Kau tampak merenung. Khas wajah orang yang kehilangan. Matamu bengkak, wajahmu lebam. Rambut yang kali ini tidak tertutup kerudung mempertegas ekspresi duka.
Tiba-tiba kau berteriak. Orang-orang terkejut. Tak lama. Mereka lalu berebut memeluk. Ada yang mengulurkan air minum kemasan. Ada yang menarik selembar -mungkin dua lembar, mungkin lebih- tissue untuk mengusap air matamu.
Tidak ada ketenangan seperti yang biasa kau tunjukkan. Tak pula ada senyum nan teduh seolah kau adalah pohon bodhi yang menaungi Pangeran Sidharta dalam pertapaannya.
Semua kesan tentangmu telah berubah hari ini. Kau pukul peti itu. Di dalamnya terbaring suamimu. Dia tentu saja diam-diam di sana. Tidak akan merespon tangismu. Pun demikian dengan teriakanmu.
Kau tahu semua yang kau lakukan itu sia-sia. Teriakanmu memanggil namanya tak akan membuatnya bangun. Air matamu tak akan membuatnya sadar kembali meski telah membasuh wajahnya. Pukulanmu di peti tidak akan membuatnya terganggu. Mestinya kau mengerti. Segala sesuatu yang telah mati butuh keajaiban untuk hidup kembali. Butuh keajaiban.
Orang-orang kebingungan ketika kau mendadak diam. Bisik-bisik merebak. Semua mengira kau begitu kehilangan.
Ah, ini romantis sekali. Persis seperti kisah cinta yang berakhir nestapa tapi dipuja-puja. Manusia memang memuja segala yang paradoks semacam itu. Itu katamu.
Ya, itu katamu. Bukankah kau pernah berpendapat tentang kisah-kisah itu?
“Romeo meminum racun karena menyangka Juliet mati. Lalu Juliet benar-benar mati minum racun setelah Romeo mati. Akhir dari kisah itu adalah kematian yang pedih. Miskomunikasi paling menyakitkan dalam kisah percintaan.”
Kau juga pernah mengurai kisah cinta Rara Mendut dan Pranacitra dalam sebuah tulisan. Wiraguna menantang Pranacitra berkelahi. Jelas memperebutkan Rara Mendut. Sebagai perempuan, Rara Mendut seperti tidak punya pilihan karena menjadi ‘barang’ yang diperebutkan. Tapi di atas semua itu, pada akhirnya Pranacitra mati. Rara Mendut kemudian menusuk dirinya sendiri. Lalu siapa yang menang? Tidak ada. Ketiganya binasa.
Di waktu yang lain, kau membahas Laila dan Qays yang kemudian disebut Majnun itu. Kau juga memperbincangkan Cleopatra dan Mark Antony, Jayaprana dan Layon Sari, dan masih banyak yang lain lagi.
“Cinta menimbulkan luka. Itu sebabnya pada saat perasaan tumbuh, kita menyebutnya jatuh cinta. Lihat, sejak awal kita telah jatuh.” Demikian katamu di suatu rembang petang di antara diskusi tentang buku yang telah kau tulis.
Tapi cinta telah menjadi candu. Sesuatu yang telah menjadi kegemaran banyak orang. Itu sebabnya kau menuliskannya entah sebagai tema utama, atau sekadar muncul mempermanis tulisanmu yang sengaja kau buat lugu.
“Cinta menjadi sesuatu yang magis. Menggerakkan, menghidupkan. Paling tidak itu yang aku tahu tentang cinta dan dampaknya dalam sebuah cerita. Maka, membubuhkan kisah cinta dalam sebuah kerangka besar cerita tidak pernah menjadi masalah. Mungkin seperti corak dalam sebuah bentangan kain.” Demikian jawabanmu ketika seseorang bertanya mengapa selalu ada kisah cinta dalam tulisanmu.
“Aku menjadi penulis karena ingin menghadirkan kesempatan kedua. Kubangun duniaku sendiri dan kuhidupkan semua yang ingin kuhidupkan. Kumatikan semua yang ingin kumatikan. Aku berubah menjadi Tuhan. Ya, Tuhan bagi tokoh-tokohku. Dan sial dari semua sial, rasa sakit, kegetiran, kepahitan, dan hal buruk dalam hidupku telah menjadi bahan bakar seluruh tulisanku,” katamu di suatu sore saat diskusi bukumu yang lain.
Gemerincing gelang membuat penjelasanmu selanjutnya menjadi samar. Gerak anting mempertegas keanggunan dan kekokohan yang menjadi citra dirimu selama ini. Cara dudukmu elegan dan dominan. Bahkan tak ada gemetar dalam gores pena saat menorehkan tanda tangan di lembar pertama bukumu.
Tapi matamu berbeda. Ada air menggenang di sana. Menggenang abadi. Seolah ingin turun, tapi memilih bertahan di sana. Gelap serupa malam tak berkesudahan. Tenang serupa danau, nyaris tanpa gerakan apa pun, tanpa kehidupan.
Semua hal dalam dirimu seperti mencoba menutupi sesuatu. Sama seperti rias wajah yang selalu tampak tebal dan palsu. Kerudung yang menyisakan riak gelombang ponimu. Dan kau pernah mengatakan sangat suka membubuhkan warna merah darah di bibirmu.
Dan di hari kematian suamimu, wajahmu berbeda. Siapa pun bisa menemukan dengan mudah betis yang membiru. Luka terbuka di sepanjang lengan. Pelipis yang lebam. Rambut kusut dan jelas tampak telah dipotong dengan cara paling sembarangan.
Kau memukul-mukul peti itu kembali. Berteriak kembali. Menangis kembali. Dalam raungmu, mengalirlah kisah. Lelaki itu terpeleset dan mati setelah kepalanya membentur lantai dengan keras. Di sela isak tangismu, kau berkata bahwa itu tak sengaja.
“Harusnya aku diam saja. Aku tak sengaja melawan. Aku tak sengaja mendorong dan itu membuatnya jatuh. Harusnya dia ada di sini, tetap hidup. Seperti biasa, agar aku bisa menjalani hidup yang juga biasa.”
Dan semua luka di tubuhmu menemukan jawaban. Mereka tak muncul begitu saja. Mereka menjadi prasasti dan jelas lelaki yang terbujur itulah pemahatnya.
“Tapi, kita selalu menyukai paradoks. Sesuatu begitu bertentangan dan tiba-tiba rasa bingung itu berubah menjelma kenikmatan. Segala hal yang mengerikan menjadi sesuatu yang bisa kita bunuh berkali-kali dalam tulisan.” Semilir angin menelusupkan rasa dingin yang tak main-main, berbarengan dengan kata-katamu saat itu.
Masih pada saat yang sama, kau menatap penggemarmu satu persatu, lalu perlahan kau berbisik, amat pelan, mungkin kepada dirimu sendiri. “Aku menikmati semua ini. Aku candu pada sakit. Sakit yang mengerikan. Sebab, suaraku tak pernah didengar. Maka tulisanku berteriak memberontak.”
Dan ketika kini lelaki itu mati, kau akhirnya benar-benar berteriak.
Ah, kau sungguh kehilangan. Kehilangan candu yang membuatmu menulis membabi buta.
***
Editor: Ghufroni An’ars