis karena ingin menghadirkan kesempatan kedua. Kubangun duniaku sendiri dan kuhidupkan semua yang ingin kuhidupkan. Kumatikan semua yang ingin kumatikan. Aku berubah menjadi Tuhan. Ya, Tuhan bagi tokoh-tokohku. Dan sial dari semua sial, rasa sakit, kegetiran, kepahitan, dan hal buruk dalam hidupku telah menjadi bahan bakar seluruh tulisanku.”—Mea Culpa

Fantasi atas kontrol situasi itu membuat tokoh utama kita tak lagi bisa membedakan yang nyata dan yang fiksi. Dominasi laki-laki dalam cerita ini diruntuhkan dalam babak kematian sang suami.  Untuk membelokkan plot, karakter dalam cerita-cerita Katarina kerap menampilkan reaksi yang ganjil atas situasi duka. Reaksi-reaksi yang digambarkan cenderung spesifik merujuk pada kondisi gangguan mental tertentu. Misalnya dalam Mea Culpa (2022) tokoh utama kita menjadi pecandu rasa sakit karena terbiasa menerima kekerasan.

“Harusnya aku diam saja. Aku tak sengaja melawan. Aku tak sengaja mendorong dan itu membuatnya jatuh. Harusnya dia ada di sini, tetap hidup. Seperti biasa, agar aku bisa menjalani hidup yang juga biasa. Aku menikmati semua ini. Aku candu pada sakit. Sakit yang mengerikan.”—Mea Culpa

Dalam cerita Lebah di Kepala Istriku (2021) dikisahkan bahwa sindrom ratu lebah yang dialami karakter istri membuat sang suami memikirkan berbagai rencana pembunuhan. Sang suami tak tahan membiarkan dominasi perempuan terus terjadi di dekatnya. Namun, sang istri mati secara tiba-tiba sebelum salah satu rencana pembunuhan itu sempat dilancarkan. Sepeninggal istrinya, sindrom tersebut berpindah ke kepala sang suami. Tak ada penggambaran situasi duka yang semestinya. Adegan kematian justru dijadikan sebagai medium untuk menceritakan bahwa siapapun pasti akan menderita saat mengalami masalah mental serupa.

“Suara dengung bergaung-gaung. Lebah-lebah datang lalu menyengat kepalaku. Apa mereka pindah ke dalam otakku? Hey, sengatan mereka sangat menyakitkan. Aku membagikan rasa nyeri pada perempuan Ratu Lebah yang terbaring kaku. Tapi, dia diam saja. Sialan. Sialan sekali.”—Lebah di Kepala Istriku

 

Disorganisasi Keluarga Hewan

Semenjak Lebah di Kepala Istriku (2021) tampak adanya perubahan cara bercerita dalam cerpen-cerpen Katarina. Ia mulai menggunakan perangkat metafora hewan untuk mengumpamakan kondisi individu tertentu. Misalnya dalam Sebuah Pertimbangan Menjadi Kerbau (2021), salah satu cerpen paling eksperimental Katarina. Di cerpen tersebut, karakter suami yang geram melihat perubahan fisik istrinya yang mulai menua, gendut dan ubahan, berharap bisa berubah menjadi kerbau saja. Sementara penyebutan hewan-hewan lain dalam cerpen ini digunakan kurang lebih untuk mengumpamakan kondisi masyarakat—keluarga khususnya—yang tak terorganisasi sesuai konvensi masyarakat. Banyak tuntutan peran yang tak dapat dipenuhi oleh anggota keluarga dan menyebabkan perpecahan dan kekacauan. Seolah Katarina ingin mengatakan bahwa tak ada keluarga yang baik-baik saja, meski tampak luarnya sempurna.

Disorganisasi keluarga dengan karakter yang lebih kompleks muncul pada cerita Bisikan Tikus (2022). Cerpen ini menceritakan seorang bapak yang menganggur akibat PHK, dengan dua anaknya yang berkebutuhan khusus, serta istrinya yang gila kerja. Dalam kondisi tersebut, bisikan tikus di rumahnya memaksa si bapak untuk melakukan pemburuan. Perasaan tak terima pada kenyataan membuatnya mengalami halusinasi, hingga membunuh istri dan kedua anaknya dengan tangannya sendiri.

Dalam Bisikan Tikus Katarina memasukkan banyak elemen eksternal untuk menunjang ketajaman logika ceritanya. Misalnya dampak PHK yang dialami si bapak adalah puncak gunung es dari kuasa sistem ekonomi kapitalistik yang bisa sewaktu-waktu menyingkirkan buruh kelas bawah tanpa pandang bulu. Sosok ibu yang gila kerja dapat dilihat sebagai pernyataan sikap pengarang terhadap peran perempuan pekerja yang masih dianggap ganjil dan aneh di masyarakat, apalagi jika sampai posisinya lebih tinggi dari suami. Keadaan ‘istimewa’  karakter anak merupakan potret masyarakat yang masih gagap dalam memandang individu berkebutuhan khusus.

“Sejenak aku ingat pada istriku yang suka bekerja. Juga pada dua anakku yang istimewa. Di mana mereka ya? Tak ada siapa pun di selasar rumah. Hanya ada aku yang berdiri menatap cermin di lemari baju, dan kulihat tikus besar berbisik dan bergerak mengikuti setiap gerakanku. Tertawa dan menangis seorang diri.”—Bisikan Tikus

Dalam cerpen Bengkah (2022) keterampilan Katarina menggunakan hewan-hewan sebagai perangkat bercerita tampak semakin tertib. Ada kesan bahwa sang empunya cerita jauh lebih memperhatikan kesan pembaca dalam cerpen-cerpen setelah Bengkah. Sebelumnya, hewan-hewan dipinjam sembarangan untuk menggambarkan apa pun yang hanya tuhan dan pengarang yang tahu. Sementara dalam Bengkah, karakter babi konsisten digunakan untuk menggambarkan sosok ibu yang ingin lari dari pernikahannya yang telah bengkah (retak). Cara tersebut efektif digunakan sekaligus sebagai umpatan yang masuk akal karena cerita dinarasikan oleh sosok suami yang posisinya kontra.

“Aku yakin babi betina itu tidak bisa berlari jauh. Sebelas tahun kuikat kakinya. Kukeluarkan otak dari tempurung kepalanya. Dan kuternakkan ulat-ulat di batang lehernya.”—Bengkah

Cerpen-cerpen Katarina memang tak bisa dilepaskan dari kesan gelap dan sadis. Pola penyelesaian ceritanya kerap mengambil jalan yang ekstrem. Diksi yang ia pilih pun tak jauh dari kesan murung dan depresif. Gambaran itu kerap membuat pembaca lupa bahwa lapis makna dalam sebuah cerita menghamparkan ruang interpretasi yang lebih luas dari penilaian terhadap unsur tekstual semata. Katarina selalu menyajikan akhir terbuka dalam setiap ceritanya. Tak jarang pula kenyataan pahit dalam dongeng-dongengnya menawarkan harapan di ujung cerita.

“Meski telah kuikat kakinya selama sebelas tahun, babi itu tetap melesat. Meski kukeluarkan otak dari tempurungnya, babi itu mengisinya dengan buku-buku. Melipat kertas-kertas penuh tulisan menjadi otak baru yang justru tajam. Aku merasa seperti diiris tipis-tipis, selapis demi selapis, pelan-pelan. Dan ternak ulat di batang lehernya, ternyata telah lama menjadi Kepompong. Kini jutaan kupu-kupu mengepak, membawanya terbang.”—Bengkah

 

Antara Kecemasan dan Harapan

Kecemasan dan harapan adalah jukstaposisi yang kerap tertanam dalam cerita-cerita Katarina. Sebagian pembaca mungkin akan melihat sisi kecemasan itu lebih dominan. Bahwa cerita-cerita Katarina adalah teror, atau semacam ajakan untuk mempertimbangkan kembali langkah kita dalam membangun rumah tangga. Di sisi lain, pembaca yang cemat akan menemukan harapan yang tersaji di bagian terdalam cerita-cerita Katarina. Dari tokoh-tokohnya yang berani bertindak untuk memperjuangkan nasibnya, dari plot cerita terbuka yang memberikan babak interpretasi di luar teks, juga dari keberanian pengarang untuk mengungkapkan realita secara apa adanya.

Seperti yang saya katakan di awal, bahwa membaca cerita-cerita Katarina seperti masuk ke rumah dari pintu yang lain. Kita mungkin akan langsung disambut oleh dapur, toilet, atau halaman belakang yang becek dan tak sedap dipandang mata. Namun, di sisi lain kita dapat memahami ketidaksempurnaan itu. Sebab, jauh di dalam hati kita sebetulnya ada kesadaran, bahwa memang tak ada rumah yang sempurna. Kita yang kerap terlalu keras menyembunyikan ketidaksempurnaan itu, karena terlalu cemas atas penilaian orang lain terhadap rumah kita. Sementara Katarina memilih membentangkan bengkah itu sebagai bagian dari realita, bagian tidak sempurna dari setiap keluarga.

***

Editor: Prihandini N

Ghufroni An'ars
Ghufroni An'ars Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email