Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam tentu akrab dengan konsep dosa. Namun, apakah kedua organisasi Islam itu juga paham konsep dosa ekologis?
Begitu banyak ayat di kitab suci Al-Qur’an yang melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi karena Allah SWT telah menciptakan bumi secara seimbang. Pilihan kedua ormas Islam itu menerima konsesi tambang batu bara yang jelas-jelas merusak alam membuat kita meragukan pemahaman mereka terhadap konsep dosa ekologis.
Kedua ormas Islam itu mengklaim akan lebih ramah lingkungan hidup dalam mengelola tambang batu bara. Tidak akan merugikan masyarakat sekitar, katanya. Green mining adalah jargon yang mereka gembar-gemborkan, tak ada bedanya dengan greenwashing. Istilah greenwashing sering kali dipakai oleh perusahaan perusak lingkungan hidup untuk memberikan informasi palsu dan menyesatkan tentang label ramah lingkungan sebuah produk atau perusahaan. Ironis bila ormas Islam juga ikut-ikutan melakukan greenwashing.
Baca juga:
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tambang batu bara mampu mengubah bentang alam di area operasinya. Hancurnya keanekaragaman hayati, krisis air, polusi tanah hingga udara adalah sebuah keniscayaan di sekitar lokasi tambang. Pasca operasi pun tambang batu bara menyisakan lubang-lubang tambang yang membahayakan keselamatan manusia. Konsep green mining seperti apa yang bisa menghentikan daya rusak tambang batu bara?
Andaikan konsep green mining benar-benar bisa menghentikan daya rusak tambang batu bara di area operasionalnya, itu tidak bisa serta merta menghapus daya rusak ekologis batu bara. Pembakaran batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menyebabkan polusi udara. Korban dari polusi udara PLTU sudah banyak berjatuhan.
Jejak ekologi batu bara tidak berhenti pada operasional PLTU, pembakaran batu bara juga menyebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir. Meningkatnya emisi GRK ini menjadi penyebab krisis iklim. Laporan International Energy Agency (IEA), mengungkapkan bahwa komposisi GRK terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, menurut laporan tersebut, tahun 2023 menjadi tahun dengan emisi GRK tertinggi sejak tahun 2001. Pada tahun 2023 lalu, emisi karbon dioksida terkait penggunaan energi fosil mencapai 37,4 gigaton. Ke depan NU dan Muhammadiyah ikut berperan dalam meningkatnya GRK ini, karena telah masuk dalam bisnis tambang batu bara.
Kekacauan mitigasi iklim telah menimbulkan bencana di berbagai penjuru dunia. Berkeley Earth, sebuah organisasi sains di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa suhu di 2023 telah melampaui 1,5 derajat celcius di atas tingkat praindustrialisasi. Artinya, krisis iklim bukan lagi wacana, tetapi benar-benar telah terjadi di depan mata. Agak aneh bila NU dan Muhammadiyah yang katanya memiliki banyak kader berpendidikan tinggi tidak melihat fakta ini.
Frekuensi bencana akibat krisis iklim pun meningkat pesat. Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa jumlah bencana iklim di seluruh dunia naik lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Pada Indonesia Sustainability Forum (ISF) 2023, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, meskipun sering mendapatkan kritik akibat lemahnya komitmen iklim Indonesia, mengungkapkan bahwa krisis iklim juga dapat menimbulkan kerugian ekonomi secara global hingga US$23 triliun atau sekitar Rp352 kuadriliun pada 2050 dan mengakibatkan sekitar tiga juta kematian setiap tahunnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi Indonesia berpotensi menanggung kerugian ekonomi akibat krisis iklim hingga Rp112,2 triliun. Bisnis tambang batu bara NU dan Muhammadiyah memiliki peran dalam kerugian ratusan triliun rupiah akibat krisis iklim itu.
Negara-negara maju memang penyumbang terbesar GRK. Namun, laporan Low Carbon Development Indonesia (LCDI) pada 2020 mengungkapkan bahwa negara-negara maju secara konsisten berhasil menurunkan emisi di sektor energi sebesar 9 % di sejak tahun 2010 hingga 2019. Ironisnya, emisi di sektor energi dari negara-negara berkembang justru mengalami tren peningkatan.
Indonesia bukan hanya negara yang memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi batu bara, tetapi juga negara pengekspor batu bara. Pada tahun 2020, Indonesia mengekspor 390 juta ton batu bara. Sekali lagi, dengan menerima konsesi tambang batu bara, NU dan Muhammadiyah ikut berperan meningkatkan emisi GRK dan ketergantungan Indonesia terhadap batu bara.
Kini, kesadaran ekologis publik mulai meningkat. Mereka tidak ingin mewarisi alam yang dirusak oleh keserakahan dan kebodohan generasi tua. Kaum mudalah nanti yang akan turun ke jalan-jalan mendesak pemerintah serius menjalankan komitmen iklim dan transisi energi.
Namun, setelah NU dan Muhammadiyah menerima konsesi tambang, gerakan kaum muda itu tidak hanya akan berhadapan dengan represi aparat keamanan pemerintah yang elitnya memiliki relasi atau bahkan menjadi bagian dari industri batu bara. Ke depan, gerakan kaum muda itu juga akan berhadap-hadapan dengan NU dan Muhammadiyah karena kedua ormas Islam itu sudah menjadi bagian dari industri batu bara.
Baca juga:
Muhammadiyah dan NU tentu tidak ingin bisnisnya terancam oleh gerakan kaum muda yang mendesak pemerintah memperkuat komitmen iklim. Untuk mempertahankan bisnis energi kotor, bukan tidak mungkin gerakan iklim generasi muda itu akan diberi label anti agama, ateis, hingga komunis.
Dengan main asal label, protes dapat diredam. Negara terhindar dari tuduhan pelanggaran HAM dan bisnis para konglomerat batu bara tetap aman. Dalam konteks inilah kita semua dapat melihat bahwa sejatinya kedua ormas Islam itu telah diperalat oleh segelintir oligarki di sektor batu bara. Kenapa elit di kedua ormas Islam itu seperti menutup mata dan hatinya terhadap jebakan pemerintah melalui tawaran konsesi tambang batu bara itu?
NU dan Muhammadiyah sering mengklaim bahwa pihaknya akan menjadi bagian dari kemajuan peradaban Islam di Indonesia, bahkan di dunia. Pertanyaannya adalah peradaban Islam seperti apa yang akan dibangun bila kedua organisasi itu telah menjadi bagian dari bisnis energi kotor penyebab krisis iklim yang akan menghancurkan peradaban manusia? Siapa yang harus bertanggung jawab atas dosa-dosa ekologis yang dibuat oleh kedua ormas Islam itu?
Editor: Emma Amelia