Aktivis HAM dan Pegiat Demokrasi

Menagih Demiliterisasi Papua

B Mario Yosryandi Sara

3 min read

Reformasi meninggalkan banyak pengharapan bagi mereka yang pernah beramai-ramai turun ke jalan untuk menggulingkan rezim Soeharto.

Soeharto hanya lepas dari jabatan, tetapi wajah Orde Baru tidak benar-benar menyingkir. Begitu pula watak dwifungsi ABRI. Keduanya hanya berganti jubah dan berlipat dalam jumlah. Pernyataan ini bukan klaim ambisius untuk menghakimi buruknya Orba yang militeristik, tetapi mencoba membuka ruang dialektika dan refleksi bagaimana sebuah negara harus tunduk kepada rezim otoriter selama tiga dekade.

Studi Arie Sujito (2002) menunjukkan bahwa 32 tahun bukan waktu yang sebentar untuk membentuk persepsi publik bahwa militer adalah musuh masyarakat. Pasca rezim otoriter Soeharto, kekerasan dan penindasan seolah tidak pernah lepas dari bayang-bayang militer. Tindakan represif dan ekspresi kekerasan aparat bersenjata kepada masyarakat yang melakukan protes telah membentuk ingatan kolektif yang menyeramkan tentang bagaimana aktivis disiksa, dibunuh, atau dihilangkan.

Baca juga:

Komitmen Reformasi sebenarnya mulai menemukan titik terang ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan kebijakan yang menghalau militer dari segala bentuk politik praktis. Demiliterisasi yang dilakukan oleh Gus Dur memang terlihat sangat radikal. Namun, baginya hal tersebut merupakan langkah terbaik untuk menjaga semangat Reformasi sekaligus menjawab tuntutan demokrasi di arus global. Hal yang dilakukan pertama kali adalah dengan melakukan pemisahan kekuasaan antara TNI dan Polri. Keduanya memang memiliki tugas yang tidak seharusnya disamakan apalagi dibungkus dalam satu tubuh.

Tidak jarang, TNI masuk ke ranah-ranah keamanan, dan sebaliknya, Polri menjadi sangat militer dengan menampakkan wajah kekerasan daripada pendekatan persuasif berdasarkan norma hukum. Upaya demiliterisasi selanjutnya juga ditempuh melalui jalur kelembagaan dengan simbolik menetapkan orang-orang dari kalangan sipil untuk menduduki kementerian pertahanan. Sayangnya, langkah Gus Dur tidak saja mendapat penolakan dari kelompok militer, tetapi juga dari politisi-politisi sipil yang pro pada status quo.

Kepentingan konservatif masih mengisi jabatan-jabatan strategis di parlemen sehingga menghalangi signifikansi perubahan di era transisi demokrasi. Masa transisi yang seharusnya diisi oleh konsolidasi sipil yang kuat malah dibenturkan dengan kekuatan-kekuatan lama yang masih berupaya memagari kekuasaannya.

Sekarang, walaupun negara yakin bahwa militer sudah “dikandangkan” dan tunduk pada supremasi sipil, praktik menunjukkan bahwa dominasi militer justru bertransformasi dalam bentuk birokrasi kita. Institusi negara berubah menjadi agen yang mengatur dan menindas, persis watak militer ala Orde Baru. Militerisasi, sebagai sebuah proses intervensi militer dalam arena sipil dan terekspresikan secara kelembagaan, telah menambah catatan penting terkait hegemoni militer dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Sampai di titik ini, kita sepatutnya bersepakat bahwa Reformasi memang tidak pernah berhasil menghapus bentuk-bentuk patronase lama. Sebaliknya, Reformasi justru menjadi udara segar bagi aktor-aktor Orde Baru untuk mencari posisi terbaik dalam struktur kekuasaan dengan menjadi elit partai. Melalui cara ini, mereka sedang berusaha menguasai sumber daya material dengan menggunakan instrumen intimidasi politik seperti militer. Hasilnya, kita menjadi sangat kenyang dengan janji Reformasi atas demiliterisasi.

Reformasi sempat kita berikan beban berat untuk menghapus dwifungsi ABRI. Kemudian, sama-sama kita lihat hari ini bahwa angkatan bersenjata bukan menarik diri dari urusan sipil maupun politik, apalagi tunduk di bawah supremasi sipil. Sebaliknya, ia telah melembaga dalam sikap-sikap negara, bahkan menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan melalui beragam jubahnya.

Meskipun sebenarnya terdapat kondisi ideal dimana pembahasan tentang pengendalian demokratis atas angkatan bersenjata berkaitan erat dengan siapa yang menjaga penjaga. Ketentuan ini sesuai dengan pemikiran klasik Romawi dari Juvelai dan Omnia Romae yang mengatakan bahwa demokrasi adalah supremasi sipil, termasuk terhadap komando angkatan bersenjatanya. Namun, sepertinya militer justru digunakan oleh penguasa untuk melakukan intimidasi sebagai proses perebutan materi.

Baca juga:

Peristiwa Surabaya, Nduga, dan Wamena mungkin tidak dapat secara baik menggambarkan bagaimana militer di Papua selama ini telah mereduksi hak asasi manusia untuk menyatakan pendapat. Belum lagi, pendekatan militeristik telah dicatat oleh sejarah penghilangan banyak nyawa di tanah Papua dalam pertentangan sipil dan militer, salah satunya yang terkait isu-isu separatisme.

Tahun 2018 lalu, Amnesty International Indonesia merangkum beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh otoritas militer dalam sebuah laporan. Kesimpulannya, kasus pelanggaran HAM berulang oleh kekuatan militer disebabkan oleh impunitas dan kegagalan negara untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM di Papua.

Dalam laporan itu, Amnesty International Indonesia menggunakan frasa pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan. Artinya, aparat telah melakukan penghilangan nyawa di luar prosedur yang telah ditetapkan sebagai tugas pokok dan fungsinya. Ada 69 kasus yang dilaporkan, menunjukkan dugaan ada 39 kasus pembunuhan oleh polisi, 28 kasus oleh militer, 28 korban oleh polisi dan militer, serta 1 oleh satpol PP.

Ujian kemanusiaan terkait dengan Papua selalu dibenturkan dengan banyak hal. Pertama, sejarah meninggalkan perasaan “tidak adil” bagi mereka yang melihat Pepera sebagai tindakan yang curang, intimidatif, dan minim partisipasi. Kedua, sejarah mencatat hasil kesepakatan (meski dalam perasaan tidak adil) tersebut dalam dokumen internasional yang secara yuridis sulit membuka ruang bagi terciptanya referendum di Papua.

Kemudian, kekerasan yang dilakukan oleh militer dapat dikatakan sebagai kegagalan negara dalam upaya demiliterisasi, tetapi urgensinya terus didorong karena gerakan separatis dirasa masih masif dan perlu penanganan khusus. Terakhir, tuntutan atas kehidupan yang lebih berkeadilan belum pernah direspons oleh pemerintah dengan membuka ruang dialog yang benar-benar partisipatif dan dialektis.

Baca juga:

Empat hal di atas pada akhirnya membuat bayang-bayang akan kecurangan negara dan kekejaman militer tidak pernah lepas dari ingatan masyarakat Papua. Secara tidak langsung, empat hal itu mengisyaratkan bahwa seruan referendum (atau bentuk perlawanan lain) tidak akan surut selama negosiasi yang diharapkan belum tercapai.

Sekali lagi, yang terpenting dari seluruh upaya dalam meredam rentetan konflik dan pelanggaran HAM di Papua adalah komitmen pemerintah untuk membuka partisipasi seluas-luasnya. Jangan menjadikan Papua seolah ladang ranjau yang harus dijaga setiap waktu dengan senjata. Biarkan Papua seperti permintaan Bupati Nduga, bebas dari pengawasan ketat bala tentara.

Demiliterisasi bukan berarti meniadakan aparat militer dari tanah Papua, tetapi menarik mereka dari ruang-ruang yang bukan merupakan tempatnya. Upayakan percepatan pengadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa masyarakat Papua, berikan kebebasan bagi wartawan asing maupun nasional meliput, dan berikan kebebasan berekspresi dengan tidak terus menerus memutus sambungan internet sebagai kanal informasi.

Dengan begitu, Reformasi tidak hanya ditunaikan secara simbolik, tetapi juga substantif. Sebab, kita ingin Reformasi tidak terbengkalai sebagai mimpi yang tidak kunjung selesai.

 

Editor: Emma Amelia

B Mario Yosryandi Sara
B Mario Yosryandi Sara Aktivis HAM dan Pegiat Demokrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email