Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Kiamat Sarmi

Katarina Retno Triwidayati

2 min read

Sarmi tersenyum. Hanya seulas senyum di bibirnya yang serupa tanah rengkah di musim kemarau. Senyum yang justru bisa membuatmu merasa takut.

Ya, rasa takut itu mestinya ada di dalam hatimu. Senyum di bibir sekering itu tentunya menimbulkan nyeri pada siapa saja yang melihatnya.

Kamu mungkin berpikir bahwa itu senyum gila. Bisa jadi di dalam pikiranmu terlintas beragam tanya.

Bagaimana bisa dia tersenyum sementara dadanya terluka? Bagaimana caranya menyimpan sakit dari luka yang sedemikian terbuka?

Betul. Ada lubang di sana. Masih pula goresan-goresan dengan berbagai kedalaman. Sesuatu mengalir. Terlalu merah. Ah, tidak. Ini bisa jadi lebih merah dari yang biasa kamu lihat.

Sudah cukup lama kamu dengar teriakan dari rumah itu. Rumah Sarmi tentu saja.

Sesekali bunyi mengerikan. Kamu tak tahu pasti, tapi itu serupa tamparan. Kadang bunyi piring atau gelas pecah.

Sering pula kamu mendengar suara Sarmi melolong. Kamu tak pernah benar-benar tahu apakah itu benar melolong atau itu meraung?

Kamu pernah mengatakan bahwa satu-satunya yang bisa disebut pelaku kekerasan di rumah itu adalah suami Sarmi. Masalahnya, kamu tidak pernah punya kekuatan untuk menyampaikan tuduhan itu secara jelas.

Suami Sarmi begitu perlente. Rambutnya klimis karena minyak rambut berlebih. Caranya mengisap rokok tampak begitu berkelas, ah… terlalu dibuat-buat macam ketua penjahat di film-film.

Tak hanya itu, suami Sarmi begitu santun. Kata-katanya tertata rapi. Sepertinya dia sudah begitu menguasai semua kata yang dibakukan dalam KBBI.

Suami Sarmi pun rajin berderma. Namanya selalu menjadi nama pertama yang disebut ketika ucapan terima kasih pada donatur disampaikan.

Itu sebabnya, menurutmu sebagai tetangganya, kamu –dan yang lain– hanya bisa diam. Sambil mengisap kelobot, kamu –kalian– menunggu sampai suami Sarmi meninggalkan rumah. Berharap suatu saat bisa mencari kebenaran apakah memang suami Sarmi adalah pelaku penganiayaan.

Namun sering kali, kamu merasa lebih cepat putus asa karena terlalu lama menunggu. Entah bagaimana caranya, suami Sarmi selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk meninggalkan rumah.

Hingga suatu hari suara lolongan Sarmi terdengar lagi. Kamu tampak gelisah di muka rumah. Gerak tubuhmu menunjukkan itu.

Meski demikian, kamu mencoba menikmati malam lengkap dengan angin yang berembus pelan-pelan. Buktinya kamu duduk dan berkali-kali menarik napas dan mengembuskannya dengan gerak yang begitu kentara.

Akhirnya lelaki itu meninggalkan rumahnya. Ketika saat itu terjadi, kamu bergegas menuju rumah Sarmi. Beberapa tetanggamu melakukan hal yang sama.

Sarmi sudah serupa orang gila. Rambutnya berantakan. Tampaknya karena dipotong paksa. Pakaiannya koyak. Bisa kamu lihat sesuatu di dadanya bukan bagian dari motif daster lusuh yang dipakai Sarmi. Kamu pastinya juga tahu, ada rembesan dari cairan berwarna merah pekat. Terlalu pekat.

Segera kamu membopong perempuan yang lusuh seperti kain pel yang usang. Saat itulah Sarmi memandangmu. Dia lalu tersenyum. Dari ekspresinya yang demikian, mungkin kamu berpikir bahwa jiwa Sarmi mengambang, antara bertahan atau berpulang.

“Kau harus kuat,” bisikmu di telinganya. Mengapa kamu memintanya bertahan? Bukankah hidupnya serupa neraka? Jika dia tidak bertahan, bukankah itu sebuah kebaikan? Atau boleh disebut keuntungan? Atau lebih tepat lagi keberuntungan?

Sarmi tertawa. Lirih saja. Namun, tawa itu merobek langit. Tawa itu mengguncang rembulan. Lalu bintang-bintang jatuh. Disusul awan-awan perlahan turun, bergumpal-gumpal.

Dan terjadilah. Kiamat kecil Sarmi.

Sial! Sial sekali. Itu makianmu pagi hingga pagi kembali.

Sarmi pergi justru ketika dekat dalam pelukanmu. Dekat dengan jantungmu yang berdetak-detak menggesek dadanya yang dingin dan tak hendak bergerak.

Mengapa dia mati di pelukanmu? Mengapa harus kamu? Mengapa bukan suaminya? Mengapa bukan mereka?

Di masa perkabungan, kamu selalu bicara bahwa pada saat itu langit turun dan menekan kepalamu. Membuatmu jadi kecil, teramat kerdil. Lalu burung hantu tertawa. Masih katamu, semesta menertawakanmu dan semua yang menunggu Sarmi habis sia-sia.

Ya, semesta kemudian menertawakanmu yang ikut menunggu sampai terlewat. Sudah begitu terlambat.

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email