Mahasiswa STAIN Mandailing Natal

Bicara Diganjar Penjara

Farhan Donganta

2 min read

Ketakutan bicara kritis sekarang melanda Indonesia. Bicara sedikit lantang besar kemungkinan akan dilaporkan polisi dan dikenai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal pencemaran nama baik. Seolah-olah penjara telah menunggu untuk orang yang bicara kritis meskipun sudah jelas dengan maksud baik untuk membela kepentingan orang banyak dan mengkritik pejabat publik yang jelas digaji rakyat.

Kondisi seperti ini hanya pernah terjadi pada republik ini pada masa Orde Baru ketika kritik atau bahkan perbedaan pendapat dengan penguasa dianggap sebagai suatu yang subversif dan memberontak.

Konfirmasi polisi bahwa dua aktivis HAM yakni Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pencemaran nama baik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan merupakan bukti terbaru bahwa Indonesia memang tidak aman untuk bersuara.

Awal dari kasus ini adalah perbincangan keduanya di kanal YouTube Haris Azhar. Di dalam video tersebut, Haris dan Fatia membahas hasil riset sejumlah organisasi, seperti KontraS, Walhi, Jatam, YLBHI dan Pusaka tentang keterlibatan para pejabat atau purnawirawan militer dan kepolisian di balik bisnis tambang emas di Papua, termasuk rencana eksploitasi daerah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua, yang mengandung emas bernilai hampir Rp 200 trilliun.

Baca lebih dalam:

Tentu saja apa yang diperbincangkan oleh dua aktivis HAM tersebut juga bersangkut-paut dengan hak asasi manusia, seperti yang kita ketahui bahwa di Papua sedang terjadi konflik, dan konflik tersebut sarat akan pelanggaran HAM. Di dalam demokrasi, pendapat yang berhubungan dengan kemanusiaan memang harus digaungkan. Dan keduanya mengemukakan hal tersebut.

Penetapan tersangka kepada Haris dan Fatia jelas adalah tindakan yang menghukum pendapat. Mengapa? Karena mereka mengemukakan pendapat tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik dengan berdasarkan kepada investigasi sejumlah kelompok masyarakat madani yang telah mempunyai reputasi tinggi selama ini.

Jelas ada indikasi bahwa rencana eksploitasi tersebut merugikan kepentingan umum. Jika kita simak perbincangan antara Haris dan Fatia, kita akan menemukan kekhawatiran mereka tentang adanya KKN dan penolakan mereka terhadap terjadinya kejahatan ini di Papua.

Kebebasan berpendapat, seolah tengah dimutilasi di negeri ini ketika pencemaran nama baik menjadi dalih atas ketidakmampuan elit untuk menerima kritik.

Berpendapat adalah hal niscaya dan dilindungi  dalam demokrasi. Dan dalam kasus Haris dan Fatia ini, ada gelagat membukakan pintu untuk otoritarian masuk kembali ke dalam republik ini.

Menghukum pendapat hanya digunakan oleh pihak yang tidak demokratis atau bisa dikatakan sebagai pihak yang berpikir otoritarian. Karena otoritarian jika sesuatu dari kekuasaannya diganggu sedikit saja, maka ia akan menjelma menjadi singa yang mengaum dan memangsa.

Daripada mempolisikan kedua pegiat HAM tersebut, Luhut sebagai pejabat publik yang seharusnya sadar bahwa hal yang normal jika ia mendapat kritik dari masyarakat seharusnya membeberkan bukti yang menyangkal tuduhan bahwa ia terlibat dalam exploitasi blok Wabu tersebut. Jika ia punya bukti kuat dan benar dengan sendirinya namanya akan bersih dan bahkan masyarakat justru akan lebih mempercayainya lagi.

Pelaporan polisi ini justru menunjukkan bahwa ia panik dan hanya berkeinginan membungkam suara kritis masyarakat karena sebagai orang yang sangat berkuasa di negeri ini ia mungkin merasa akan bisa mengatur hukum tanpa takut akibatnya.

Jika orang yang punya nama besar dan sekuat Haris Azhar saja dapat menjadi tersangka karena bersuara, maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada orang-orang biasa jika mereka bersuara?

Apa yang terjadi jika orang-orang muda tidak bersuara kritis karena takut? Lebih lagi, apa yang akan terjadi pada bangsa ini jika tidak ada lagi suara , pikiran dan karya kritis karena takut?

Kreativitas, ilmu penetahuan serta karya inovatif hanya dapat timbul dan tumbuh jika kita berani mempertanyakan kondisi yang ada. Di era di mana berpikir kritis dan kreativitas serta inovasi menjadi mata uang untuk bertahan dan maju, Indonesia malah membungkam suara-suara ini demi melindungi harga diri dan nama seorang penguasa.

Indonesia sekarang ini adalah konsumen ilmu dan teknologi serta pasar bagi produk negara asing karena tidak manpu berinovasi dengan suara dan pikiran kritis yang akan melahirkan inovasi dibungkam. Bangsa ini akan lebih tenggelam dalam kegelapan karena sejarah telah mengajarkan bahwa tidak akan ada kemajuan tanpa pertanyaan-pertanyaan dan karya-karya kritis.

Farhan Donganta
Farhan Donganta Mahasiswa STAIN Mandailing Natal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email