“Sekumpulan teori hanya akan menghasilkan teori lainnya,” begitu lebih kurangnya ucap Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah acara webinar mengenai kritik sastra beberapa tahun lalu. Aku pun mengamini yang dikatakan SGA ketika itu. Teori, alih-alih mampu diterapkan di lapangan, terkadang hanya menjadi sebatas kritik tanpa ada sesuatu untuk ditawarkan.
Selanjutnya, hal serupa diamini oleh Mohammad Rafi Azzamy dalam tulisannya yang berjudul, “Kita Butuh Gerakan Sosial yang Lebih Mutakhir”. Menurutnya akan lebih masuk akal jika sebuah gerakan sosial tidak hanya sebatas kritik, tetapi juga menawarkan sebuah solusi jitu terhadap permasalahan yang dikritiknya–sebuah gerakan sosial yang lebih pragmatis, mungkin.
Tidak hanya kritik teori sastra yang semakin berkembang secara luas, lebih maju, serta inovatif. Dalam pendidikan, berbagai teori dan inovasi paling mutakhir juga terus dikembangkan seiring berjalannya arus zaman. Akan tetapi, permasalahannya adalah terkadang teori yang dikembangkan tersebut terlampau mutakhir untuk digunakan di lapangan.
SDM dan Lapangan yang Kurang Mutakhir
Komponen penggerak dalam pendidikan salah satunya adalah guru atau pendidik. Tugasnya, jika mengutip Oemar Hamalik, yaitu menyelenggarakan pembelajaran, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, serta memberikan pelayan teknis lainnya dalam bidang pendidikan. Pendidik harus memenuhi kualifikasi di bidang pendidikan yang sesuai dengan standar kompetensinya–pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional.
Baca juga:
Akan tetapi, jika merujuk pada standar kompetensi tersebut, pendidik di lapangan jauh dari yang diharapkan, apalagi jika merujuk pada yang dikatakan Oemar Hamalik. Misalnya saja, keikutsertaan para pendidik atau para calon pendidik kita dalam kegiatan penelitian yang sangat minim–penelitian tindak kelas pun enggan untuk dilakukan. Hal tersebut disebabkan kemalasan berpikir pendidik atau para calon pendidik kita untuk mau berkembang ataupun memgembangkan kembali keilmuannya agar lebih relevan dengan keadaan zaman.
Jika terpaksa harus meneliti tetapi terlalu malas berpikir, akhirnya mereka menempuh jalan yang instan, seperti plagiarisme, seperti temuan saya beberapa waktu ini. Makalah ilmiah seorang mahasiswa magister Pendidikan Islam hanya hanya berisi hasil copy-paste makalah ilmiah milik orang lain. Tak tanggung-tanggung copy-paste yang dilakukannya mulai dari judul, abstrak, isi, sampai dengan daftar pustakanya. Lalu apa yang tecermin dari hal tersebut? Akhirnya kemalasan yang mereka lakukan menjadi semacam gunung sampah yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan diri mereka sendiri.
Dengan demikian, pada akhirnya sumber daya manusia yang kurang mutakhir ini menyebabkan pendidikan kita mandek, hanya berjalan di tempat selama bertahun-tahun. Penyesuaian kurikulum hanya menghasilkan tumpukan administrasi dibandingkan prestasi jika sumber daya manusianya tidak mampu dan tidak mau beradaptasi, serta hanya berorientasi pada kuantitas dibanding kualitas.
Banyak yang berpendapat bahwa masalahnya terdapat pada kurikulum–kurikulum pendidikan kita. Dalam hemat saya, kurikulum kita sebetulnya sudah lebih dari mutakhir, dengan banyak memberikan kebebasan pada satuan pendidikan. Namun, sejatinya permasalahan paling besar adalah ada pada sumber daya manusianya. Jika mengutip Naufalul Ihya Ulumuddin dalam tulisan Siswa, Guru, dan Sekolah dalam Belenggu Moralitas Budak, sumber daya manusia dalam pendidikan kita bermoral budak karena segalanya bersifat top-down. Jika hal ini terus menerus dilanggengkan, sejatinya pendidikan kita layaknya zombie, ia tak hidup, pun tak mati; ia bergerak tetapi tak bebas.
Mendesak Satuan Pendidikan yang Lebih Mutakhir
Selain sumber daya manusia yang harus dimutakhirkan, satuan pendidikan pun harus dimutakhirkan pula sebagai salah satu tempat terlaksananya proses pendidikan. Jika satuan pendidikan–dalam hal ini sekolah–tidak mendukung pelaksanaan pembelajaran atau pun pengembangan-pengembangan lainnya, cita-cita kemajuan pendidikan Indonesia Emas 2045 hanya menjadi ilusi.
Baca juga:
Seperti yang kita ketahui, kesenjangan pendidikan di negeri ini merupakan hal yang tidak pernah terselesaikan. Sebagai contoh paling sederhana, sarana serta prasarana sekolah di perkotaan dengan di pedesaan sudah sangat berbeda jauh; entah apa pun alasannya. Ini ironi yang tak bisa ditutupi. Di satu sisi, kita menginginkan pendidikan yang lebih maju, akan tetapi di lain sisi pemerintah kita enggan memajukan lapangan pendidikan itu sendiri, padahal hal tersebut sesuai dengan amanat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemerintah kita terlalu banyak melakukan pencitraan dibanding bergerak secara konkret di lapangan. Bukan rahasia lagi jika berbagai seremonial dilakukan demi citra pendidikan yang lebih segar kulitnya, sedangkan daging buahnya hanya sedikit yang peduli.
Sebetulnya, teori pendidikan kita sudah terlampau mutakhir dengan banyaknya inovasi yang ditawarkan, seperti model pembelajaran yang lebih modern, metode yang lebih mampu membelajarkan peserta didik, pendekatan-pendekatan yang lebih relevan dengan zaman, entah itu filsafat, psikologi, dll, serta media pembelajaran yang sudah lebih canggih.
Akan tetapi, gemerlapnya inovasi pendidikan tersebut tidak didukung dengan sumber daya. Lapangan pendidikan yang lebih mutakhir hanya seperti gemerlap bintang di siang hari. Kemalasan berpikir maupun pemikiran tua dan usang yang ditunjukkan oleh para pendidik atau calon pendidik sudah bukan lagi hal yang patut dinormalisasi, sudah saatnya kebermanfaatan, kebebasan, kemerdekaan, serta kemutakhiran pendidikan di negeri ini didapatkan dan diperjuangkan.
Editor: Prihandini N
One Reply to “Memperjuangkan Pendidikan yang Mutakhir”