Setiap dua kali dalam sebulan, kalian memutuskan bertemu. Kau tak pernah menduga akan begitu berkomitmen pada apa yang entah namanya ini: perkumpulan-kah atau hanya semacam ikatan tak kasat mata yang dijalin oleh satu perasaan serupa; butuh didengarkan, tanpa penghakiman dan saran-saran tak perlu.
Pada tempat yang entah apa namanya itu, kau menemukan banyak hal, sahabat, keluarga, kekuatan, bahkan dirimu sendiri. Kau akan mengupayakan untuk selalu datang, menembus kemacetan kota yang membisingkan. Meski setelah pulang dari sana, kau akan menghadapi kemarahan suamimu, dicaci maki, sampai melakukan apa pun yang ia inginkan, apa saja. Apa pun aralnya, kau tetap mengupayakan untuk selalu datang. Kau menganggap semua itu harga yang pantas, demi waktu untuk diri sendiri, demi memungut kekuatan yang dilahirkan dari cerita-cerita yang mengalir di sana.
Tak ada yang istimewa sebenarnya dari cerita-cerita itu, hanya kekuatan demi kekuatan. Beberapa kisah mungkin lebih tepat disebut kebodohan—tapi kalian tidak boleh menghakimi—juga tentang betapa digdayanya sesuatu bernama cinta.
Bukan hanya kau yang berupaya untuk selalu hadir. Citra, Siti, Ela, beberapa nama mulai kau akrabi. Kau tahu benar apa yang harus mereka korbankan untuk berada di tempat yang entah apa namanya itu.
Di sana, setiap dua pekan sekali, akan ada seseorang yang bertutur dan belajar jujur pada diri sendiri. Padahal, perkumpulan itu sebenarnya tak memberi solusi apa-apa, bahkan lebih tepat disebut tempat sampah keluh-kesah macam-macam. Namun, kau juga tahu, tempat itu setia mendengar cerita: suami menikah siri (lagi), suami yang mengeluarkan nama istrinya dari kartu keluarga, ibu mertua yang ingin menikahkan anaknya dengan perempuan lain, tubuh-tubuh yang hampir tak sanggup lagi menahan tendangan, atau perkara kebetahan salah satu di antara kalian melajang.
Yang kau suka pada saat-saat kalian berkumpul adalah waktu untuk berbicara tanpa disela, tanpa dihakimi, apalagi diberikan saran yang tidak diminta. Bukankah ketiga hal itu mahal? Menurutmu, dunia hanya dipenuhi dua macam manusia: yang hanya suka mendengar masalahnya sendiri dan yang suka memberi saran cuma-cuma.
Kau bergabung di tempat yang entah apa namanya itu juga karena anjuran teman SMA. Kau tak bertemu tak sengaja di kantor pengadilan agama. Kalian ke sana sama-sama ingin membuat gugatan. Namun, Gigi, nama temanmu itu, ke sana bukan untuk menggugat cerai suaminya. Ia ingin menggugat orang tuanya yang selalu menolak berapa pun uang panaik yang dibawa laki-laki yang ingin melamar Gigi, yang lalu mencurigai orang tuanya sebenarnya tak ingin ia menikah dan pergi dari rumah. Perempuan yang selalu bekerudung warna gelap itu lalu memberikan nomor WhatsApp seseorang bernama Rafika dan salah satu pertemuan yang pernah Gigi hadiri. Di sela-sela ceritanya, matamu tak bisa lepas dari ransel kulit buaya yang dipangku Gigi saat itu, teringat salah satu oleh-oleh dari suamimu saat pernikahan kalian lebih manis dari madu. Kau menghubungi Rafika sepulang dari pengadilan, setelah memutuskan memberi pernikahanmu kesempatan sekali lagi. Barangkali bukan perceraian yang kau butuhkan tetapi telinga yang bisa mendengarkan dengan baik dan benar.
Rafika, pendiri perkumpulan yang entah apa namanya itu—ia tak pernah mencetus sebuah nama—selalu siap menjadi tempat bersandar, mengajarkan pada kalian bagaimana menjadi perempuan kuat. Ia janda tujuh anak, tak ingin perkumpulan itu menjadi terlalu serius hingga membelenggu siapa pun yang hadir, memilih menjadi orang tua tunggal setelah suaminya meninggal saat kapal penumpang yang ditumpangi suaminya karam di Selat Selayar.
Rafika jugalah yang mengajari kalian cara memilah orang-orang yang harus didengarkan, mana orang penting dan mana racun, jangan mencintai pasanganmu 100%, cintai hanya setengahnya, sisakan separuhnya lagi untuk dirimu sendiri. Petuah-petuah itu tak pernah disampaikan dengan nada menggurui, ia sarikan dari kepahitan-kepahitan yang telah ia alami.
“Saya kaget waktu petugas kelurahan memperlihatkan kartu keluarga saya dan tidak ada nama saya di situ.”
Itu suara Siti dari Kota B, pada satu pertemuan yang membuat pandanganmu tentang kesetiaan berubah. Itu suara Siti di ujung isakan yang membuat kedua matanya sembab. Namanya telah diganti nama perempuan lain. Ela dari Kota S menyodorkan tisu dengan mata tak kalah sembab. Demikianlah kisah orang lain dengan mudah menyelipkan keprihatinan yang tak bisa kaubedakan mana yang asli, mana wujud syukur karena nasib masih jauh lebih baik.
“Kalau saya diperlakukan begitu, sudah lama saya pergi”. Kali ini, Citra dari Kota T yang bersuara. Ia pendatang baru, datang karena diajak Ela. Seketika, mata yang hadir menatap tajam dan tak tahan ingin mengingatkan peraturan perkumpulan itu. Namun, mereka adalah perempuan-perempuan yang telah berlatih menggigit lidah sebelum berbicara. Citra terus berceloteh, memamerkan kekuatannya mengendalikan suami di rumah. Rafika bergeming di kursinya, memandang dengan penuh pengertian. Begitu terus sampai pertemuan itu berakhir.
Ketika tiba kesempatan Citra berkisah dua pekan dari pertemuan itu, suasana jauh menjadi lebih hening. Ia ternyata sama saja dengan kalian. Ia mengaku mengendalikan penuh suaminya, tapi toh ketika suaminya meminta jatah, ia rela-rela saja dikangkangi dan kembali menjadi bucin.
“Saya kira, kalau saya hamil lagi, ia tidak akan menikah lagi.” Citra lanjut bercerita, ia dijodohkan dengan suaminya, seorang laki-laki mapan siap menikah. Citra tak sempat memikirkan rumor tentang pelaut yang suka menebar benih di mana-mana. Ada keriput di ujung mata yang sudah mengirimkan ancaman. Mereka dipestakan meriah, mengundang artis ibu kota dan menyewa ustaz ternama untuk memberi ceramah pernikahan.
Tak ada yang aneh di awal pernikahan mereka. Citra merasa dialah perempuan paling beruntung di muka bumi. Suaminya berwajah masyaallah, agamanya masyaallah, hartanya pun masyaallah. Setelah Citra melahirkan anak kembar lucu pada tahun kedua pernikahan, ia merasakan suaminya bertambah masyaallah. Suaminya bahkan rela cuti enam bulan dari kantor hanya untuk menemani Citra menjalani kehidupan baru sebagai ibu. Citra tak pernah menyangka, cuti itu dilakukan suaminya juga untuk perempuan hamil lain di kampung halaman lelaki itu. Suaminya bersimpuh meminta maaf dan mengaku khilaf, berjanji akan menjadi setia dan menceraikan perempuan itu. Namun, Citra terkecoh harapannya sendiri. Tak lama, terungkap ada perempuan ketiga yang rajin menunggui suaminya di negara tetangga, tempat perusahaan suaminya terikat kontrak batubara.
Rafika lagi-lagi dengan bijak merangkul, dan siapa pun yang ada di sana meyakini ada mantra kekuatan yang mengalir dari kedua lengannya yang kurus. Siapa pun yang pulang dari sana akan menjadi sosok baru.
Namun, tetap saja, ketika giliranmu bercerita dua minggu setelah Citra berkisah, kau menjadi bimbang. Kau telah lama bermasa bodoh dengan masalah rumah tanggamu. Tidak, kau bukan tidak percaya mereka. Kau barangkali hanya belum siap. Bagimu, kekuatan yang kau dapatkan dari pertemuan demi pertemuan sudah cukup membuatmu bertahan sementara waktu. Kau selalu teringat kata-kata almarhum ibumu. Jangan sampai masalah rumah tangga keluar dari kelambumu, yang waktu itu kau imbuhi dengan “Sudah tidak ada lagi yang memakai kelambu, Mak.”
Kau memberanikan diri menyembunyikan kegugupan dan meminta waktu di lain hari.
Rafika menatapmu heran. Baru kali ini ada yang menolak bercerita ketika giliran tiba. Namun, suara Ela yang cempreng tiba-tiba mengisi kekosongan yang sempat canggung itu.
“Saya saja yang bercerita kalau Fasi belum siap.”
Ela juga sempat menjanda. Tapi kini ia telah menikah lagi. Masalahnya bukan lagi rahim yang menolak dibuahi karena telah hadir seorang bayi mungil yang ia titipkan setiap hadir di pertemuan itu. “Hidup itu lucu,” katanya lagi, “kita benar-benar tidak bisa memiliki semuanya. Dulu saya punya suami kaya tapi tak ada anak. Kini, saya punya anak tapi punya suami miskin.” Ia dengan enteng berkisah. Mungkin karena perihal kemandulan yang jadi nyanyian warga di kampungnya kini tak lagi terdengar. Dari perjumpaanmu beberapa kali dengan perempuan berdarah Bugis itu, kau menyukai perangainya yang riang. Kehadirannya selalu bisa mencairkan suasana, celetukan-celetukannya sopan seolah-olah sudah ia latihkan ribuan kali.
Kau mengangguk tanpa ada yang memerhatikan. Perempuan jarang mendapatkan apa yang ia inginkan, itu yang kau yakini sejak mula. Seperti kau yang ingin sekali meninggalkan suamimu, tapi masih ragu siapa yang akan memberimu makan dan anak-anakmu nanti. Kau lelah diperlakukan bagai kanebo, tapi kau belum siap keluar dari rumah mewah yang menjadi mahar perkawinanmu. Mana yang akan kau pilih, kebahagiaan untuk anak-anakmu atau rumah mewah untuk status sosialmu?
Kau mengangguk tanpa ada yang memperhatikan. Perempuan jarang mendapatkan apa yang ia inginkan. Kau belum berhasil mengusir penyesalanmu karena resign dari kantor dan memilih mengikuti suamimu ke kampung halamannya di ujung Selatan Indonesia. Kau pasrah diperlakukan bagai itik buruk rupa oleh keluarga suamimu karena kau tak berani pulang. Pulang berarti menjilat ludahmu sendiri. Kau bukan lagi wanita karier tapi ibu rumah tangga yang bergantung penuh pada belas kasih suami.
Sesungguhnya, kau tak pernah yakin mana yang terbaik. Dulu, ketika kau bekerja sampai malam dan suamimu yang menjaga anak-anakmu, kau tetap menjadi pihak yang dipersalahkan, kau dilabeli perempuan ambisius yang gila kerja. Sementara itu, suamimu tampil sebagai lelaki sabar nan penyayang anak-anak. Kini, ketika kau yang tinggal di rumah, kau dicap sebagai istri tak pintar bersyukur jika mengeluh sedikit saja.
Setelah puluhan kali hadir, kau pun mulai paham. Semua kisah itu memang hanya butuh telinga. Suami Citra telah menikah untuk kali kedelapan dan perempuan itu berhenti hamil. Siti mulai pasang alat kontrasepsi, lupa pada peringatannya untuk perempuan lain soal bagaimana kontrasepsi menanamkan sel-sel kanker di tubuh penggunanya. Siti tidak mau lagi terus hamil dan kerepotan sendiri mengurus kedua anaknya sementara suaminya tak mau pusing untuk mencari pekerjaan. Perubahan yang jelas kau lihat, perempuan-perempuan itu kini bisa tertawa dengan lepas.
Dalam hidup, untuk bisa tertawa dengan lepas, ada beberapa hal yang harus dikorbankan. Kau ingat Gigi kan? Itu kata-kata Rafika saat kalian hanya tinggal berdua sebubar satu pertemuan. Ransel kulit buaya berwarna hitam seketika terbayang.
Kau tak pernah tahu apakah perempuan itu memenangkan gugatannya. Orang tua Gigi meninggal dalam kecelakaan pesawat. Perasaan tak nyaman diam-diam menyelinap.
Setelah jeda yang panjang, ia berkata lagi, “Kita mungkin pernah direpotkan oleh orang tua masing-masing, tapi tak ada yang mengalahkan ketulusan cinta mereka.” Rafika berkata—seolah mampu membaca hatimu—sambil memandangi kendaraan yang tak henti melintas di depan mal tempat pertemuan. Perasaanmu semakin tak nyaman. Bayangan ibumu meraung ketika kau memilih berhenti dari pekerjaan dan mengikuti suamimu kembali hadir di pelupuk mata. Semua kakakmu mencela keputusanmu, mengecap kau kufur nikmat karena melepaskan status pegawai negeri sipil.
Perasaan tak nyaman itu semakin menjadi. Teringat telpon kakakmu sebelum Rafika mendatangimu di meja, yang mengabarkan kesehatan ibumu terus memburuk. Kekuatan yang baru saja kau dapatkan dari pertemuan tadi, lenyap dan membuat lututmu lunglai.
Keyakinanmu goyah. Jangan-jangan kau hanya perlu mendengarkan duka perempuan lain, agar kau lebih pintar bersyukur?
Namun, setiap dua kali dalam sebulan, kau terus datang. Kau masih belum tahu apa yang akan kau lakukan dengan pernikahanmu, juga suamimu, apalagi keluarganya. Perilakunya bertambah manis di mata tetangga kompleks seiring dengan mulutnya bertambah kasar di telingamu. Kau sudah tak peduli pada alasanmu selalu datang, terus berkomitmen pada apa yang entah namanya ini: perkumpulan atau hanya semacam ikatan tak kasat mata yang dijalin oleh satu perasaan yang sama; butuh didengarkan, tanpa penghakiman dan saran-saran tak perlu.
*****
Editor: Moch Aldy MA