Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Menyelami Alam Puisi Mochtar Pabottinggi

Kukuh Basuki

3 min read

Bagi khalayak awam yang tidak akrab dengan puisi, membaca buku antologi puisi tak jarang menimbulkan kealergian tersendiri. Selain di dalamnya berisi diksi-diksi yang tidak lazim dan hubungan antar kalimat yang sengaja dibuat nyentrik estetik, pembaca masih dipusingkan dengan usaha memahami filosofi dan khazanah intelektual penyair yang pastinya akan terselip di antara bait-bait puisinya.

Begitu pula dengan buku kumpulan puisi Dalam Rimba Bayang-Bayang. Buku yang memuat 29 puisi karya Mochtar Pabottinggi ini sudah memberikan kesan ruwet sejak halaman sampul. Dengan hanya memuat pola polkadot biru dan ungu yang saling bersilang membentuk sebuah pola baru yang juga sulit ditebak itu menggambarkan bentuk apa. Atau mungkin memang sengaja dibuat abstrak dan ruwet untuk menggambarkan rimba yang rapat dan lebat.

Alasan itulah yang membuat saya baru benar-benar membaca secara utuh buku terbitan Penerbit Buku Kompas tahun 2003 ini, 17 tahun setelah saya membelinya! Betapa lama saya mengumpulkan kekuatan mental dan ketetapan hati untuk mendaras habis buku setebal 128 halaman ini.

Satu poin penting yang memantik saya untuk membaca buku puisi ini adalah catatan penutup dari Joko Pinurbo. Penyair yang sering disapa Jokpin ini berhasil memberikan catatan penutup yang meruntuhkan ketakutan saya menikmati buku kumpulan puisi. Dengan cara bertutur yang santai dan humor, Jokpin memberikan catatan kritis yang sangat lembut dan sederhana tanpa kehilangan analisis tajamnya. Ulasannya terhadap bait-bait puisi Mochtar sangat ramah bagi pembaca awam seperti saya, sekaligus merangsang rasa penasaran saya untuk menikmati bait demi bait puisi-puisi Mochtar yang ditulis dalam kurun waktu 30 tahunan itu.

Kelihaian Jokpin dalam mencerna puisi Mochtar bisa saya rasakan ketika mengulas sajak Bertutur Ketika Salju. Dalam kutipan penuh satu puisi itu, Jokpin berhasil membimbing pembaca awam untuk turut merasakan estetika kata dan interpretasi makna yang terkandung dalam puisi yang ditulis Mochtar pada musim dingin di Madison tahun 2001. Berikut petikan bait ketiganya:

Salju, tuturmu, adalah pancaran sperma
Kala langit mendekap dan bersetubuh
Dengan bumi
Kala para bidadari menebarnya
Dengan air mata sukacita
Dan bertahan pada daun cemara
Bagai bulu-bulu halus di jenjang lehermu
Kala kau lihat pepohonan itu seketika
Gemetar. Meranggaskan orgasme”

Dengan jam terbangnya yang tinggi di dunia kepenyairan, Jokpin merangkum estetika metafora seperti: simetri tubuhmu; sedu birahi; salju… adalah pancaran sperma; meranggaskan orgasme; kristal-kristal sperma; dan indung bumi yang terselip dalam puisi ini, lalu menginterpretasikannya secara utuh dan pemaknaan estetik khas bahasa puisi untuk menunjukkan pada pembaca bahwa puisi itu jauh dari kesan vulgar.

Demikianlah, bagi saya, sajak itu telah berhasil menciptakan simetri kata,” simpul Jokpin di akhir komentarnya.

Selanjutnya komentar Jokpin yang cukup membuat saya semakin penasaran dengan sajak-sajak Mochtar adalah tentang latar belakang Mochtar sebagai akademisi sekaligus politisi. Dalam catatan kritisnya, Jokpin menyoroti sebuah usaha Mochtar untuk menghindarkan puisinya dari orasi dan politik yang tidak seluruhnya berhasil. Sebuah hal yang wajar dialami politisi cum penyair (atau penyair cum politisi?) seperti dulu bagaimana Muhamad Yamin dan Rustam Effendi menuliskan pandangan politik mereka dalam bait-bait puisi.

Setelah habis membaca catatan penutup Jokpin, saya belum merasa sepenuhnya percaya diri untuk langsung melahap bait-bait puisi Mochtar. Saya kembali ke halaman awal dan membaca kata pengantar dari Ignas Kleden yang berjudul Puisi Sebagai Medium: Sajak-Sajak Mochtar Prabottinggi. Lagi-lagi saya mendapatkan pencerahan sekaligus amunisi wawasan sebelum menikmati bait-bait puisi Mochtar. Kritikus sastra senior asal Flores, Nusa Tenggara Timur ini seperti menggambar peta untuk pembaca, ke mana saja nanti akan diajak Mochtar bereksplorasi dalam sajak-sajaknya.

Untuk mengantisipasi ragam substansi yang terkandung dalam sajak-sajak Mochtar, Ignas memberikan ulasan perbandingan secara tematik dengan karya penyair lainnya dari dalam negeri dan berbagai belahan dunia. Misal dalam puisi berjudul Doa Sanggama dalam Cahaya, Ignas membandingkannya dengan puisi Doa karya Chairil Anwar, Yang Berkelebat karya Ajib Rosidi, dan The Jewish Cemetery at Newport karya penyair Amerika Serikat Henry Wadsworth Longfellow. Dengan menggunakan teori wacana Habermas, Ignas menelisik benang merah dari keberhasilan puisi tematik tersebut dalam menyentuh kriterium kebenaran (truth/wahrheit) dan patokan otentisitas (truthfulness/Wahrhaftigkeit).

“Bahasa seorang penyair, untuk memakai teori wacana Habermas, tidaklah pertama-tama berfungsi menghubungkan tanda-tanda bahasa dengan apa yang ditandainya, tetapi menghubungkan tanda-tanda bahasa dengan diri pemakai tanda-tanda tersebut,” terang Ignas.

Selanjutnya Ignas memberikan perhatian pada satu puisi panjang bertemakan sejarah berjudul Kesaksian Untuk Indonesiaku. Ignas menangkap maksud yang sangat jelas dari puisi tersebut untuk merangkum sejarah kolonialisme di Indonesia dalam suatu epigram yang panjang. Puisi yang ditulis selama tiga tahun ini (1999-2002) terdiri atas 22 bagian dan menghabiskan 36 halaman dalam buku ini. Terlepas dari kreativitasnya menarasikan sejarah dengan puitik dan bisa menjadi alternatif baru bagi pelajar di sekolah yang bosan dengan buku sejarah yang membosankan, Ignas memberi catatan kritis berupa hilangnya spontanitas dan kewajaran sebagai sebuah puisi karena terlalu fokus pada substansi. Selanjutnya Ignas mengomentari penggunaan kutipan dari puisi Italia la Comedia­ karya Dante Alighieri dan puisi Jerman Faust karya Johann Wolfgang Goethe dengan bahasa aslinya. Hal itu  sangatlah menyulitkan pembaca awam karena tidak ada penjelasan mengapa menyisipkan 21 baris kutipan Dante dan 11 baris kutipan Goethe dalam puisi panjang tersebut.

Setelah merampungkan kata pengantar dari Ignas Kleden, saya baru mencoba secara perlahan menikmati bait-bait puisi Mochtar secara langsung. Mochtar banyak mengangkat tema-tema yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari seperti cinta, kenangan masa lalu, religi, dan perjalanan akademiknya yang membawanya mengunjungi beberapa kota dan negara bagian di Amerika Serikat. Mochtar seolah-olah ingin merekam semua ingatannya tentang peristiwa pribadi dan wawasan sejarahnya dalam sajak-sajak yang dapat merangkul pembaca untuk turut merrasakan apa yang dirasakan penulis serta memperkaya wawasan pembaca dengan cara estetik.

Untuk pembaca awal mungkin bisa dengan mudah menikmati sajak-sajak pendek Mochtar tentang cinta seperti Burung-Burung Telaga Cayuga, Tentang Kesetiaan, dan Buat Tiga Kekasih. Jika sudah mulai bisa menikmati ketiga sajak tersebut, pembaca bisa beralih ke sajak-sajak spiritual seperti Too Haa, Prosesi ke Golgota, dan Di Altar Purbamu, 1999. Saya pribadi lebih tertarik pada puisi Mochtar yang bertema perjalanan, seperti Cerita Tentang Chautauqua, Concierto di Monona, dan Amherst, Musim Gugur, 1980.

Untuk judul buku kumpulan puisi ini, Dalam Rimba Bayang-bayang, diambil dari salah satu judul puisi Mochtar yang berisi perenungannya melihat realita kekerasan dan kekejaman perang yang terjadi di seluruh dunia yang tercatat dalam sejarah. Puisi yang ditulis pada tahun 2001 ini seolah menjadi sebuah catatan awal di tengah euforia masyarakat dunia dalam memasuki milenium ketiga. Tentang kisah kelam masa lalu yang tak selayaknya terjadi lagi.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email