Masyarakat Jawa menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti guyub rukun, ramah, dan tenggang rasa. Mereka juga terkenal suka bergotong-royong, bahu-membahu dalam kehidupan bermasyarakat. Jika ada tetangga yang terkena musibah, warga berbondong-bondong datang membantu. Begitu pun sebaliknya. Ketika ada tetangga yang akan mengadakan sebuah acara, misalnya nikahan atau sunatan, orang-orang siap memberi sumbangsih baik materiil maupun nonmateriil.
Di Jawa, ketika ada seseorang yang mengadakan pesta, para tetangga satu desa dengan sukarela akan membantu. Orang-orang sudah mengerti jobdesk masing-masing tanpa perlu membentuk struktur kepanitiaan. Ada yang di dapur bergumul dengan kuali-kuali dan bahan masakan. Ada yang menjaga prasmanan. Ada yang mengambili piring kotor, menerima tamu, dan memastikan para tamu tidak kekurangan makanan. Jobdesk tersebut dibagi hanya beberapa hari sebelum acara dimulai. Dengan bermodalkan seruan verbal tanpa tinta di atas kertas, mereka berjalan dalam sebuah sistem gotong-royong yang luhur. “Tolong, nanti kamu jadi ini. Dan kamu jadi itu.” Itulah masyarakat Jawa dengan semangat kolektifnya.
Baca juga:
Berbicara mengenai kondangan, di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, ada sebuah tradisi unik yang saya sebut kerendeng. Kerendeng adalah keranjang anyam dari bahan plastik dengan motif kotak-kotak yang berfungsi untuk membawa barang. Bentuknya sebesar tas gendong pada umumnya, dengan satu ruang untuk menyimpan barang, dan dua kuping untuk pegangan tangan di atasnya. Di bagian depan tempat pesta berlangsung, di samping meja penerimaan tamu, duduk orang-orang yang bertugas sebagai pengantar kerendeng.
Tugas mereka adalah mengantarkan kerendeng-kerendeng yang diberikan oleh para tamu menuju dapur. Kerendeng-kerendeng itu sudah dinamai. Di dalamnya terdapat sembako seperti beras, telur, dan mi. Masing-masing kerendeng biasanya berbobot kurang lebih 10 kg. Setelah kerendeng diantar ke dapur, sembako yang ada di dalamnya diambil, kemudian kerendeng akan diisi dengan makanan matang yang dimasak oleh petugas bagian dapur. Sembako di dalam kerendeng juga akan dicatat, apa saja dan siapa yang memberikannya. Setelah sang pemilik kerendeng hendak pulang, maka kerendeng berisi hidangan matang sudah menunggu di depan pintu keluar tempat pesta. Tradisi kerendeng dalam hal ini menjadi sarana keramahan dan kemurahan hati masyarakat Jawa dalam membantu sesamanya.
Kompleksitas Kerendeng
Namun, hal tersebut tidak selesai sampai di situ. Budaya kerendeng adalah sebuah fenomena kompleks dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Di mana setelahnya, ketika si penyumbang sembako mengadakan pesta, orang yang diberi harus memberikan sumbangan dengan besaran yang sama. Walau tidak tertulis, aturan ini adalah senandung bisu yang merebak dalam sosio-kultural masyarakat Jawa. Mereka tahu, dan mereka adalah pelaku. Selain biaya dekorasi, tenda, konsumsi, penghulu, dan hiburan, tuan rumah juga harus dihadapkan lagi dengan biaya pascapesta, yaitu utang budi. Mungkin jika yang memberi kerendeng hanya satu-dua orang tidak masalah. Namun, ketika yang memberikan kerendeng itu berjumlah ratusan, tentu akan menjadi musibah.
Tradisi ini mengingatkan saya dengan kebijakan Tanam Paksa atau Cultuurstelsel pada masa Hindia Belanda. Setelah beberapa dekade berlalu, kebijakan yang penuh dengan penyelewengan dan menyengsarakan kaum tani itu berubah wujud menjelma menjadi tradisi utang budi dengan balutan cantik kerendeng anyam. Tanam paksa adalah kebijakan di mana warga harus menyisihkan sebagian tanahnya kepada pemerintah kolonial untuk ditanami komoditas tertentu guna diekspor ke Eropa, sedangkan kerendeng adalah sebuah sistem tanam paksa dengan mengutangkan sembako guna untuk mendapatkan sembako serupa di kemudian hari, seperti investasi jangka panjang dengan harapan mendapatkan lebih dari si penerima kerendeng. Keduanya sama-sama manis kulitnya, namun dagingnya hitam lagi pahit.
Baca juga:
Di dalam ilmu antropologi, ada dua prespektif yang dapat kita gunakan ketika memandang sebuah kebudayaan. Pertama perspektif emik, di mana sesuatu dilihat dari sudut pandang pelaku kebudayaan tersebut. Dan yang kedua perspektif etik, yaitu melihat suatu kebudayaan dari sudut pandang orang luar. Mungkin prespektif etik akan memberi penilaian negatif atas budaya kerendeng yang melekat pada masyarakat Jawa. Namun, masyarakat Jawa sendiri mungkin mengaggap bahwa budaya itu baik, sebagai metode mereka dalam membantu sesama dan memupuk rasa persaudaraan di antara tetangga.
Tradisi adalah perbuatan repetitif. Sebuah kegiatan lintas generasi yang berulang, turun-temurun dari nenek moyang kepada cucu-cucunya. Sebuah tradisi dipertahankan karena aspek kebermanfaatannya. Ketika sebuah kebudayaan tidak memberi manfaat, sebaiknya tidak perlu dilestarikan menjadi tradisi. Budaya-budaya yang merugikan seharusnya dihapuskan dari tatanan sosial. Sebagai makhluk yang berakal, memilih dan memilah mana yang baik dan buruk seharusnya mudah. Masalahnya, baik dan buruk adalah sebuah nilai absurd yang mengambang berdasarkan lingkungan. Namun, bukankah manusia memiliki emosi? Rasa sakit dan penderitaan adalah sesuatu yang melekat pada diri setiap manusia. Ketika melakukan sesuatu untuk kegiatan positif dan ternyata menderita, itu bisa dijadikan parameternya.
Masyarakat Jawa perlu sadar bahwa tradisi yang mereka lakukan tersebut adalah kegiatan yang merugikan orang lain, dan bahkan diri mereka sendiri, karena melibatkan mereka pada siklus utang budi. Niat hati membantu, malah yang dibantu merasakan pilu. Tak jarang orang-orang mengadakan pesta dengan berutang ke sana-sini. Ketika utang pokok belum dibayar dan harus dipaksa berutang lagi kepada pembawa kerendeng, tentu hal itu sungguh menyakitkan. Mau menolak, tapi utang itu diberikan dengan balutan cantik sebuah bantuan. Memangnya mereka bisa apa sebagai masyarakat “tidak enakan?”
Editor: Prihandini N
Kerendeng mungkin berskala kecil dalam konteks tradisi utang budi ini. Orang dapat membayarnya kapan saja dengan mudah. Namun, yang harus diketahui, ada sumbangan “paksa” berupa sembako-sembako tanpa balutan kerendeng-kerendeng cantik. Baik berupa berkarung-karung beras, lusinan krat telur, lusinan kardus mi, ratusan kue basah, dan masih banyak lagi yang nominalnya terbilang besar. Mereka yang menyumbang, bermaksud untuk berinvestasi agar dikemudian hari tak terlalu berat akan biaya penyelenggaraan pesta milik mereka. Dengan cara menyebar bibit-bibit yang nantinya akan dipanen di kemudian hari.