Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Lebah di Kepala Istriku

Katarina Retno Triwidayati

2 min read

Kurasa perempuan yang menjadi istriku itu memiliki jutaan lebah di kepalanya. Mungkin otak istriku menjelma menjadi Ratu Lebah. Minimal menjadi istana lebah. Entah mana yang benar. Tapi kemudian aku lebih suka menyebut istriku Ratu Lebah. Ya, dia Ratu Lebah yang memimpin lebih banyak lebah pekerja.

Namun, lebah-lebah itu tidak menghasilkan madu. Mereka menghasilkan racun. Ya, mereka menghasilkan racun yang mematikan. Aku menduga demikian karena perempuan itu tak berhenti bicara. Setiap saat, kecuali ketika terlelap, selalu ada yang dibicarakannya. Mulutnya mengeluarkan banyak kata. Sebagian kecil kudengarkan. Sisanya kubiarkan.

Namun, makin lama, perempuan itu semakin menyebalkan. Bicara dan bicara saja. Semua hal yang dilihatnya dikomentari. Semua topik yang didengarnya menjadi topik baru. Semua yang melintas di kepalanya ditumpahkan, bergulung-gulung bagai air bah yang tak terbendung. Masalahnya, tak ada Nabi Nuh. Tak ada yang siap dengan bahtera untuk menyelamatkan diri berikut dengan segala hewan berpasang-pasang.

Tentu saja, aku pun bukan Nabi Nuh itu. Aku hanyalah Karmin, suami perempuan itu. Aku hanya laki-laki yang terperangkap dalam pernikahan dengan perempuan Ratu Lebah itu.

Aku sepakat tentang pemikiran bahwa dalam hidup kita pernah salah memilih. Ya, pasti ada masa ketika dirimu salah memilih. Demikian juga aku. Dan dalam hidupku, aku salah memilih istri.

Pekerjaan sebagai pegawai rendahan sebenarnya bukan karir yang bagus. Namun, aku tekun melaksanakan pekerjaan-pekerjaan membosankan itu. Di kantor itu aku menemukan kebahagiaan yang lain. Jauh dari  radio rusak yang terus menerus berbunyi, lantang membagikan informasi yang kerap tak perlu kuketahui. Ehem, lebih tepatnya informasi yang tak ingin kuketahui.

Setiap berangkat dan pulang kerja, aku selalu memilih jalur memutar. Melewati desa lain, menyeberangi sungai, memutar di jalur perbukitan, dan memasuki deret pohon yang sunyi. Kerap aku berhenti dan merokok satu atau dua batang. Aku nikmati angin berkesiur. Tentu juga awan-awan bergumpal-gumpal. Daun-daun berguguran. Tanah-tanah basah dan licin.

Pada saat demikian, aku selalu membayangkan banyak hal. Misalnya, ini yang kerap kubayangkan, menciptakan alat untuk meneropong kepala istriku. Lalu membuat alat untuk berbicara dari hati ke hati dengan lebah-lebah di kepalanya. Tak ada hal lain yang ingin kubicarakan selain menyampaikan keluhan, harapanku dari hati ke hati dengan Ratu Lebah.

Makin lama suara perempuan yang kunikahi itu makin memusingkan. Kalimatnya makin rapat, intonasinya makin sering naik ketimbang turun atau naik turun. Aduh!

Dia juga memiliki banyak topik yang tak terbendung untuk dibicarakan: korupsi pejabat, tidak meratanya infastruktur, janda muda yang sering didatangi para pemuda, harga terong yang merangsek naik, juga tentang gaya bercinta yang itu itu saja.

Melelahkan. Memuakkan. Menjemukan.

Itu sebabnya, aku memikirkan ini. Akan kubeli sesuatu yang beracun untuknya. Hmm, itu terlalu kentara ya? Bagaimana jika menikahi perempuan lain yang lebih pendiam dan tentunya lebih muda darinya? Ah, itu hanya menimbulkan masalah baru. Aku sangat paham itu.

Kuhabiskan banyak waktu menimbang-nimbang rencana. Aku mencari tahu dengan modal internet kantor. Kamu pasti paham tentang konsep berhemat, bukan? Ya, demikian yang kulakukan. Pura-pura bekerja padahal aku hanya mencari informasi tentang apa yang aku mau.

Tentu saja aku mesti berpura-pura khusyuk bekerja. Aku duduk dan menggoreskan tinta pena ke kertas. Apa saja aku tulis. Supaya tampak sibuk. Ya, meski sebenarnya tak demikianlah adanya.

Racun-racun mematikan. Senjata mengerikan. Mana yang harus kupilih? Tujuanku satu saja: perempuan itu harus berhenti bicara. Ah, bukan. Aku ingin lebah-lebah itu pindah.

Aku betul-betul sibuk mencari senjata terbaik. Entah berapa lama. Namun, saat aku sampai rumah, ada bendera kecil berwarna hitam.

Seorang perempuan tua melihatku dan menangis. “Karmin, Karmin. Kemana saja kamu? Istrimu mati tadi pagi. Kami cari kamu ke kantor dan mereka bilang sudah dua hari kamu pergi. Kamu pun tak bisa dihubungi. Lihat, dia di sana ditemukan terbujur di kamar mandi. Mungkin serangan jantung atau ….”

Aku tak mendengar penjelasan perempuan itu. Kulihat istriku terbaring. Diam. Tidak berkata-kata. Lho, kok bisa dia diam sebelum kujalankan satu pun rencanaku? Lalu ke mana lebah-lebah itu pindah?

Aku duduk di sisi istriku yang serupa orang tidur saja. “Kamu tahu, aku tadi ketemu sama Parlan. Kamu masih ingat Parlan pernah pinjam uang kita trus nggak dikembalikan? Dia sudah punya usaha di desa sana. Besok kita mengunjunginya, ya? Aku ….”

Suara dengung bergaung-gaung. Lebah-lebah datang lalu menyengat kepalaku.

Apa mereka pindah ke dalam otakku? Hey, sengatan mereka sangat menyakitkan. Aku membagikan rasa nyeri pada perempuan Ratu Lebah yang terbaring kaku. Tapi, dia diam saja. Sialan. Sialan sekali.

Rasanya aku benar-benar murka. Tapi, tak bisa kuluapkan begitu saja kemarahan ini. Aku harus mengatur strategi. Tentu saja marah-marah itu membuatku tampak tidak bermartabat. Aku harus menyampaikan isi hatiku dengan cara yang tepat: berbicara dari hati ke hati!

Jadi, aku terus-menerus bicara. Bicara terus-menerus. Seperti biasa.

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email