“Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus ….”
Gema amin bergaung-gaung, memantul-mantul. Meloncat dari satu tempat ke tempat yang lain. Api lilin bergerak serupa goyangan genit dan kedip-kedip manja. Rangkaian bunga tertata apik di meja yang entah sejak kapan ada di depan rumahku. Letaknya di dekat sebuah peti mati.
Ini semua bermula dari sebuah kematian. Suamiku mengembuskan napas terakhir menjelang magrib. Meski sudah siap dengan semua kemungkinan terburuk, aku tentu tetap merasa ada yang aneh. Ini semacam sesuatu yang biasa kau kerjakan lalu tiba-tiba berhenti. Ya, sejak lumpuh dua tahun lalu, dia menggantungkan hidupnya padaku. Tidak. Ini tidak berlebihan. Memang dia tak bisa dan tidak mau melakukan apa-apa. Hanya terbaring saja.
Malam makin larut. Jenazah sudah berada nyaman di dalam peti. Aku bisa melihat ada senyum di sana. Jadi, kusimpulkan jenazah itu memang merasa nyaman. Tapi, apakah jenazah masih memiliki perasaan? Ah, aku tak tahu.
Aku duduk di dekat peti, setengah bingung mau melakukan apa. Sementara orang-orang begitu sibuk. Entah sibuk apa. Aku juga tak bisa mengenali mereka dengan cepat. Aku tiba-tiba menyadari bahwa ada banyak hal yang tak bisa kuingat.
“Buatlah semacam sambutan. Ah bukan, buatlah semacam obituari untuk suamimu.” Aku menoleh. Kulihat seseorang berbicara padaku. Aku harusnya tahu itu siapa. Maksudku, orang-orang yang hadir di tempat duka begini biasanya saling kenal. Begini, bukankah lebih banyak yang suka menghadiri pesta pernikahan daripada perkabungan?
“Kamu ngerti ‘kan maksudku?” Orang itu bertanya lagi. Aku lekas mengangguk. Orang itu memandangiku. “Sebenarnya bisa orang lain kalau kamu ….”
“Aku ngerti, aku bisa.” Cepat-cepat aku menjawab. Aku tak mau dibilang bodoh hanya karena tak paham apa yang dikatakan orang itu. Kulihat orang itu masih saja memandangiku. Kulihat ia tak beranjak. Kupikir untuk meyakinkan dia bahwa aku benar-benar mengerti, akulah yang harus beranjak dari sisi peti mati.
Aku tahu tatapan orang itu mengikutiku. Hatiku mencemooh. Tentu saja aku akan berjalan ke arah meja kerjaku. Kurasa semua orang selalu merasa bahwa mereka paling mengerti perasaan orang lain. Mereka bisa saja mengklaim bahwa mereka berempati. Tapi bisa saja itu hanya klaim dalam pikiran saja.
“Tampaknya dia benar-benar terpukul dengan kematian suaminya.” Seseorang berkata. Mungkin orang itu bermaksud berbisik pada orang di sebelahnya. Namun, aku mendengarnya.
Aku bertanya-tanya, apa iya aku terpukul dengan kematian suamiku? Bagimana sebenarnya terpukul itu? Apa benar aku sungguh kehilangan? Jangan-jangan ini adalah perasaan terbebas. Maksudku begini, sepuluh tahun bersamanya dengan dua tahun dia tidak melakukan apa-apa, dari pagi hingga pagi kembali. Tentu aku tak menampik bahwa hal itu memang membosankan, melelahkan, menguras emosi dan segala yang ada dalam diriku.
“Itulah sebabnya suami atau istri itu disebut garwo, sigaran nyowo. Separuh dari nyawa kita. Jadi, ketika salah satu berpulang, yang lain akan merasa kehilangan separuh nyawanya.” Kudengar orang itu kembali berbicara. Sekali lagi mungkin dia bermaksud berbisik. Tapi aku mendengarnya.
“Benar. Bingung, linglung, itu juga ekspresi kesedihan yang mendalam. Meski dia tidak mengeluarkan air mata, aku yakin dia kehilangan separuh jiwanya.” Seseorang yang lain memberi penegasan pada pernyataan orang sebelumnya.
Aku memikirkan itu. Apa benar aku kehilangan separuh nyawaku? Atau aku sebenarnya tengah dibantu dengan kehilangan separuh bebanku? Sekali lagi kukatakan, merawat suami yang tak bisa melakukan apa-apa adalah hal yang sulit. Tapi setelah kupikir-pikir apa iya itu sulit? Aku sudah melaluinya selama beberapa waktu.
Malam beranjak menuju pagi dengan cepat. Setidaknya itulah yang kurasakan. Sementara aku duduk di meja kerjaku dan memandangi selembar kertas yang masih saja belum berisi satu pun kalimat. Aku memikirkan apa yang kurasakan. Namun, aku tak bisa merasakan apa-apa. Kurasa itu sebabnya aku tak bisa memikirkan kalimat yang tepat untuk obituari suamiku. Katakan padaku, apa yang harus kutulis untuk suamiku? Obituari macam apa yang sebaiknya kubuat?
Aku menghela napas berkali-kali. Orang lalu lalang. Waktu terus berjalan. Lalu gema amin memantul-mantul. Paduan suara menyanyikan lagu sendu. Bukankah kembali pada Tuhan harusnya menjadi peristiwa menyenangkan? Sebuah kejadian menggembirakan?
Jadi, siapa yang sedih? Jangan-jangan mereka-mereka yang ditinggalkan, mereka yang tak pernah siap bahwa detik selanjutnya adalah sebuah akhir. Aku menggelengkan kepala dan tertawa samar. Sesamar asap dan dupa-dupa.
“Saudara-saudara sekalian, saat ini, kita bersama-sama menyatukan doa bagi saudara kita yang telah dipanggil Bapa. Namun, sebelum melanjutkan doa-doa kita, pihak keluarga akan menyampaikan sesuatu,” kata orang yang harusnya adalah romo yang memimpin misa requiem.
Seseorang berkata-kata. Aku tak menangkap seluruh kata-katanya. Tapi aku yakin dia mengucapkan terima kasih pada semua yang datang. Lalu orang itu memanggil namaku. Aku menoleh. Kuingat-ingat namanya. Kuremas kertas yang ada di tanganku dengan kegelisahan yang semakin meningkat. Seseorang yang lain menyentuh bahuku, mengangguk, dan tersenyum.
Aku pikir ini saatnya aku membacakan tulisan di kertasku. Tapi bukankah tidak ada satu pun huruf di kertas itu? Aku berdiri. Kulirik jenazah yang tersenyum. Aku berdeham. Angin berkesiur dan sejenak aku sadar semua terhenti, terdiam. Aku mengamati orang-orang yang balas mengamatiku. Ah, mereka menunggu kata-kataku.
Kubuka perlahan kertas yang kugenggam. Kemerisiknya terasa memekakkan telinga dan aku menahan keinginan untuk mengaduh. “Suami saya meninggal kemarin.” Aku mengedarkan pandangan. Semua menunggu. Jadi, aku mencoba mengerahkan seluruh konsentrasi pada kertas kosong itu. Tanganku gemetar dan rasanya ada suara bertalu-talu dari dalam dadaku.
“Saya tak mengenalnya. Sedikit pun. Hingga hari kematiannya. Saya hanya melayaninya, terus melayaninya, berpikir akan segera mendapatkan surga. Tapi kematiannya membuat saya sadar, saya hanya sekadar melaksanakan kewajiban dengan kegilaan dan harapan untuk diri saya sendiri. Saya bahkan lupa siapa saya yang sebenarnya. Semua dalam hidup saya terpusat padanya yang kemarin meninggal dunia. Dan harus saya katakan, itu bukan suatu kebaikan. Dia menjelma menjadi berhala kecil dalam dunia saya yang sempit. Oleh sebab itu, saya tidak bisa mengatakan apa-apa tentang dia. Saya juga tidak tahu apakah hari ini saya perlu berduka atau justru bahagia atas kematiannya.”
Aku terus menunduk, tak ingin memandangi para pelayat. Meski demikian, telingaku mendengar sesuatu mirip kepak kupu-kupu. Begitu rapuh dan samar. Kepak kupu-kupu itu bergabung dengan kepak yang lain. Bergemuruh dan rasanya seperti semakin mendekat. Mungkin kupu-kupu itu ingin menyerangku.
Tiba-tiba aku sadar, orang-orang yang ada di sini pasti kebingungan dan tak paham apa yang kukatakan. Aku jadi ingin tertawa. Terus tertawa. Tertawa terus menerus.
Bagus sekali.
Terima kasih, Mas