Mencari Makna Hidup lewat Perayaan Galungan dan Kuningan

Mina Megawati

2 min read

“Orang yang mengerti dan menghayati hakikat dan tujuan hidupnya akan mampu bertahan di segala zaman.”

Penulis buku Kesusastraan Hindu Indonesia, IBG Agastia, memaknai petuah itu dalam konteks keajegan Bali. Menurutnya, keajegan Bali akan bisa dipertahankan jika orang-orang Bali mampu menyadari hakikat dan tujuan hidup sebagaimana diajarkan oleh agama Hindu. Namun, pertanyaannya, mampukah kita—orang-orang Bali—membumikan ajaran itu dalam tata hidup sehari-hari?

Jawaban untuk pertanyaan itu dapat kita lihat dari cara kita memaknai arti upacara—apakah lebih dari sekadar seremonial yang bersifat glamor? Jika diresapi artinya, runutan panjang menuju hari raya Galungan-Kuningan bisa dijadikan bahan introspeksi diri untuk kemudian mengetahui apa sebetulnya tujuan hidup kita.

Sebagai nak Bali, bahasan-bahasan seperti ini yang kemudian menggelitik kesadaran saya untuk menggalinya lebih dalam. Namun, sesuatu yang bersifat spiritual dan filosofis ini membutuhkan seseorang yang mampu mendedahnya ke dalam bahasa membumi yang dapat dicerna.

Baca juga:

Akhirnya, lewat seorang teman, saya berkesempatan untuk bertemu dengan Dokter Wayan Mustika, seorang dokter yang juga penulis buku dan pengasuh Komunitas Rumah Semesta. Darinya, saya mendapat pemahaman bahwa setiap hal di dunia itu saling terkoneksi.

Waktu itu, saya membawa bahasan tentang apa esensi Hari Raya Galungan dan Kuningan. Kemudian, kenapa runutan upacaranya begitu panjang hingga memakan waktu berbulan-bulan dari sebelum Galungan hingga Kuningan?

Membaca Makna Tiap Upacara

“Masing-masing memberi makna yang berbeda terhadap perjalanan Galungan sampai Kuningan. Tyang sendiri memiliki cara membaca maknanya dengan berbeda,” kata Dokter Wayan Mustika.

Rahina Galungan jatuh pada Rabu Kliwon atau Budha Kliwon Dungulan dengan wuku Dungulan. Dungulan berarti menang atau bertarung. Sementara itu, Kuningan jatuh pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, wuku Kuningan. Kuningan mengandung makna peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari marabahaya.

Makna dua perayaan itu sangat lekat dengan kata “bertarung” dan “kemenangan”. Namun, bertarung dengan siapa dan kemenangan atas apa? Ini yang kemudian menarik untuk digali.

Dalam buku Dunia Tanpa Suara, Dokter Mustika menyebut “gerbang dualitas”. Perjalanan hidup selalu memberi kita pilihan. Bahkan, jauh di awal kehidupan, kita sudah dihadapkan pada dua pilihan: menjadi laki-laki atau perempuan, lahir hidup atau mati, dan seterusnya. Begitulah hingga kemudian berbagai esensi dualitas itu kita pakai untuk memaknai kata “bertarung”. Hendak bertarung ke luar atau ke dalam diri? Hendak menekan atau mengenali diri?

Diawali dengan Sugihan Tenten, kapan saja kita mulai tersadar, bangkit, bangun (enten) dari mimpi-mimpi duniawi yang maya ini, segeralah basuh wajah agar segar dan mampu melihat kehidupan secara lebih jernih. Setelah terbangunnya kesadaran jiwa di dalam, kita perlu membersihkan ruang-ruang kehidupan ini dari segala halang-rintang yang menodai perjalanan dharma (kebenaran). Inilah Sugihan Jawa yang mengandung arti untuk segera membersihkan semua hal di luar diri kita, yakni palemahan dan parahyangan.

Bila semua yang di luar sudah tampak bersih dan suci, lanjutkan untuk berproses membersihkan dan menyucikan diri sendiri. Inilah saatnya melakukan Sugihan Bali. Kemudian, ketika semua telah bersih dan menjadi masa yang nyaman untuk belajar, kita akan memasuki memasuki masa pengendalian diri pada hari Panyekeban. Kita masuk ke ruang hening, merenung dalam tapa brata, dan meresapi perjalanan diri selama enam bulan belakangan.

Pada Rahina Penyajaan, kita diajak memaknai pikiran dan batin yang telah hening terkendali. Momen ini menjadi jeda yang menenangkan untuk mulai memahami tujuan sejati kehadiran jiwa di kehidupan bumi. Jaja uli jaja begina, sesajane uli dija, apa geginane dini? Dari mana sesungguhnya kita berasal dan untuk apa ada di kehidupan ini?

Berbekal pemahaman tentang kesejatian jiwa dalam kehidupan ini, selanjutnya tak ada langkah lain selain segera mengatasi kemalasan dan segala pikiran negatif yang menghambat perjalanan dharma kehidupan—saatnya Rahina Penampahan.

Dengan menjalankan semua dharma atau kewajiban dengan benar, dari sana kita akan bisa berjalan menuju terang atau galang—ya, Galungan. Kemenangan dharma bisa diartikan sebagai kemenangan pikiran kita melawan sifat-sifat angkara murka dalam diri.

Di puncak perjalanan, pada hari yang sempurna, yakni sepuluh hari setelah Galungan, temuilah pengetahuan (kauningan) luhur ketika sifat-sifat para leluhur datang ke batin kita. Itulah yang menjadi cemeti (tér) yang memotivasi kita untuk kembali melangkah dalam dharma berbekal (andong) pengetahuan. Kebijaksanaan leluhur ini sekaligus menjadi perisai (tamiang) bagi kita saat berhadapan dengan energi-energi gelap pada Rahina Kuningan.

Baca juga:

Menganyam makna upakara-upakara tersebut membuat saya berpikir bahwa sebetulnya manusia itu sudah dibekali solusi lewat apa yang dilaluinya. Masalahnya, apakah sekarang kita sempat berhenti sebentar dari hal-hal yang bersifat rutin untuk mulai memedulikan makna?

Menurut Putu Wirata, kita perlu melakukan otorefleksi menggunakan daya intelektual dari filsafat (tattawa) dan etika (susila) ajaran Hindu untuk bersikap korektif terhadap pelaksanaan tradisi dan ritual yang belakangan justru condong pada euphoria perayaan. Sebagai manusia Bali yang peduli keajegan Bali, kita harus berpikir dan bertindak untuk menyelamatkannya dari lapisan terbawah dan terdekat, yaitu diri sendiri.

 

Editor: Emma Amelia

Mina Megawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email