Kembali Menjadi Warga Negara yang Kritis

Muhammad Islah Satrio

2 min read

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh capres-cawapres nomor urut 01 dan 03 pada 22 April 2024 lalu, harapan terhadap sebuah perubahan kondisi pemilu 2024 telah gugur. Putusan tersebut seakan menganulir segala bukti tindak kecurangan yang terjadi selama masa kampanye Pemilu 2024. Walaupun terdapat tiga dissenting opinion oleh tiga Hakim MK, tetap tak mengubah hasil putusan yang secara tidak langsung memutus bahwa tidak ada kecurangan yang terjadi selama proses Pemilu yang dilakukan oleh Capres-Cawapres Nomor Urut 02.

Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh banyak elemen masyarakat. Ratusan akademisi dari puluhan universitas yang menolak “cawe-cawe” Presiden Joko Widodo hingga produksi film dokumenter dengan mengundang tiga pakar hukum sebagai narasumber yang membongkar segala bentuk kecurangan Pemilu 2024 yang terstruktur, sistematis, dan masif tak menemukan titik cerah. Proses gugatan ke MK sebagai upaya terakhir mendelegitimasi kecurangan dalam pemilu telah gagal. Alhasil, kita semua harus menerima penetapan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang pada 24 April 2024, hanya sehari setelah putusan MK dibacakan.

Baca juga:

Kita juga harus siap dengan kondisi minimnya partai yang akan berdiri sebagai oposisi untuk mengawal dan melawan segala bentuk ketidakadilan yang akan dilakukan oleh pemerintah ke depan. Proyeksi ini didasarkan atas banyaknya partai yang bermanuver untuk mendukung koalisi pemenang pemilu.

Dari kubu 01 saja, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lewat Muhaimin Iskandar yang telah menemui Prabowo Subianto sekaligus menitipkan 8 agenda “perubahan”, Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang telah menyatakan akan mendukung pemerintahan yang baru lewat pernyataan Surya Paloh, hingga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lewat Sekjennya, Aboe Bakar Alhabsyi, yang mengundang Prabowo Subianto ke Kantor DPP PKS. Partai yang tersisa hanyalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang belum memberikan keterangan resmi mengenai posisi partainya dalam pemerintahan selanjutnya.

Jika situasi tetap seperti ini, maka hampir seluruh partai akan mendukung  pemerintah. Hal ini akan berpengaruh terhadap komposisi fraksi di parlemen. Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya memiliki otoritas untuk mengontrol segala kinerja eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan akan memiliki daya tawar yang lemah. Berbagai kebijakan berbasis kepentingan segelintir pihak dan tidak pro rakyat akan berpotensi terbentuk mengingat minimnya fraksi yang menjadi oposisi.

Sementara itu, lembaga yudikatif yang seharusnya menjadi sarana kontrol terhadap eksekutif serta legislatif tampaknya tak memiliki taring yang cukup kuat. Apalagi, Anwar Usman kembali menduduki jabatan sebagai Ketua MK pada 15 Februari 2024 lalu setelah sebelumnya diberhentikan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi karena terbukti melanggar kode etik. Hadirnya hakim yang memiliki keterikatan kekeluargaan dengan pejabat negara berpotensi mengakibatkan konflik kepentingan, terkhusus dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut keluarganya.

Baca juga:

Situasi ini tentu sangat mengkhawatirkan, terutama untuk warga yang peduli terhadap iklim demokrasi yang sehat. Konsolidasi politik elit pasca pemilihan umum seakan-akan mengaburkan segala perselisihan dan perkelahian warga pendukung capres-cawapres tertentu.

Jargon perubahan yang dibawakan beberapa partai oposisi terasa hambar. Namun, konflik horizontal antar pendukung capres-cawapres masih dapat dirasakan hingga hari ini. Padahal, mereka mungkin tidak akan dilibatkan dalam segala proses penentuan arah kebijakan pemerintah, misalnya penentuan menteri dalam kabinet pemerintahan yang baru—yang lagi-lagi hanyalah ajang bagi-bagi kue di dalam tataran elit.

Namun, saya dapat menjamin bahwa segala dampak negatif dari kebijakan publik yang dibentuk oleh pemerintah dengan mempertimbangkan kepentingan segelintir orang pasti kita rasakan. Akan ada kebijakan serupa Undang-Undang Cipta Kerja yang memangkas hak buruh, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang melahirkan kembali konsep dwifungsi ABRI, dan lain sebagainya. Kita tidak dapat menaruh harapan besar kepada lembaga trias politica karena telah terkonsolidasi secara sistematis.

Maka dari itu, saya ingin mengajak seluruh warga, terutama yang pernah menjadi pendukung garis keras capres-cawapres tertentu selama Pemilu 2024, untuk menjadi warga negara yang kritis. Kita harus tetap bersuara atas setiap kinerja pemerintahan selanjutnya sebagai warga negara. Jika kita dapat menyatukan pemahaman untuk tetap lantang bersuara sebagai warga yang berdaulat atas negaranya, ketakutan akan situasi demokrasi yang semakin memburuk akan redam.

 

Editor: Emma Amelia

Muhammad Islah Satrio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email