Bulan Muharram atau bulan pertama dalam penanggalan Hijriah memiliki tempat istimewa bagi masyarakat Bengkulu. Pada tanggal 1 hingga 10 Muharram, Kota Bengkulu akan dipadati oleh pengunjung dari berbagai daerah dalam rangka memeriahkan festival Tabot yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya. Festival Tabot ini bukanlah pesta rakyat biasa, sebab di dalamnya terdapat rangkaian prosesi untuk memperingati kesyahidan Sayyidina Husein ibn Ali ibn Abi Thalib di Karbala pada awal bulan Muharram, tepatnya pada tahun 61 Hijriah. Keseluruhan prosesi tersebut dipercaya sebagai bentuk ekspresi cinta terhadap cucu Rasulullah saw.
Upacara Tabot di Bengkulu tampaknya merupakan sebuah artikulasi lokal yang memiliki kesamaan dengan tradisi takziyah di kalangan Syi’ah di Iran. Baik Tabot maupun Ta’ziyah digelar sebagai bentuk peringatan atas kesyahidan Imam Husein. Dalam kemunculannya di Bengkulu, tidak diketahui secara tertulis kapan Tabot mulai masuk dan dikenal oleh masyarakat. Bahkan William Marsden, penulis yang banyak melakukan penelitian terhadap masyarakat Sumatera, tidak pernah menyinggung perihal Tabot sama sekali. Namun, banyak pihak meyakini bahwa tradisi Tabot di Bengkulu mulai muncul ketika pembangunan Benteng Marlborough dimulai. Pelopor dari Tabot di Bengkulu adalah para pekerja yang berasal dari Madras dan Bengali (bagian Selatan India), yang dibawa oleh Inggris (East Indian Company) untuk membangun benteng tersebut pada tahun 1336.
Walaupun sebagian pekerja kembali ke daerah asal mereka di India setelah selesainya pembangunan benteng, ada juga yang memutuskan untuk menetap di Bengkulu. Mereka dan keturunannya kemudian berbaur dengan masyarakat setempat. Hingga saat ini, keturunan mereka dikenal sebagai orang-orang Sipai.
Maulana Ichsad, Imam Sobari, Imam Suandari, dan Imam Syahbudin merupakan individu-individu yang konon dibawa oleh Inggris dari India ke Bengkulu dan memulai perayaan Tabot di sana. Namun, setelah beberapa waktu, mereka kembali ke India. Setelah itu, tidak ada keterangan resmi yang menjelaskan tentang pelaksanaan upacara Tabot di Bengkulu dalam periode waktu setelah kepulangan orang-orang tersebut. Nama Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo muncul pada tahun 1714 dan keturunannya menjadi pelaku utama dalam menyelenggarakan dan mempertahankan upacara Tabot di Bengkulu hingga saat ini. Meskipun demikian, informasi mengenai hubungan antara Imam Senggolo dengan orang-orang seperti Maulana Ichsad, Imam Sobari, Imam Suandari, dan Imam Syahbudin juga tidak jelas.
Baca juga:
Para pewaris Tabot ini menyatakan bahwa peran mereka dalam menjalankan dan melestarikan upacara Tabot adalah karena meneruskan wasiat dari leluhur mereka. Setiap keluarga pewaris Tabot, yang mayoritas tinggal di Kecamatan Teluk Segara, dipimpin oleh kepala keluarga dan anak laki-laki tertua. Sebagai pewaris Tabot, mereka umumnya memiliki satu perangkat “penja,” yakni benda yang menyerupai telapak tangan lengkap dengan jari-jarinya.
Menariknya, meskipun masyarakat di Bengkulu didominasi oleh pemeluk Islam Sunni, upacara keagamaan dengan nuansa ajaran Syi’ah ini tetap dapat bertahan dan diadakan hingga saat ini. Dalam tulisan ini kita mencoba keluar dan tidak akan membahas tentang boleh tidaknya pemeluk Islam-Sunni ikut merayakan prosesi ini, atau apakah kemudian dengan mengikuti prosesi Tabot kita akan otomatis menjadi Syi’ah. Yang tak kalah menarik dari perdebatan tersebut, dan mungkin menjadi pertanyaan bagi kita adalah bagaimana sejatinya pandangan masyarakat Bengkulu terhadap perayaan Tabot, sehingga perayaan tersebut dapat diterima dengan baik oleh mayoritas masyarakat Bengkulu.
Penerimaan Masyarakat Bengkulu
Tanpa bisa disangsikan, keberadaan tradisi upacara Tabot di Bengkulu memberikan petunjuk tentang pengaruh tradisi keagamaan Syi’ah di daerah ini. Meskipun tidak ada keterangan yang sangat terperinci, dapat diduga bahwa orang-orang Sipai awal yang datang dari Madras dan Bengali ke Bengkulu pada tahun 1336 adalah penganut Islam Syi’ah. Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa pada masa tersebut, penganut Muslim Syi’ah banyak tersebar di wilayah Asia Selatan, Aceh, dan Sumatera Utara. Dengan demikian, jika dugaan tersebut benar, orang-orang Sipai awal tentu akan memaknai upacara Tabot sebagai ritual Asyura yang menghubungkan mereka secara fisik dan emosional dengan Imam Husein dan pengorbanannya untuk mewujudkan keadilan. Dalam upacara ini, keterlibatan mereka memiliki arti penting dalam konteks pilihan moral dan kesadaran eksistensial, juga berkaitan erat dengan praktik keagamaan.
Namun, motivasi di balik kelanjutan pelaksanaan upacara Tabot oleh keturunan orang-orang Sipai saat ini mungkin tidak semata-mata berhubungan dengan aspek religius mengenai ekspresi atau praktik keagamaan Syi’ah. Kemungkinan besar, alasan di balik kelangsungan tradisi ini adalah untuk menjaga kebiasaan atau tradisi keluarga yang telah berlangsung secara turun-temurun. Namun hal ini tentu masih bersifat hipotesis yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.
Meskipun belum ada kesimpulan pasti mengenai apakah orang-orang Sipai memiliki keterkaitan dengan aliran Syi’ah, baik yang awal maupun yang belakangan, yang jelas tradisi Tabot telah diterima oleh masyarakat Bengkulu secara luas. Bukan sebagai ekspresi keagamaan, tetapi sebagai bagian dari warisan budaya etnik. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa masyarakat Bengkulu tidak memahami asal-usul keagamaan dari upacara Tabot dan makna simbolik yang terkait dengan kematian Imam Husein. Hanya saja, ada perbedaan mendasar dalam cara memahami dan menerima keberadaan upacara Tabot di antara mereka yang berpaham Syi’ah dengan masyarakat Bengkulu pada umumnya yang tidak berpaham Syi’ah.
Baca juga:
Dalam bukunya yang berjudul Titik Temu Sunny & Syi’i, Harapandi Dahri memberikan gambaran menarik mengenai cara masyarakat Bengkulu memahami dan menerima tradisi Tabot dalam lingkungan mereka. Masyarakat Bengkulu umumnya cenderung menganggap upacara Tabot sebagai bagian dari kegiatan seni dan budaya, festival yang memberikan manfaat ekonomi, serta menandai kekayaan khazanah sejarah Bengkulu. Sementara di sisi lain, banyak dari mereka menolak dengan tegas praktik pengultusan berlebihan terhadap Husain dalam upacara Tabot, mirip dengan apa yang terjadi dalam tradisi takziyah di Irak atau Iran. Secara khusus, seperti nama yang dikenal saat ini oleh masyarakat Bengkulu, yaitu “festival Tabot”, penyematan kata “festival” menjadi sebuah indikasi bahwa masyarakat Bengkulu cenderung melihat upacara Tabot sebagai festival rakyat dengan bentuknya yang menarik, daripada fokus pada isinya yang bermuatan agama.
Tentang transformasi Tabot dari upacara yang semata-mata bernuansa keagamaan menjadi kegiatan yang lebih berorientasi etno-kultural, R. Michael Feener memberikan penjelasan menarik. Menurut Feener, upacara Tabot pada awalnya menjadi praktik keagamaan yang tidak memiliki akar budaya kuat di masyarakat Bengkulu. Feener juga menyebut pandangan dari Phillipus Samuel van Ronkel, yang menyatakan bahwa pada tahun 1914, upacara Tabot merupakan tradisi yang hampir punah. Pendapat Feener ini menegaskan bahwa karena Tabot hampir punah saat itu. Oleh karena itu, hal tersebut justru memberikan peluang untuk mentransformasikan sebuah praktik keagamaan menjadi sebuah perayaan atau festival etno-kultural.
Editor: Prihandini N