Sudah menjadi hal biasa ketika ada teman, tetangga, atau kerabat yang akan menyelenggarakan hajatan seperti pernikahan, Anda “buwuh”. Anda harus menyiapkan beberapa lembar rupiah untuk membeli sesuatu yang Anda bawa saat menghadiri undangan tersebut.
Baca juga:
Tiap daerah memiliki tradisi buwuh yang berbeda-beda. Di desa tempat tinggal saya di Gresik, sebagai warga pendatang, saya masih harus beradaptasi dengan tradisi buwuh yang cukup unik.
Saat menghadiri acara pernikahan atau khitanan, saya akan disambut oleh beberapa petugas terima tamu yang berjaga di depan lokasi acara. Mereka tidak meminta saya untuk menulis nama di buku tamu. Namun, saya mesti menjawab pertanyaan soal nama, tempat tinggal, serta apa yang saya bawa dan berapa jumlahnya. Awalnya, saya cukup kaget ketika mendengar dua pertanyaan terakhir itu.
Pertanyaan tentang apa yang saya bawa dan berapa jumlahnya membuat saya agak risih. Menurut saya, barang apa yang saya bawa sebagai buwuhan adalah satu hal yang rahasia. Seharusnya, hanya saya dan empunya hajat yang tahu. Orang lain tidak perlu tahu. Apalagi, saat itu saya datang bersama tetangga lainnya. Pastilah mereka akan juga tahu barang apa yang saya bawa.
Setelah saya menyebutkan nama dan jumlah buwuhan dengan suara yang cukup pelan, petugas terima tamu itu dengan sigap mencatatnya di buku tulis. Buku itu diberi judul Buku Buwuhan; salah satu buku penting sepanjang masa bagi warga setempat.
Utang Piutang
Ketika Anda berencana untuk menikah atau mau menikahkan anak, atau mungkin menggelar tasyakuran khitanan, pasti Anda memikirkan biaya yang dikeluarkan untuk merayakannya. Bagi warga di sini, bila dia termasuk warga yang rajin buwuh, maka dia tidak perlu terlalu pusing untuk memikirkan biaya perayaan yang akan diselenggarakannya.
Setelah menulis berbagai hal yang dibutuhkan, dia bisa membuka buku buwuhan. Di sana, bisa dibaca beberapa piutang yang bisa ditagih. Ketika dia ndekei (memberi) beberapa kardus mie goreng kepada tetangga saat mereka punya hajatan, maka dia bisa menagihnya kepada tetangganya tersebut. Atau, ketika salah satu kerabatnya punya hajat dan dia ndekei sekotak rokok, dia pun bisa menagihnya juga.
Tentunya, ketika hendak menagih itu semua, dia harus memberitahukannya kepada kerabatnya jauh hari sebelum acara hajatan digelar. Untuk itu, dia perlu mendatangi rumah para kerabat satu per satu untuk memberi kabar bahwa dia akan menggelar hajatan sekaligus mengingatkan mereka bahwa dia pernah ndekei sejumlah barang. Hal ini agar para kerabat bisa mempersiapkan uang untuk membeli barang seperti yang telah dia berikan.
Semakin banyak kerabat atau tetangga yang di-dekeki (diberi), maka kebutuhan untuk menggelar hajatan semakin banyak yang sudah terpenuhi. Si empunya hajat hanya tinggal perlu menyediakan kebutuhan-kebutuhan lain yang belum ada.
Memberi Buwuh Jangan Sampai Tekor
Yang juga berbeda di kampung saya adalah tradisi buwuh itu berlaku untuk setiap orang yang diundang. Misalnya, ketika sepasang suami-istri mendapat undangan pernikahan dari tetangga, sang istri akan membawa buwuhan yang dimasukkan ke dalam tas. Tas buwuhan ini diperuntukkan kepada ibu si pengantin. Kemudian, suami pun harus membawa amplop tersendiri untuk diberikan kepada bapak si pengantin.
Pun, saat mendapat undangan pernikahan dari teman, tetapi berhalangan hadir, cukup menitipkan amplop buwuhan melalui teman lain yang bisa hadir di acara pernikahan itu. Jumlah rupiah yang ada di amplop menyesuaikan dengan catatan di buku buwuhan.
Saat memberi buwuh kepada orang yang mengundang, jangan sampai kita tekor alias melebihi dari yang diberikan kepada kita. Kecuali, kalau memang kita berniat untuk memberi lebih. Di sisi lain, jumlah buwuh yang kita berikan, jangan sampai lebih sedikit dari yang kita terima. Kalau tidak, kita akan menanggung malu jadinya. Sebab, semua buwuhan sudah ada catatannya.
Tulisan lain oleh Nuryum Saidah:
Awalnya, tradisi buwuh ini terasa terlalu vulgar bagi saya. Seperti tidak ada ketulusan dalam saling memberi hadiah. Namun, saya menangkap, dengan tradisi yang demikian, ada pesan yang hendak disampaikan bahwa tidak ada urusan keuangan yang disembunyikan di antara warga saat ada hajatan. Semua diserahterimakan secara transparan.
Tradisi ini menjauhkan para warga dari penyakit hati, yaitu ketidakikhlasan dan perasaan nggrundel. Anda memberi segini, maka saya pun akan memberikan yang sama dengan yang Anda berikan. Dalam buwuhan khas Gresik, kita dapatkan sesuai dengan apa yang kita tanam.
Editor: Emma Amelia