Kemendikbudristek secara resmi menghapus sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA mulai tahun ajaran baru 2024/2025. Langkah ini merupakan bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka. Dengan dihapuskannya jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, siswa diharapkan dapat lebih fokus mempelajari mata pelajaran sesuai minat serta rencana studi dan karier mereka. Namun, apakah menghapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA adalah langkah bijak?
Kemendikbudristek menjelaskan persiapan menuju perguruan tinggi sulit dilakukan jika siswa masih dikelompokkan berdasarkan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Sering kali siswa memilih jurusan IPA bukan karena refleksi terhadap bakat, minat, dan rencana karier mereka, melainkan karena keistimewaan dalam memilih program studi di perguruan tinggi.
Penghapusan jurusan ini akan diterapkan di sekolah-sekolah yang telah mengadopsi Kurikulum Merdeka. Di kelas 11 dan 12, siswa dapat memilih mata pelajaran secara lebih fleksibel sesuai minat, bakat, kemampuan, serta aspirasi studi lanjut atau karier mereka. Selain itu, penghapusan jurusan ini juga untuk menghilangkan diskriminasi terhadap siswa jurusan non-IPA dalam seleksi nasional mahasiswa baru. Semua lulusan SMA dan SMK dapat melamar ke semua program studi melalui jalur tes tanpa dibatasi oleh jurusan mereka selama di SMA/SMK.
Baca juga:
Potensi Kesenjangan Baru
Salah satu kritik utama saya terhadap kebijakan ini adalah mengenai kesiapan dan implementasi kebijakannya. Banyak sekolah belum siap mengadopsi perubahan kurikulum secara cepat karena keterbatasan infrastruktur dan sumber daya. Guru juga perlu pelatihan tambahan untuk menyesuaikan metode pengajaran mereka dengan pendekatan baru. Hal ini tentu memakan waktu dan sumber daya besar.
Selain itu, ada potensi kebingungan di kalangan siswa dalam memilih mata pelajaran tanpa panduan yang jelas. Siswa yang belum sepenuhnya menyadari minat dan bakat mereka mungkin merasa bingung untuk menentukan pilihan yang tepat. Tanpa bimbingan karier yang memadai, mereka bisa membuat keputusan yang kurang optimal untuk karier mereka di masa depan.
Perbedaan kualitas pendidikan antarsekolah juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Sekolah-sekolah di daerah terpencil atau dengan fasilitas terbatas mungkin tidak dapat menyediakan beragam pilihan mata pelajaran yang memadai bagi siswa. Ini berpotensi memperbesar kesenjangan pendidikan antarwilayah. Selain itu, tidak semua sekolah memiliki guru yang ahli di setiap mata pelajaran yang mungkin diminati siswa, sehingga terjadi ketimpangan kualitas pendidikan yang diterima siswa.
Tak cuma itu, dampak terhadap seleksi perguruan tinggi juga tidak dapat diabaikan. Siswa yang memilih mata pelajaran sesuai minat mungkin tidak akan mendapatkan persiapan yang cukup untuk ujian seleksi perguruan tinggi, sebab sering kali materi-materinya masih berdasarkan jurusan tradisional (IPA, IPS, Bahasa). Perguruan tinggi juga perlu menyesuaikan proses seleksi mereka untuk menerima siswa dari berbagai latar belakang mata pelajaran.
Baca juga:
Meskipun penghapusan jurusan bertujuan menghilangkan diskriminasi terhadap siswa non-IPA, ada potensi munculnya diskriminasi dalam bentuk lain. Misalnya, perguruan tinggi atau pasar kerja mungkin lebih memilih siswa yang menguasai kombinasi mata pelajaran tertentu yang dianggap lebih “bernilai”. Misalnya, jika suatu perguruan tinggi lebih cenderung menerima siswa dengan latar belakang mata pelajaran matematika dan sains untuk program teknik, siswa yang memilih kombinasi mata pelajaran lain mungkin merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan preferensi ini. Hal ini bisa menciptakan masalah diskriminasi terselubung yang baru.
Menurut saya, manajemen transisi yang kurang matang juga menjadi kritik penting. Perubahan mendadak tanpa transisi yang memadai dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakstabilan di kalangan siswa, guru, dan orang tua. Meskipun tujuan penghapusan sistem penjurusan ini adalah untuk memberikan fleksibilitas lebih besar bagi siswa, implementasinya memerlukan perencanaan yang matang dan dukungan menyeluruh dari semua pihak.
Persoalan Mendasar
Sesungguhnya, persoalan mendasarnya bukan terletak pada keberadaan jurusan-jurusan ini. Masalah utamanya adalah, meskipun siswa dikelompokkan ke dalam bidang-bidang khusus tersebut, mereka sering kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan hidup dasar yang sangat penting bagi perkembangan mereka secara keseluruhan.
Keterampilan dasar seperti mengantri dengan sabar, empati terhadap sesama, dan disiplin waktu masih menjadi tantangan besar bagi banyak siswa. Namun, sistem pendidikan kita saat ini kurang memberikan perhatian pada pengembangan aspek-aspek esensial ini, dan hanya fokus pada pencapaian akademis semata. Selain itu, sistem pendidikan kita tampaknya juga gagal dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Siswa masih mengalami kesulitan berpikir logis, menulis yang baik, dan memahami bacaan secara mendalam.
Baca juga:
Kurangnya keterampilan dasar ini membuktikan adanya kesenjangan dalam sistem pendidikan kita. Fokus yang terlalu awal pada mata pelajaran spesifik dapat mengabaikan pengembangan individu secara holistik dan menyeluruh. Pendekatan ini berisiko mengesampingkan aspek penting pendidikan yang seharusnya mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan kehidupan nyata dengan kepercayaan diri dan keterampilan yang memadai.
Dalam hal ini, pepatah “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak” sangat relevan. Kita sering terfokus pada perbaikan besar dan jelas, seperti penghapusan sistem penjurusan, namun melupakan isu mendasar yang ada di depan mata, yaitu kebutuhan pengembangan keterampilan hidup dan berpikir kritis.
Implikasinya sangat luas, siswa memasuki pendidikan tinggi dan dunia kerja tanpa persiapan yang memadai untuk menghadapi tuntutan akademis yang ketat dan lingkungan profesional yang dinamis. Mereka mungkin memiliki pengetahuan teoretis yang mendalam di bidang khusus mereka, tetapi kurang memiliki keterampilan hidup untuk menjalani kehidupan bermasyarakat yang kompleks dan cepat berubah.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum pendidikan kita. Kurikulum harus dirancang untuk menyeimbangkan pengetahuan spesifik dengan pengembangan keterampilan hidup, termasuk berpikir kritis, komunikasi efektif, empati, dan kedisiplinan—semua hal yang merupakan fondasi keberhasilan di masa depan.
Lebih jauh, pengembangan kurikulum pendidikan harus mempertimbangkan kebutuhan untuk menciptakan individu yang seimbang dan holistik, yang tidak hanya unggul dalam bidang akademis tetapi juga mampu beradaptasi dan memberikan kontribusi positif di masyarakat. Pendidikan yang berkualitas harus membekali siswa dengan keterampilan untuk menghadapi kompleksitas kehidupan modern serta memberikan mereka fondasi yang kuat untuk sukses dalam berbagai aspek kehidupan di masa depan.
Dengan pendekatan ini, kita dapat mempersiapkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bijaksana, empatik, dan siap menghadapi tantangan serta peluang. Pendidikan yang demikian adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan berkelanjutan di masa depan.
Editor: Prihandini N