Maryam selalu menginginkan seorang anak. Tapi takdir menolak keinginan itu. Tak ada doa-doa, ramuan, jampi-jampi, atau pun perjalanan ziarah yang dapat mengubah takdirnya. Rahimnya kering dan terlalu gersang. Belasan tahun ia merelakan hidup dalam kesendirian dan kesedihan, sampai suatu subuh di hari Paskah, seorang laki-laki dengan wajah memelas datang mengetuk pintunya.
Perawakan laki-laki itu tinggi dan kurus. Tubuhnya dibalut dua lembar kain panjang berwarna cokelat yang dilekatkan menjadi satu di bagian pundak dan bertopi dengan pinggiran lebarnya. Ia datang dengan menggembol sebuah tas dari kain jarik Jepara seukuran dua kali bahunya. Dengan sopan, ia mengenalkan diri sebagai seorang frater, biarawan calon imam Katolik dari Ordo Karmelit Tak Berkasut. Ia mengatakan telah mendengar berita penderitaan Maryam dan datang secara diam-diam untuk memberi hadiah.
Maryam mulai hidup menderita di usia sebelas, sejak kedua orangtuanya mati ditabrak kereta api di perlintasan Pasar Kebalen Malang. Setahun kemudian, Bulik dari pihak ibunya mengawinkannya dengan laki-laki paruh baya — yang seharusnya secara kemampuan ekonomi —laki-laki itu bisa membawa kebaikan untuk kesejahteraan Maryam. Tapi perkawinan itu justru menjadi penjara tanpa pintu yang membuat Maryam terjebak dalam rasa takut seumur hidupnya. Laki-laki kurang ajar itu, secara harafiah harus disampaikan dalam cerita ini, selain gemar berbuat serong dengan laki-laki yang lebih muda, ia juga telah lebih dari belasan kali memukuli Maryam dengan gagang sapu dan tak terhitung kalinya mendaratkan bogem berkeringat dosa itu.
Dalam ketakberdayaan seperti itu, padangan Maryam makin meredup, akal budinya makin menumpul. Maryam seperti berdiri seorang diri di dasar jurang yang dalam, terusik oleh derau dan suara-suara yang tidak bisa didengar orang lain.
Seandainya jalur kereta Pasar Kebalen memiliki palang pintu perlintasan, mungkin jalan nasib Maryam tak melalui jurang-jurang gelap. Betapa menyedihkan bahwa prasarana publik bisa menjadi permulaan yang berefek domino terhadap perjalanan nasib seseorang, sementara hal semacam ini masih menjadi perhatian yang terbengkalai dari waktu ke waktu.
“Hadiah?” tanya Maryam penasaran, juga curiga.
“Iya. Sebuah hadiah. Hadiah kehidupan. Hadiah kelahiran,” kata biarawan itu.
Biarawan itu meletakkan tasnya di lantai, lalu mengeluarkan sebuah kotak yang terbuat dari kayu mahoni. Pada bagian atas kotak kayu itu terdapat tulisan: Vivit Dominus in Cuius Conspectu Sto yang dipahat dengan bentuk kaligrafi huruf Latin yang rumit dan berkelir emas. Sedangkan pada sisi sampingnya tertulis Ngadireso Tumpang dengan bentuk huruf yang lebih sederhana dengan cat putih biasa.
Biarawan itu membuka kotak tersebut dan menunjukkan isinya. Ada sebuah boneka seukuran panjang lengan orang dewasa, terbuat dari lilin dan kain. Boneka itu berambut hitam legam, bermata cokelat, dan berbalut pakaian dari potongan kain perca berwarna cokelat dan putih.
“Inilah anakmu,” kata biarawan sembari membopong boneka itu. “Anak laki-lakimu.”
Maryam menatap boneka itu, tak berkata apa-apa. Pikirannya morat-marit penuh pertentangan, tak percaya dengan apa yang ia dengar; marah pada nasibnya; tapi di sisi lain juga kasihan pada kesendiriannya.
“Apa maksudmu?” sangkal Maryam. “Ini bukan bayi. Ini boneka!”
“Ya, tapi ini bukan boneka biasa. Ini boneka yang dapat berubah menjadi bayi. Bayi yang hidup. Bayi yang diberkati.”
Biarawan itu menjelaskan bahwa boneka tersebut berasal dari tarekat rahasia yang hanya diketahui oleh beberapa novis dan rahib di biaranya. Ia mengatakan dengan suara yang lebih redup bahwa praktik tertutup itu bukan pengingkaran katekismus Gereja Katolik, melainkan bagian dari upaya eksorsime untuk membantu individu-individu yang menderita. Ia juga mewanti-wanti Maryam untuk menutup hal ini dari siapapun serapat-rapatnya.
“Aku tidak mengenalmu. Dari nasihat orang-orang yang menyayangiku, aku harus meragukan semua orang baru yang datang tiba-tiba di depan mataku. Apalagi kau muncul dengan menawariku merawat boneka. Lebih baik kau memberiku anak anjing. Mereka setia dan tidak pernah berbohong. Beberapa anjing juga lebih pintar dari manusia,” kata Maryam sembari tertawa kecut, seperti isyarat halus untuk mengusir sang biarawan pergi dari pandangan matanya.
Tapi sang biarawan mengabaikan kata-kata Maryam. “Perutmu tak kuat menahan jabang bayi itu bukan karena persoalan biologis. Menempel roh jahat dalam ragamu yang menelan calon bayi-bayimu.”
“Kau seorang novis, seharusnya kau di seminari dan belajar.” Maryam menyela.
“Aku meninggalkan biaraku yang damai. Aku datang kemari dengan sembunyi-sembunyi untuk menolongmu adalah tugas novisiatku.”
Sang biarawan lanjut menjelaskan bahwa boneka itu akan tumbuh dan berkembang seperti anak pada umumnya, dan menjauhkan Maryam dari roh jahat, asalkan Maryam mencintai dan merawatnya seperti anak sendiri. Ia juga meyakinkan boneka itu akan bereaksi terhadap suara dan sentuhan; akan belajar berbicara, berjalan, dan bermain. Ia mengatakan bahwa boneka yang akan menjadi bayi itu adalah hadiah dari Tuhan, tanda rahmat dan kasih-Nya.
Maryam terperangah mendengar kata-kata sang biarawan. Di pikirannya, ia bertanya-tanya apakah biarawan ini gila, berbohong, atau keduanya. Atau apakah ini semacam lelucon tak bermoral atau penawaran bodong dari penipu yang menyasar orang-orang malang sepertinya. Ia juga menerka-nerka apakah ini hanya mimpi buruk atau tanda-tanda permulaan babak baru dari kemalangan nasibnya.
Maryam mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi kanan boneka itu dengan jari telunjuknya. Dengan kuku-kukunya yang lama tidak digunting, Maryam merasakan kehangatan dan kelembutan yang asing. Ia meraih boneka itu dari timang-timang biarawan lalu dengan kikuk membopong di pangkuannya dan merasakan keringanan sekaligus kerapuhan. Ia menatap bola mata boneka itu dan melihatnya berkedip. Ia mendengar boneka itu mengeluarkan suara ringkih seperti desis bayi bernapas.
“Apakah kau mendengarnya?” tanya Maryam terperanjat.
“Ya, dia mulai memunculkan tanda-tanda kehidupan.”
Maryam merasakan sesuatu bergerak di hatinya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu seperti cinta tapi lebih lubuk dari cinta-cinta yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia berpikir cinta yang sempat ia rasakan dulu dari suaminya — yang sekarang minggat tak pernah mengunjunginya itu — kini akan diganti berkali-kali lebih sempurna oleh Tuhan melalui kehadiran bayi ajaib ini.
Maryam menoleh ke arah biarawan itu dan melihatnya tersenyum.
“Apakah kau mau menerima hadiah ini?”
Maryam mengangguk. “Ya,” katanya. “Ya, aku mau.”
Biarawan itu mengangguk balik dan menutup tasnya.
“Saya akan pergi sekarang,” tutup biarawan seperti tergesa-gesa dan berhati-hati. “Tapi saya akan datang lagi sesekali, untuk melihat bagaimana keadaan kalian.”
Sebelum mengucapkan selamat tinggal dan pergi, biarawan itu dengan kecepatan bicara seperti terburu-buru memberinya beberapa petunjuk merawat bayi itu. “Untuk membesarkannya, ajaklah ia bicara dan bermain. Tapi jangan lakukan itu di depan siapapun karena mereka akan meluap-luap menertawaimu.”
“Tapi jika mereka menertawaimu di depan mataku, aku akan mengingatkan mereka bahwa Kristus tidak pernah tertawa. Kebaikan tidak pernah boleh ditertawakan,” tutup biarawan itu sebelum akhirnya memalingkan punggungnya dan pergi.
Maryam menutup pintu di belakangnya dan berjalan ke ranjang tidurnya. Ia letakkan bayi itu di atas bantal lalu meringkuk di sampingnya. Ia mengelus rambutnya, mencium keningnya, dan membisikkan namanya: Daud.
Maryam tersenyum dan tanpa sadar air mata jatuh di pipinya. Ia selalu menginginkan seorang anak, dan kini memilikinya. Ia telah menerima hadiah: kelahiran putranya.
Ia menamainya Daud, seperti nama raja Bani Israel dalam kitab suci yang telah membunuh raksasa Jalut. Ia mengira itu adalah nama yang cocok untuk anak ajaibnya, yang akan mengatasi kemurungannya dan membawa kebahagiaan ke dalam hidupnya.
Maryam mencintai Daud dengan segenap hati dan jiwanya. Di pagi hari, ia memberinya makan, memandikannya, memakaikan pakaian, dan bermain dengan Daud. Di siang hari, ia mengajarkannya membaca dan menulis, berdoa dan bernyanyi, berhitung, dan menggambar. Di malam hari, ia menceritakan kisah-kisah raja Daud, kecuali pada sempalan kisah kemunduran moral sang raja yang merampas istri Uriah. Ia ulangi setiap hari, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, dan itu semua menjadi rutinitas yang membahagiakan bagi Maryam. Ia menyaksikan Daud tumbuh dan belajar.
Di mata Maryam, Daud adalah bocah tampan, dengan rambut hitam tebal dan mata cokelat. Ia cerdas dengan pikiran yang ingin tahu dan cepat tanggap. Ia adalah putra Maryam, dan Maryam adalah ibunya. Daud adalah anugerah Tuhan yang Maryam syukuri setiap hari.
Setelah belasan tahun berlalu, di hari menjelang malam Natal, biarawan itu datang kembali. Ia melihat Maryam duduk di kursi dengan tatapan mata yang absen. Ia menduga Maryam tengah dikuasai substansi alaminya yang mampu menghasilkan penampakan tentang kehidupan Daud — yang terlihat terduduk di lantai tak jauh dari kakinya. Biarawan itu menyapa mereka dengan hangat dan bertanya kabar. Maryam mengatakan mereka baik-baik saja dan senang atas kedatangannya. Maryam mengundangnya untuk mampir dan berbincang-bincang.
Biarawan menerima tawaran itu dan duduk bersama. Ia melihat mereka dengan cermat dan memperhatikan keganjilan, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.
Ia memperhatikan Maryam yang terlihat lebih tua dari yang seharusnya. Rambutnya telah seluruhnya beruban dan menipis, kulitnya keriput seperti kulit jeruk yang kering dan berkerut, punggungnya menekuk seperti ranting yang menunggu patah oleh tiupan angin, dan matanya sudah redup. Maryam terlihat seperti perempuan tua berusia delapan puluhan, bukan di usia empat puluhan. Ia memperhatikan Daud terlihat lebih muda dari seharusnya. Tempurung kepalanya tidak membesar, kulitnya tidak berubah warna, dan matanya tidak kehilangan kecerahannya.
Sang biarawan tahu apa yang terjadi, harga dari anugerah yang dikaruniakan kepada Maryam, bahwa Maryam menua lebih cepat dari yang seharusnya. Ia menyadari bahwa Maryam memberikan kekuatan hidupnya kepada Daud, dan Daud mengambilnya dari Maryam. Ia menyadari bahwa Maryam sedang menuju kematiannya untuk Daud, dan Daud hidup dari Maryam. Ia menyadari bahwa kehidupan diametral yang mereka alami seperti kutukan dari anugerah yang mereka terima.
Biarawan itu mengalami gelombang rasa bersalah dan berdosa. Dalam ukuran moralnya, ia tak bisa menyangkal untuk bertanggung jawab atas tragedi ini. Ia berpikir harus melakukan sesuatu untuk memberi tahu mereka kebenaran. Keseluruhan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Biarawan itu membersihkan tenggorokannya dan mulai berbicara. “Teman-teman terkasih,” katanya. “Ada sesuatu yang penting. Sesuatu yang mungkin tidak ingin kalian dengar, tetapi harus kalian tahu.”
Mereka menatapnya dengan rasa penasaran dan kekhawatiran.
Biarawan mengambil napas dalam-dalam dan menceritakan tentang tarekatnya untuk berlatih seni rahasia menciptakan kehidupan dari lilin dan kain. Ia menceritakan ritual yang mereka lakukan untuk menghidupkan boneka dengan percikan kehidupan dari doa-doa pertapaan dan praktik kontemplatif yang sangat ketat. Ia juga menjelaskan syarat yang berlaku bagi penerima boneka: bahwa mereka harus mencintai dan merawat boneka itu seperti anak sendiri; bahwa mereka harus merahasiakan asal-usul boneka itu; bahwa mereka harus menerima konsekuensi dari pilihannya.
Ia juga menjelaskan konsekuensinya: bahwa boneka-boneka itu akan tumbuh dan berkembang seperti anak-anak pada umumnya, tetapi hanya jika mereka menerima cinta dan perhatian dari orangtua mereka; bahwa boneka-boneka itu akan mengambil kekuatan hidup dari orangtua mereka sebagai gantinya; bahwa boneka-boneka itu tidak akan pernah menua melebihi masa kecil; bahwa orangtua mereka akan menua lebih cepat dari yang seharusnya; bahwa orangtua mereka akan mati sebelum waktunya; bahwa boneka-boneka itu akan ditinggalkan sendiri di dunia.
Ia menceritakan bahwa inilah harga dari hadiah kelahiran: bahwa hidup tidak bisa diciptakan tanpa pengorbanan; bahwa cinta tidak bisa diberikan tanpa kehilangan; bahwa kelahiran tidak bisa diberikan tanpa kematian.
Ia menceritakan bahwa inilah yang sedang terjadi pada mereka: bahwa Maryam sedang memberikan kekuatan hidup bagi Daud setiap waktu dan Daud sedang mengambil darinya setiap masa; bahwa Maryam menua lebih cepat dari yang semestinya dan Daud menua lebih lambat dari yang seharusnya; bahwa Maryam akan mati segera dan Daud akan hidup lama.
Biarawan itu memohon pengampunan atas awal perjumpaan belasan tahun lalu, karena di masa itu ia belum mengetahui perwujudan konsekuensi yang akan dipanggul atas pilihan ini.
Maryam dan Daud menyadari apa yang sedang terjadi, menyadari harga dari hadiah tersebut. Bahwa mereka telah hidup dalam kebohongan. Sebuah kebohongan yang indah, namun tetap sebuah kebohongan. Bahwa mereka harus menghadapi kenyataan. Kenyataan yang menyakitkan, namun tetap sebuah kenyataan. Bahwa mereka harus membuat sebuah pilihan. Pilihan yang sulit, namun tetap sebuah pilihan. Bahwa mereka harus mengucapkan selamat tinggal. Selamat tinggal yang menyedihkan, namun tetap sebuah selamat tinggal.
Bahwa ini adalah akhir dari kisah mereka.
Namun mereka juga menyadari sesuatu yang lain, yang lebih pokok. Sesuatu yang lebih dalam dan penting. Bahwa mereka telah saling mencintai sebagai ibu dan anak. Benar-benar saling mencintai. Bahwa mereka telah bahagia bersama. Benar-benar bahagia bersama. Bahwa mereka telah menjadi keluarga. Keluarga yang sebenar-benarnya. Bahwa mereka telah menerima sebuah hadiah. Sebuah hadiah yang berharga. Bahwa mereka telah melahirkan dan dilahirkan.
Bahwa ini adalah makna dari kisah mereka. Dan mereka bersyukur atas itu. Mereka saling memeluk dan menangis, saling berterima kasih sambil tersenyum. Mereka saling mencium dan mengucapkan selamat tinggal. Mereka melepaskan satu sama lain dan menutup mata.
Maryam mendengar lirih biarawan itu membisikkan doa di telinganya:
Selamat datang, Gerbang Surga.
Dengan kemuliaan yang kau peroleh sekarang,
bawa kami ke tempat yang aman,
di mana Putramu ditemukan,
melihat kebahagiaan yang sejati.
Amin.
Di ruang Cempaka kelas II RSJ Dr. Radjiman, Maryam meninggal dalam tidurnya. Sebuah boneka lelaki tersenyum di pelukannya.
***
Editor: Ghufroni An’ars