Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Bengkah

Katarina Retno Triwidayati

3 min read

Aku yakin babi betina itu tidak bisa berlari jauh. Sebelas tahun kuikat kakinya. Kukeluarkan otak dari tempurung kepalanya. Dan kuternakkan ulat-ulat di batang lehernya.

Dia memang telah lari dari rumah ini. Kejadiannya tepat saat kutemukan bengkah memanjang di tembok dapur. Aku menggeleng. Sialan sekali.

Jadi, kuputuskan membeli satu karung semen. Kuperbaiki bengkah itu sendiri. Tak masalah bila warna dan bentuknya aneh. Kukatakan ini seni.

Kuambil semen itu dan kucampur dengan air. Semua takaran harus pas. Perlahan kuoleskan semen itu ke tembok.

Dekat tembok yang kumaksud itu ada coretan dari tangan kura-kura kecil yang tak bisa membedakan /b/ dan /d/. Kura-kura kecil itu menulis: AkU SaYang dunda.

Lucu sekali. Dia meletakkan huruf kapital sembarangan. Lagipula apa itu dunda?

Kura-kura kecil memang memanggil babi betina itu bunda. Tapi, mestinya dia menulis b pada huruf pertama di kata itu.

“Anak-anak mewarisi kecerdasan ibunya. Lihat. Dia tidak bisa membedakan dua huruf itu. Juga huruf lain yang mirip bunyinya. Kau mewariskan kebodohan,” kataku pada babi betina itu pada suatu waktu.

Babi betina itu menatapku. Matanya nyalang tajam seperti mata elang. Tapi dia bukan elang. Dia malah lebih mirip siput bodoh, yang berjalan pelan dan meninggalkan lendir di sepanjang jalan.

“Mestinya kecerdasan ayah yang turun pada anak. Aku selalu juara satu. Lihat,” kataku seraya melempar map tebal. Map itu berisi semua laporan hasil belajar dan piagam penghargaan.

Map itu berwarna cokelat. Lumayan berat karena begitu banyaknya prestasi yang diabadikan dalam lembar-lembar kertas. Ujung map itu tajam dan menggores muka perempuan, oh maaf babi betina, itu. Ish, jijik betul aku melihat jerawat pecah dan darah meleleh akibat benturan ujung map itu.

Aku menyulut rokok lagi. Kuingat ada bengkah di tembok kamar saat aku melempar map ke muka babi betina yang sebenarnya lebih pantas disebut siput itu.

Aku berlari ke kamar. Ada meja kayu yang kokoh di sana. Bertahun-tahun meja itu menjadi kawan karib babi betina itu. Dia duduk sepanjang malam, ditemani kopi tanpa gula, dan mengetik.

Lalu tak lama ada bunyi berdenting. Susul-menyusul. Itu sebabnya kami masih bisa makan meski aku diam-diam saja di rumah.

Hei, babi betina itu modern memang. Dia tahu memanfaatkan ponselnya sekarang. Dulu, bahkan, akulah yang mengurus dan menguras isi kartu-kartunya.

Aku menggeleng, mengusir bayangan babi betina itu. Kulihat bengkah memanjang di dinding kamar begitu mengerikan. Seperti mulut Serigala dengan air liur menetes di ujungnya.

Kututup pintu perlahan. Dan baru kusadari ada bengkah lain di ruang keluarga. Persisnya di dekat televisi murah yang selalu kubilang mahal. Hei, aku membelinya dengan uangku yang tak seberapa. Jelas itu jadi terasa mahal.

Tanganku meraba bengkah di dekat televisi itu. Oh, bengkah ini muncul saat tanganku menampar kura-kura kecil.

Si nakal itu menumpahkan kopi panas di kakiku. Tidak sengaja, sebab tangannya memang masih rapuh. Tapi, aku marah.

Kopi panas membasahi, kupertegas, itu sebenarnya terasa membakar, kakiku. Bulu-bulu di kakiku bahkan keriting mendadak karenanya.

Saat tanganku melayang mengenai kepala kecil itu, kura-kura kecil melotot. Aku benci melihat mata bulat kelerengnya yang tiba-tiba berembun.

Si babi, eh, si siput berteriak. Mengamuk. Mengacungkan tangannya yang putih, kurus dan bergetar ke mukaku. “Jangan sentuh anakku!” teriakannya macam kaleng kerupuk jatuh ke lantai yang keras.

Aku benci jemarinya yang menuding itu, alih-alih pada teriakan dan suaranya yang mengerikan. Jemari itu mirip jemari gajah tua yang menudingku, hingga aku harus kehilangan pekerjaan. Ya, dia memang gajah. Sebab, badannya besar sebesar kekuasaannya di tempatku bekerja dulu.

Aku ingat kini. Tiba-tiba keempat sisi ruang keluarga itu bengkah bersamaan. Dan itu tepat terjadi ketika sebuah rencana berkelebat di kepalaku, saat babi betina yang serupa siput itu menuding mukaku.

Jadi, keesokannya, kura-kura kecil berlari ke luar rumah. Jelas dia mematuhi perintahku untuk pergi bermain ke luar.

Kutarik babi betina itu ke kamar mandi. Di sana, kupukul kepalanya. Kuhajar pula kemaluannya. Dan aku tertawa lega.

Saat itu, gemuruh terdengar. Tembok kamar mandi runtuh. Sebagian mengenai tubuh yang terkapar di lantai. Dia tampak mengerikan, terlebih matanya yang hitam, tajam penuh dendam.

Lalu babi itu berlari. Tapi, dia kan sebenarnya siput. Setidaknya aku selalu bilang padanya bahwa dia adalah siput. Dan aku sudah lama yakin dia adalah siput.

Kuberi tahu saja, siput bergerak 0,048 km/jam. Tapi, memang kuakui babi adalah pelari yang cepat.

Dan itulah yang terjadi. Seperti kilat cahaya dia pergi. Dibawanya banyak barang dan peralatan. Juga tentu saja kura-kura kecil itu.

Kutahu dia bergerak ke selatan. Di sana, dia akan membaur dalam bunyi ombak supaya tangisnya tenggelam.

Aku yakin bunyi ombak membuat suaranya redam. Dia tak akan berani mengajukan sesuatu yang parah, sibak ke kanan dan kiri, misalnya. Jadi, delapan purnama berlalu dan aku tenang-tenang saja.

Dia yang pergi. Aku tidak kehilangan apa-apa. Sebab rumah ini adalah alasan utamaku untuk tetap tinggal. Dan aku mesti mempertahankan harga diriku dengan tidak memohon-mohon padanya untuk kembali.

Tapi, pagi cerah telah robek. Sebuah surat mampir. Semua jelas ditulis di sana. Untuk monyet, itu aku, harus meloncat dari dahan satu ke dahan lain. Rumahku bengkah. Sebentar lagi, jika ada embusan angin pun, akan buyar seluruhnya. Sebab, bengkah di semua tembok terjadi bersamaan. Suaranya mirip derak pohon tua yang tumbang. Dan aku merasa sesak setelah kaki-kaki kuda menghantam dadaku. Telak betul.

Meski telah kuikat kakinya selama sebelas tahun, babi itu tetap melesat. Meski kukeluarkan otak dari tempurungnya, babi itu mengisinya dengan buku-buku. Melipat kertas-kertas penuh tulisan menjadi otak baru yang justru tajam. Aku merasa seperti diiris tipis-tipis, selapis demi selapis, pelan-pelan. Dan ternak ulat di batang lehernya, ternyata telah lama menjadi Kepompong. Kini jutaan kupu-kupu mengepak, membawanya terbang.

Babi itu tidak kembali. Dia tidak pernah mau kembali. Sialan sekali.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email