Subuh sudah lama berlalu. Kau juga sudah bangun sedari tadi meski tak melakukan sesuatu yang berarti. Istrimu sudah menyediakan kopi yang uapnya berlari-larian.
“Koran sudah datang?” tanyamu seraya duduk di salah satu kursi. “Sepertinya sudah. Aku belum ke depan. Sebentar kuambilkan,” jawab istrimu. Dari belakang kau bisa mengamati bahwa bentuk tubuh istrimu telah melebar. Di banyak bagian jelas sudah tampak mengendur. Rambutnya sudah keperakan tanda ubannya makin berhamburan.
Dia tengah sibuk menggoreng sesuatu. Kau menggerutu dalam hati. Mestinya perempuan itu tahu bahwa minyak akan membuat kolesterol dalam darah makin tinggi. Itu akan membuatmu rentan terhadap berbagai penyakit. Kau mulai curiga, jangan-jangan itu ikhtiar istrimu supaya kau cepat mati.
Tengah sibuk menggerutu dalam hati, tiba-tiba istrimu menoleh. Kau bisa melihat kulit pipi yang mulai turun. Kantung matanya besar. Bibirnya tidak bergincu. Bahkan, kau bisa melihat di dekat ketiak daster lusuh itu robek. Astaga. Kau kembali menggerutu dalam hati. Apakah perempuan itu tidak lagi menggunakan cermin sebagaimana mestinya?
Perempuan itu tersenyum. Ia berjalan perlahan ke teras. Tentu saja ia tak bisa berjalan cepat. Asam urat membuat langkah kakinya jadi berat. Ah, memang keparat.
Rasanya menunggu istrimu berjalan seperti menunggu kura-kura di lintasan. Kau ingat dulu ibumu berkisah tentang kura-kura yang menang lomba lari. Gila. Mana mungkin si lamban itu mengalahkan kelinci? Sungguh mengada-ada kisah itu. Kau kemudian membayang-bayangkan bagaimana jika kisah itu diceritakan ulang. Kau akan berkisah bahwa pemenangnya kelinci. Tujuannya jelas supaya orang-orang tahu bahwa yang kuat tetap kuat. Tak bisa dilawan.
“Ini korannya. Ada kisah si Kerbau lagi meski kali ini istrinya. Aku baca sekilas berita utamanya,” kata istrimu seraya mengulurkan koran. Ah, si kura-kura betina itu sudah sampai juga. Di tangannya ada koran. Tangannya yang gemuk mencengkeram koran, membuat lipatannya sedikit berantakan.
Sudah lama kau ingin tampil di koran. Tentu saja kau ingin menjadi berita utama di sana. Setidaknya menjadi profil inspiratif di majalah. Atau juga minimal kata-katamu dijadikan quote dan disebarkan melalui berbagai jenis pesan berantai.
Perlahan kau buka lipatan koran. Gerakan itu sama perlahannya dengan cara berjalan istrimu. Sayangnya kau tak pernah tahu itu.
Kerbau yang mati karena gosip itu meninggalkan istri dan sepuluh anaknya. Kau baca itu sebagai judul headline news. Gila saja dunia ini. Apa tidak ada hal lain yang penting selain kisah kerbau dungu itu? Melihat porsi beritanya yang sangat banyak, kau yakin tak hanya di koran, di portal berita online dan pesan berantai pun topik itu akan segera kau baca.
Ugh, kau sangat kesal karenanya. Pagi dengan kopi hilang nikmatnya melihat istri yang sibuk menumpuk kolesterol. Ditambah berita pagi ini. Sempurna memuakkannya.
Seraya menelusuri huruf demi huruf di koran, kau ingat bahwa Kerbau itu mulanya bekerja dan kelelahan. Lalu ia mengatakan pada Anjing bahwa ia ingin istirahat sehari saja. Anjing mengatakan hal lain tentang Kerbau pada Babi. Babi memparafrasekannya pada Sapi. Lalu Sapi mengutip tidak tepat dan menyampaikannya pada Kera. Kera inilah yang menyimpulkan dan menyampaikan pada Gajah, si bos yang besar badannya. Sungguh tak hanya besar badannya, besar pula kuasanya. Bos geram lalu memutuskan menyembelih Kerbau. Nah, bayangkan itu!
Berengsek memang!
Koran-koran membahas tentang Kerbau. Lalu ramai-ramai membahas tentang Anjing, Babi, Sapi, dan Kera. Tentu saja semua pembahasan itu dihubungkan dengan Kerbau. Pamor Kerbau malah naik karena kematiannya yang tragis. Benar-benar tragis semua berita ini!
Masalahnya semua media lalu memberitakan hal baru. Kali ini tentang Kerbau yang ternyata punya satu istri dan sepuluh anak. Lihat, dunia begitu tidak adil karena ada yang mati. Sementara si mati meninggalkan sebelas mulut yang masih butuh mengunyah untuk bertahan hidup. Ironi sekali.
Beberapa hari lalu, koran memberitakan bahwa istri yang kini resmi menjanda itu harus mengambil alih tanggung jawab kepala rumah tangga. Kau bisa membayangkan, tak mudah mengurus sepuluh anak yang sedang banyak makan. Apalagi kalau kesepuluh anak itu banyak permintaan.
Kau melirik istrimu yang mengunyah kerupuk sambil menggoreng sesuatu. Krauk … krauk … krauk ….
Ah, sialan sekali bunyi kunyahan itu. Tidak elegan. Tidak bermartabat. Bunyinya riuh dan kau yakin gurih kerupuk itu malah membuat istrimu ingin makan lagi. Lalu makan lagi. Dan makan lagi. Dari sanalah tubuh lebarnya berasal.
Kau kembali memaki. Tentu saja dalam hati. Mana mungkin kau berani mengatakan langsung meski tak ada cinta lagi dalam hati.
Kau tertegun membaca berita hari ini. Istri si Kerbau ternyata mati tadi pagi. Ini aneh sekali.
Setelah membaca seluruh berita, kau baru mengerti. Ternyata istri si Anjing datang berkunjung. Ia melihat perubahan penampilan istri Kerbau itu. Lalu istri Anjing menyampaikan pendapatnya pada istri Babi. Istri Babi menghubungkan satu kebetulan dengan kebetulan lain dan membicarakannya dengan istri Kera. Istri Kera ini kemudian menambahkan sedikit opini dan menyampaikan pada istri bos.
Kau tentu tahu, istri bos berpikir menyembelih istri kerbau. Bukan karena hal itu penting untuk dilakukan. Bagi para bos itu menyembelih Kerbau dan memakan dagingnya ternyata enak. Ada perasaan tak bisa dijelaskan dari proses makan memakan ini. Masalahnya, semua hal butuh alasan bukan? Kini alasan yang baik itu tersedia.
Demikianlah tinggal sepuluh anak Kerbau mendadak yatim piatu. Kau mungkin akan mendengar mereka disembelih satu per satu karena gosip yang sama tapi dengan narasi yang berbeda. Tinggal tunggu saja berita di koran pagi berikutnya.
“Jadi kenapa istri si Kerbau?”
Kau nyaris mengumpat karena terkejut. Istrimu sudah duduk di seberang meja. Tangan kanannya memegang kerupuk. Ada di hadapannya kopi yang sama kentalnya dengan kopimu.
Krauk … krauk … krauk …
“Jadi … krauk … gimana?” tanya istrimu. Tak lama bunyi krauk krauk terdengar lagi. Rasanya makin lama makin keras saja bunyi itu.
“Mati.” Sungguh kau kehilangan selera. Rasanya dulu pagi begini adalah waktu yang menyenangkan hati. Setelah membaca koran pagi dan menyesap kopi, istrimu jadi tampak seksi. Dia memakai pakaian kerjanya. Dengan sedikit buru-buru biasanya ia akan menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.
Kau benci keterburu-buruan itu. Kerap kau sergap ia dari belakang, kau ciumi leher jenjangnya. Kau menggaruk kepala yang tak gatal mengingat bagaimana kemudian kau menyatu dengan istrimu. Di sini. Di ruang makan ini. Di dekat kopi dan koran pagi.
Namun sekarang, semua berbeda meski ada mirip-miripnya. Ada kopi, koran pagi, dan istrimu yang tak lagi seksi. Sungguh sial sekali.
Kau mengalihkan perhatian pada koran pagi. Kau selalu geram. Meski kuat, Kerbau tetaplah pasif dan menerima begitu saja semua yang ada. Lalu kau merasa jengkel membaca berita dan pesan berantai tentang Kerbau. Semua hal di dunia rasanya berhubungan dengan Kerbau. Kalau ini terus terjadi, kapan kau akan jadi berita utama?
Kerbau telah berubah menjadi inti berita itu sendiri meski ia mati. Kemudian kau bertanya-tanya dalam hati. Apakah Kerbau itu tetap ada, sebab Anjing, Babi, Kera, dan bosnya juga masih ada?
Kau kemudian melempar koran pagi. Istrimu bertanya tapi tak kau tanggapi. Untuk apa?
Namun, esok hari, kemalangan keluarga Kerbau masih jadi berita utama. Demikian juga di hari-hari selanjutnya. Sementara kau masih terjebak di ruang makan bersama istrimu yang makin suka makan kerupuk.
Bunyi kunyahan kerupuk itu membuatmu makin tak berselera. Meski kau sebenarnya masih bisa menyergapnya, menurunkan celananya, dan menyatu atas nama cinta. Masalahnya, kau tahu, cinta itu bahkan sudah tidak ada.
Terlalu sering membaca kisah Kerbau dan keluarganya membuatmu memikirkan sesuatu. Kau mulai mempertimbangkan untuk menjadi Kerbau. Ya, sama persis seperti Kerbau. Sebab kau tahu pasti, memang Anjing, Babi, Kera, dan bos itu masih ada.