Dosen Politeknik STIA LAN Makassar. Podcaster Sains.

Ketika Peneliti Dilaporkan ke Polisi

Anhar Dana Putra

2 min read

Karya ilmiah kok dilaporkan ke polisi? Sulit dipercaya, tapi ini sungguh terjadi di Indonesia. 
Iriani, seorang peneliti di Sulawesi Selatan dilaporkan ke polisi oleh Komunitas Adat Suku Rongkong Luwu Utara awal Februari lalu, karena tulisannya berjudul Mangngaru Sebagai Seni Tradisional di Luwu  yang terbit di Jurnal Wasuji dianggap menghina suku Rongkong. Dalam tulisan yang terbit di jurnal ilmiah yang dikelola Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan tersebut, Iriani membahas soal stratifikasi sosial dan menyebut suku Rongkong sebagai “kaunan” yang berarti pesuruh.
Kasus Iriani bukan yang pertama. Sebelumnya, disertasi doktor lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga seorang dosen di IAIN Surakarta, Abdul Aziz, menjadi kontroversi dan dikecam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Disertasi yang berjudul Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital itu dianggap menghalalkan zina  dan bertentangan dengan syariat Islam.
Kecaman dan pelaporan atas karya ilmiah tentu menjadi kegelisahan dan kekhawatiran bagi semua peneliti dan akademisi. Apakah ada kebebasan dalam meneliti? Apakah ada jaminan hukum bagi kerja ilmiah?
Pada prinsipnya, karya atau temuan ilmiah lahir dari pengujian dan konsensus akademik yang ketat, serta berlandaskan pada kaidah ilmiah yang napas utamanya adalah penyingkapan kebenaran. Atas dasar itu, temuan ilmiah tidak akan pernah bisa punya intensi lain selain menyingkap misteri dan ilmu pengetahuan yang tersembunyi di balik alam semesta yang kita hidupi.
Merasa tersinggung pada sebuah karya ilmiah tentu saja adalah reaksi yang berlebihan dan tak berdasar.
Lantas bagaimana jika temuan ilmiah yang dihasilkan para ilmuwan malah salah? Bagaimana sebaiknya memperlakukan ilmuwan yang keliru? 
Proses pengkajian ilmiah tentu saja bisa salah, tapi melaporkan ilmuwan yang keliru ke polisi sama saja menunjukkan ketidakpahaman atas proses kerja riset dan publikasi ilmiah. Melaporkan ilmuwan ke polisi juga sama saja menganggap mereka kriminal, sejajar dengan para pembunuh, perampok, pemerkosa, dan koruptor yang memang secara nyata melukai masyarakat. Tindakan tersebut tidaklah adil mengingat ilmuwan yang keliru bukan hanya tidak melukai masyarakat, tapi juga malah menguntungkan masyarakat. Kesalahan para ilmuwan justru adalah berkah bagi peradaban. Sebab melalui kesalahan-kesalahan merekalah, masyarakat kemudian memiliki petunjuk arah menuju kebenaran.
Tanpa ada kesalahan ilmuwan, manusia hari ini tentu tidak akan bisa menikmati kemewahan dan kemudahan yang dimungkinkan oleh temuan-temuan ilmiah yang brilian. Tidak akan ada teori evolusi yang kemudian membuka pemahaman terhadap evolusi virus yang akhirnya memungkinkan manusia menciptakan teknologi vaksinasi yang menyelamatkan puluhan juta nyawa umat manusia, jika Charles Darwin hanya menghabiskan waktu mencari jalan agar Jean Baptiste Lamarck dipolisikan karena teorinya membuat ia tersinggung.
Peradaban masyarakat saat ini tidak akan mungkin bisa punya teori relativitas yang memungkinkan manusia menciptakan teknologi GPS yang membantu kita saat tersesat mencari alamat, kalau saja Albert Einstein waktu itu sibuk tersinggung oleh kritik-kritik atau kecaman-kecaman yang tidak percaya atau meragukan teori tersebut karena menyalahi teori gravitasi Newton yang telah dipercaya selama ratusan tahun.
Lagipula, konsensus sains juga tetap menyediakan mekanisme koreksi atau falsifikasi ilmiah yang setiap saat bisa diterapkan ketika mendapati temuan-temuan ilmiah yang keliru. Salah satunya misalnya dengan menuliskan lalu menerbitkan argumen bantahannya secara ilmiah pula. Lewat mekanisme koreksi dan tradisi falsifikasi inilah, sains kemudian membangun fondasinya yang kokoh dan bisa dipercaya. Sains menjadi kuat karena sains bisa dikoreksi, bisa difalsifikasi.
Tidak pernah terbayangkan bagaimana mandegnya kemajuan peradaban masyarakat nanti, jika para ilmuwan harus sowan dulu ke komunitas-komunitas, pemuka agama atau ormas-ormas setiap kali menghasilkan temuan ilmiah baru, karena khawatir temuan ilmiah baru ini akan dianggap menghina atau menyinggung.
Jika benar berlangsung seperti itu, otoritas sains akan terancam. Otoritas sains tidak boleh bergantung atau dintervensi oleh otoritas lain, sebab iklim sains yang ideal adalah iklim sains yang independen dan bebas nilai. Satu-satunya nilai yang harus tegak dalam iklim sains yang ideal adalah kebenaran objektif, bukan kebenaran subjektif milik kelompok atau golongan tertentu. Hanya dari iklim sains yang seperti inilah temuan-temuan ilmiah yang memiliki daya cukup kuat untuk membangun masyarakat akan lahir dan berkembang.
Baca Editorial tentang BRIN: Controlling Indonesia’s Assets and Minds
Masyarakat saat ini sudah cukup diresahkan oleh adanya gelombang penolakan terhadap sains yang merugikan dan membahayakan, seperti pada kasus penolakan masyarakat terhadap vaksinasi covid-19 setahun belakangan. Ketersinggungan terhadap karya ilmiah akan semakin memperlebar jarak antara akademisi dan masyarakat umum, padahal kemajuan peradaban masyarakat sangat bergantung pada kolaborasi di antara keduanya.
Anhar Dana Putra
Anhar Dana Putra Dosen Politeknik STIA LAN Makassar. Podcaster Sains.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email