Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Alam dan Deritanya yang Tak Kunjung Berakhir

Muhammad Zair Baitil Atiq

3 min read

Isu kerusakan lingkungan tampaknya menjadi permasalahan panjang yang tak kunjung menemui solusi. Eksploitasi dan kerakusan manusia atas alam tidak pernah berakhir. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan John Adam Smith. Ia menyebut manusia sebagai makhluk yang tidak pernah puas atau homo economicus. Ironisnya, manusia terus merusak alam meskipun sadar tindakan tersebut membawa mereka pada kehancuran. Keadaan seperti ini akhirnya memicu alam untuk memainkan hukumnya sendiri, yang akhirnya membuat manusia tidak berdaya melawannya.

Berbagai solusi pun telah dilakukan, seperti kampanye melestarikan lingkungan, meregulasikan hubungan alam dan manusia, dan komitmen yang lahir dari berbagai konfrensi tingkat tinggi negara-negara di dunia. Namun, hal tersebut tampak seperti formalitas moral tanpa dampak nyata yang signifikan. Selama kita masih ragu untuk pindah dari paradigma antroposentrisme menuju ekosentrisme, maka kita tidak akan pernah bisa menghadapi krisis ekologis. Oleh karena itu, kita perlu merefleksikan dan menata ulang bagaimana relasi yang kita bangun dengan alam selama ini.

Di Ujung Tanduk Kehancuran

Data terbaru PBB mengungkapkan sekitar 40% lahan di seluruh dunia dalam kondisi terdegradasi akibat aktivitas manusia. Deteriorasi atau penurunan mutu lingkungan terus terjadi di tengah gemilangnya kemajuan hidup manusia. Deforestasi tanpa henti, desertifikasi, krisisnya sumber daya alam, ancaman kepunahan berbagai spesies, perubahan iklim, dan kerusakan ekosistem tidak bisa kita pungkiri telah menjadi kekhawatiran besar saat ini.

Hal ini juga diamini Sekretaris Jendral PBB Antonio Gutteres dalam pidatonya pada pertemuan COP 27 di Mesir November 2022 lalu. Ia mengatakan, “emisi gas rumah kaca terus meningkat, suhu global terus meningkat, dan planet kita dengan cepat mendekati titik kritis yang akan membuat kekacauan iklim tidak dapat diubah lagi …. Kita berada di jalan raya menuju iklim neraka dengan kaki yang masih menginjak pedal gas.”

Paul J. Ctrutzen dan Eugene F. Stoemer dalam artikel berjudul “The Anthropocene” menegaskan kembali bahwa istilah holosen yang sering kita pakai untuk mendefinisikan keadaan ekologis manusia pada saat ini sudah tidak relevan. Istilah epos antroposen–suatu masa di mana ekologis tidak hanya sekadar krisis tapi kita telah berada di ujung batas dari krisis itu–dianggap lebih tepat untuk mendefinisikan keadaan kita pada saat ini. Pada titik ini, manusia harus sadar status quo bahwa alam sedang berada di ujung tanduk menuju kehancuran.

Baca juga:

Tak Lebih Dari Alat Politik dan Nilai Ekonomis

Dalam bukunya yang berjudul The Politics of Climate Change, Anthony Giddens memberikan kritik kepada negara yang seharusnya berperan sebagai aktor untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim. Namun, kalangan elite politik justru menganggap perubahan iklim tidak lebih dari permainan politik tanpa adanya usaha untuk memahaminya secara utuh.

Negara mencoba menutupi berbagai bentuk eksploitasi alam melalui produk-produk yang mereka klaim sebagai solusi. Sebut saja seperti hadirnya konsep politik hijau, ekonomi hijau, dan jenis hijau-hijauan lainnya­. Sementara pada realitasnya alam hanyalah medium yang digunakan sebagai instrumen politik untuk melanggengkan kepentingan mereka. Pernyataan ini tervalidasi dari berbagai kebijakan politik yang tidak menunjukkan output nyata bagi kelestarian alam saat ini.

Implementasi program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di Indonesia misalnya. Meskipun program ini sudah berjalan lebih dari satu dekade, deforestasi masih sering terjadi, dan fakta bahwa hutan kita semakin hari semakin berkurang tak bisa terhindarkan.

Prinsip green economy yang terludahi oleh kenyataan eksploitasi alam oleh korporasi masih terus berlanjut tanpa mempertimbangkan analisis dampak lingkungannya. Berbagai konferensi tingkat tinggi (KTT) perubahan iklim seperti Protokol Kyoto dan Paris Agreement pun hanya menjadi ajang politik untuk menunjukkan eksistensi dan kepedulian negara terhadap lingkungan. Kepedulian mereka hanya di mulut dan di atas kertas tanpa dibarengi solusi konkret untuk menjawab tantangan krisis iklim itu sendiri.

Peran alam sering direduksi dan dibatasi sebagai lahan produksi dan komoditas saja. Alam dianggap sebagai nilai kapital terbesar dalam aktivitas ekonomi untuk menyejahterakan kehidupan manusia. Supremasi nilai ekonomi atas alam akan selalu terjadi jika kita memandang alam hanya sebatas faktor produksi. Nilai ekonomi atas alam akan selalu menang bahkan terkadang dipaksa untuk dimenangkan. Pandangan sempit terhadap bagaimana status alam dalam kehidupan dapat berakibat fatal, bukan bagi keberlangsungan alam saja tapi juga bagi keberlangsungan hidup manusia.

Baca juga:

Mendekonstruksi Relasi Alam dan Manusia

Kita perlu menata ulang relasi dengan alam di tengah dominasi paradigma antroposentrik yang menganggap manusia sebagai pusat dari alam semesta. Saras Dewi dalam buku Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam mengkritik bahwa kita harus mampu melampaui perdebatan etis menuju perdebatan ontologis tentang apa sebenarnya yang menjadi sumber kerusakan alam. Saras mengatakan, “kita selalu melompat pada prinsip etis yang mesti dilakukan, padahal pertanyaan ontologis tentang siapakah manusia di tengah alam perlu menjadi sorotan utama.”

Merleau-Ponty mengatakan bahwa kita dan lingkungan adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dilepaskan dengan konteks kebertubuhan manusia. Hal-hal di luar manusia yang dulunya tidak memiliki status moral, saat ini dianggap sebagai new kind of ethics atau yang dikenal dengan environment ethics, di mana lingkungan juga memiliki nilai-nilai yang harus kita perhatikan.

Maka dari itu, melalui pendekatan deep ecology kita perlu melakukan dekonstruksi–meminjam istilah Jacques Derrida dalam bukunya Of Grammatology–untuk memaknai kembali relasi manusia dan alam dengan berpindah dari paradigma antroposentrisme menuju ekosentrisme yang memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik biotik maupun abiotik.

Dikotomi antara manusia dan alam dapat menyebabkan disekuilibrium kehidupan. Maka dari itu, egalitarianisme nilai antara alam dan manusia perlu dibangun agar kita dapat menjaga kelestarian alam dan membangun dunia yang lebih baik. Dengan demikian, hak sungai untuk tetap jernih, hak burung untuk tetap berkicau, hak lembah untuk tetap berlekuk, dan hak pohon untuk tetap rindang dapat kita nikmati bersama sebagai bentuk perubahan peradaban yang lebih etis.

 

Editor: Prihandini N

Muhammad Zair Baitil Atiq
Muhammad Zair Baitil Atiq Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email