Istriku suka sekali bekerja. Darinya terpenuhilah semua kebutuhan rumah tangga. Semua tagihan dan iuran. Kesukaannya bekerja itu sungguh menguntungkan. Ketika berhenti bekerja, aku tetap tak payah soal makan. Tak pusing soal berbagai pengeluaran yang tak habis-habis itu.
Tapi, wajahnya penuh jerawat. Menjijikkan. Meski nyaris tak pernah makan, badannya gemuk. Ish, mengerikan. Itu berbeda denganku. Meski aku makan teratur, badanku begitu kurus. Angka timbangan terus turun. Sial sekali.
Ini sebenarnya sebuah fenomena yang unik. Aku mencoba mencari tahu. Tapi, kuputuskan memanfaatkan data turunnya berat badan ini.
Begini, aku sedang susah. Aku diberhentikan dari pekerjaan, sebuah keahlian satu-satunya yang aku bisa. Jadi, kalau aku mengurung diri, siang dan malam, di dalam rumah itu adalah kewajaran. Jika tubuhku kurus itu pun tidak aneh.
Manusia-manusia di sekitarku tidak perlu tahu pagiku disambut kopi. Berbagai kudapan tersaji menemani. Itu masih ditambah menu sehat sejumlah tiga kali dalam porsi yang sangat cukup. Sementara istriku suka sekali bekerja. Jadi ketika kehabisan nasi, aku tidak peduli. Karena suka bekerja, mestinya dia lekas memasak, membereskan rumah, dan semua kesibukan rutin. Masalahnya adalah dia sekarang makin suka bekerja. Makin sibuk saja. Dan kurasa rumah telah berubah menjadi sangat kotor.
Aku membenci jejak-jejak tikus dan kecoa. Dan itu harus dibersihkan. Tentu saja oleh dia yang suka bekerja. Jangan bilang aku tidak berempati dengannya. Aku ini tengah kecewa. Kecewa sedalam-dalamnya.
Begini, aku tidak lagi bekerja karena dia. Semua salah dia. Semua kesalahan-kesalahan, kesialan-kesialan ini sebabnya dia. Ya, dia memang pembawa sial. Aku pernah meneriakinya demikian. Masalahnya, dia tidak juga mengerti bahwa dia adalah pembawa sial. Lagipula kulihat dia suka sekali menjadi pusat perhatian. Dia ingin mendapatkan panggung. Dengan demikian, kuberikan dia panggung beserta tanggung jawab yang mesti ditanggung.
Masalahnya, aku mulai curiga ada yang tidak beres dengannya. Sering kutemui dia memegang ponsel. Lebih lama mendekap dari biasanya. Lebih banyak bercakap di sana dari semestinya.
Sejak itu aku mencari cara untuk memergoki. Maksudku begini, lho, ini sudah tidak sewajarnya. Pasti ada “sesuatu” yang tersimpan di ponselnya. Sesuatu yang membuat senyumnya merekah dalam kondisi semacam ini. Itu sebabnya aku memutuskan menjebaknya. Aku pura-pura tidur di sofa depan. Tertidur karena menonton televisi terlihat lumrah, bukan?
Dia yang bodoh itu masuk dalam perangkapku. Di saat dia suka tidur dalam kegelapan, dinyalakan lampu utama di kamarnya. Lalu kudengar suara itu. Suara bisik-bisik itu.
Haha! tertangkap basahlah dia!
Lekas aku bangkit dari tidur-tiduranku. Kudorong sedikit pintu kamar yang memang tidak pernah ditutup rapat olehnya.
Sialan! Kulihat istriku duduk melamun. Lalu, dia sesekali menulis sesuatu. Sesekali pula dia mengusap-usap matanya yang berkantung mengerikan itu.
Jadi, siapa yang berbisik-bisik tadi? Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Kuingat-ingat suara yang kudengar itu. Rasanya aku mendengar cicit tikus. Astaga, rumah yang susah payah kubangun ini telah disabotase tikus-tikus!
Hmm, tunggu. Coba dengarkan lagi. Aha! Ini dia.
Suara itu ternyata tikus-tikus yang berbisik. Kulihat tikus kecil meloncat-loncat sambil memegang excavator mini. Ada pula tikus kecil lain yang bersenandung, lalu memainkan boneka, dan berkisah-kisah sendiri.
Aku segera ke dapur. Di sana kusiapkan dua gelas susu hangat. Tapi kutambahkan bubuk-bubuk khusus untuk tikus.
Aku kembali mengintip ke dalam kamar istriku. Ah, dia tidak ada di sana. Mungkin sedang ke kamar mandi. Ponselnya di meja. Ada lampu yang tampak berkedip-kedip manja. Kubuka pintu. Kuedarkan pandangan dan kutemukan seekor tikus betina besar mendengkur. Astaga. Kurang ajar!
Setengah berlari kuambil balok kayu yang memang ada di dekat kamar mandi lama. Segera kuayunkan balok kayu itu. Tepat di kepala tikus besar itu. Tidak ada teriakan. Ya, tikus itu tidak sempat berteriak. Saat balok itu menghantam kepalanya, hanya ada suara berderak. Sedikit ngilu dan membuatku bergidik. Sedikit.
Dan kulihat darah yang muncrat. Polanya menarik. Semacam kembang api di malam tahun baru. Cantik sekali.
Terdengar riuh cicit di kamar belakang. Kulempar balok kayu itu di dekat tubuh tikus yang sudah hancur kepalanya.
Di belakang, kutemukan dua tikus kecil mencicit tapi sudah dengan suara yang makin lirih. Busa keluar dari mulut-mulut mungil. Tak lama mereka melotot ke arahku dan diam. Berani sekali melotot ke arahku! Kurang ajar!
Sekarang, bisik-bisik dari tikus-tikus itu telah berhenti. Aku mencoba mendengarkan ulang. Kusimak suara selirih apa pun. Tidak ada. Rumah telah tenang. Sangat tenang. Sungguh menyenangkan!
Aku tertawa. Tawa bahagia. Bahagia yang kuwartakan dengan tawa. Kupenuhi tiap sudut rumah milikku ini dengan tawa. Tawa yang juga hanya milikku sendiri. Aku sendiri.
Sejenak aku ingat pada istriku yang suka bekerja. Juga pada dua anakku yang istimewa. Di mana mereka ya? Tak ada siapa pun di selasar rumah. Hanya ada aku yang berdiri menatap cermin di lemari baju, dan kulihat tikus besar berbisik dan bergerak mengikuti setiap gerakanku. Tertawa dan menangis seorang diri.