“Apa yang dipikirkan saat mendengar sejarah 1965?” merupakan pertanyaan yang menyambut kedatanganku dalam ruang pemutaran film yang terletak di sudut bangunan perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung. Setiap peserta merespons jawaban atas pertanyaan tadi pada secarik kertas berwarna biru yang kemudian ditempel di salah satu sisi dinding ruangan. Menariknya, jawaban tersebut tidak hanya berupa tulisan, tapi juga boleh berbentuk gambar, bahkan yang bersifat abstrak sekalipun. Apa pun yang muncul dalam ingatan kolektif di benak kepala, itulah yang dituangkan.
Saat sebagian besar peserta telah hadir dalam ruangan, pemutaran film Lagu Untuk Anakku pun langsung dimulai. Film yang direkam dengan gaya dokumenter ini mempertunjukkan kehidupan ibu-ibu penyintas dan eks-tapol pasca tragedi 1965. Melalui sejarah, ibu-ibu ini kemudian dipersatukan dalam sebuah kelompok paduan suara bernama Dialita. Kelompok kecil ini menjadi ruang aman dan harapan baru bagi ibu-ibu penyintas untuk berbagi cerita, menampung tiap tetes air mata, dan proses rekonsiliasi dengan berbagai trauma yang timbul akibat tragedi kelam masa itu.
Aku sendiri pertama kali mengenal Dialita melalui seorang pendeta yang sangat kukagumi. Ia bernama Pdt. Martinus Ursia. Olehnya, aku dikenalkan pada salah satu lagu yang berjudul Ibu dalam album Salam Harapan.
Perasaan haru dan hati yang bergetar adalah sensasi yang aku rasakan saat pertama kali mendengar lagu ini. Afeksi yang mendalam akan lagu ini membuatku penasaran dan bertanya-tanya. Ada kenyataan apa yang sebenarnya terjadi di balik nyanyian merdu Dialita, yang biasanya kuputar melalui aplikasi Spotify ini?
Ternyata, bukan sekadar lagu biasa, ada kisah mendalam yang penuh dengan tragedi kelam, yang mengukir sejarah kemanusiaan di Indonesia. Lirik-lirik lagu itu adalah lirik yang tercipta dari balik penjara wanita eks-tapol (tahanan politik). Ia ditulis secara diam-diam oleh para wanita tangguh dengan penuh perjuangan. Meskipun tubuh dipenjara, kreativitas dan pemikiran tidak terhalangi untuk tetap berkarya melalui seni. Di saat berbagai jalur politis tak mampu menaruh keberpihakannya pada kisah kelam ini, di sanalah bentuk-bentuk seni dan kebudayaan hadir menjembatani.
Mungkin, selama ini kita hanya memandang lagu sebatas sarana hiburan. Namun, pernahkah kita berpikir sebelumnya bahwa sebuah lagu dapat memberi dampak yang begitu besar untuk menyampaikan kebenaran sejarah? Berapa banyak anak muda yang pada akhirnya tersadarkan bahwa ada fakta sejarah yang ditutupi dan tak pernah dibuka secara transparan selama ia belajar di bangku sekolah setelah mendengar sebuah lagu dari album Dialita?
Baca juga:
Tak lama setelah film berakhir, serentak seluruh orang dalam ruangan menengok ke arah belakang, memecah suasana yang hening itu. Mereka bergegas berdiri, menghampiri, dan memberi salam dengan wajah girang seperti sedang melihat bintang film Korea idamannya. Ternyata, gerombolan orang yang memasuki ruangan itu adalah ibu-ibu penyintas 1965 dari kelompok paduan suara Dialita. Mereka kemudian menyanyikan sebuah lagu di depan panggung, tapi aku tak mampu mengingat judul lagu itu karena terlalu larut dalam suasana hati yang mendalam saat mendengarkannya.
Setelah selesai dinyanyikan, para peserta diberi kesempatan untuk beristirahat selama beberapa menit, lalu dilanjutkan dengan permainan sambung kata dalam formasi berdiri membentuk sebuah lingkaran. Suasana haru dan sedih yang sedari awal mengisi ruangan, tiba-tiba berubah menjadi tawa dan canda melalui kejenakaan para peserta yang menyebutkan kata-kata yang terasa tak nyambung. Ketidaknyambungan itulah yang membuat suasana cair penuh kebahagiaan.
Kemudian, kami semua diminta berhitung untuk dikelompokkan dalam sejumlah kelompok kecil yang terdiri atas ibu-ibu penyintas. Di sinilah perjalanan “piknik” menuju masa lalu dimulai. Perasaan kami seakan ditarik-ulur, dari yang awalnya sedih, berubah jadi bahagia, lalu ditarik lagi menuju gerbang kesedihan untuk mendengar cerita-cerita kelam masa itu yang disampaikan langsung dari hati ke hati oleh para ibu Dialita.
Dalam kelompok kecil yang terdapat dua orang penyintas bernama Ibu Didin dan Ibu Hersis, aku merasa beruntung dapat berkenalan dengan teman baru yang merupakan seorang jurnalis, Pak Hawe. Melalui kepiawaian jurnalistiknya, ia memantik banyak sekali pertanyaan yang selama ini tertimbun dalam kepalaku. Aku pun bisa fokus menyimak.
Ibu Didin bercerita tentang dirinya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD ketika orangtuanya yang berprofesi sebagai guru dipenjarakan sepihak tanpa proses peradilan. Betapa menyedihkan, di umur yang masih belia itu, ia harus berjalan kaki dari penjara ke penjara lainnya yang jaraknya saling berjauhan. Hal itu ia lakukan karena posisi orangtuanya yang tak menentu dan seringkali dimutasi ke berbagai lokasi penjara yang berbeda-beda. Dengan berjalan kaki di tengah panasnya Jakarta dan membawa sebuah rantang berisi makanan, ia menaruh harapan untuk dapat menjenguk orangtuanya di penjara. Mungkin ini cerita yang sederhana bagi sebagian orang, tapi hatiku terasa perih ketika melihat Ibu Didin meneteskan air matanya sepanjang menceritakan hal ini kepada kami.
Ibu Didin menyampaikan, orang-orang mungkin melihat dirinya sudah bisa tersenyum saat ini, seolah-olah tampak sudah tidak ada beban. Namun, Ibu Didin masih menjalani hipnoterapi untuk memulihkan trauma. Sang terapis menilai masih ada luka yang jauh di dalam yang belum benar-benar pulih. Mataku semakin berkaca-kaca ketika Ibu Didin bercerita bahwa dirinya divonis mengidap kanker paru-paru sejak sekitar satu tahun yang lalu.
Ibu Hersis umurnya masih tergolong muda dibanding ibu-ibu penyintas lainnya. Mulanya, sang ayah adalah ketua SARBUPRI Sumatra Utara dan Aceh. Namun, ia dimutasi ke SOBSI Pusat pada tahun 1958 dan mengalami penangkapan saat umur Ibu Hersis masih balita di Jakarta. Ia tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah. Berbagai cemoohan menghancurkan mentalitas dirinya ketika ia berada di sekolah. Ia menyampaikan bahwa pada masa itu, hanya ada dua penyebab seseorang masuk penjara, yaitu maling atau anggota PKI. Masyarakat seolah-olah memandang PKI sebagai dosa berat yang sangat memalukan hingga membuatnya harus menutup-nutupi keluarganya. Bahkan, keluarganya sendiri pun tidak menceritakan soal itu kepada dirinya—seperti sebuah hal yang tabu. Ia baru mengetahuinya ketika beranjak dewasa.
Selesai sesi ini, setiap perwakilan kelompok diminta memberi ulasan terhadap perjalanan “piknik”-nya bersama cerita ibu-ibu penyintas tadi. Lagi-lagi, salah seorang yang aku lupa namanya menangis tersedu-sedu ketika berbicara di depan, mulutnya bergetar seakan ikut merasakan betapa kejamnya masa kelam itu. Mungkin, ia membayangkan jika ibu-ibu penyintas yang bercerita itu adalah orangtuanya sendiri.
Kegiatan dilanjutkan dengan bermain lagi. Permainan kali ini adalah sambung kalimat. Setiap orang diminta untuk menyampaikan satu kalimat. Kali ini, kalimat yang disampaikan oleh para peserta lebih nyambung dengan kisah-kisah yang diceritakan tadi. Meskipun begitu, tetap saja ada kelucuan yang mewarnai berjalannya permainan ini.
Baca juga:
Ibu-ibu penyintas mempersembahkan beberapa lagu lagi di penghujung acara ini. Sembari mendengarkan lagu-lagu yang mereka nyanyikan dengan merdu, aku jadi teringat momen pribadiku ketika mengobrol dengan Ibu Mudji yang sangat mengena denganku sebagai seorang anak muda yang sarat akan dunia percintaan.
Ibu Mudji, sosok yang riang dan jenaka ini duduk dekat denganku dan mengajak berbincang terus. Dengan jiwa mudanya yang sepertinya hadir kembali pada momen itu, ia bercerita bahwa lagu Mawar Merah yang ia ciptakan saat berada dalam tahanan adalah kisah cinta tentang dirinya dengan seorang pria yang berada di penjara berbeda. Pria itu memetik bunga mawar di sekitar penjara untuk dirinya. Namun, kenyataan bertepuk sebelah tangan. Setelah sekian lama menunggu, ternyata pria itu sudah memiliki istri dan meminta maaf kepadanya.
Memang menyedihkan, tapi aku begitu kagum pada Ibu Mudji yang tak menjadikan ini sebagai penghambat bagi dirinya untuk tetap semangat menjalani hidup. Melalui karyanya, paduan suara Dialita, dan masih banyak ibu-ibu penyintas lainnya yang tak tersebut dalam tulisan ini, telah menumbuhkan harapan baru bagi banyak orang.
Editor: Emma Amelia