Penulis, Editor, dan Pedagang Buku. Punya akun Instagram namanya @ahm_soleh.

Indonesia Emas 2045, Pendidikan, dan Literasi yang Terabaikan

Ahmad Soleh

4 min read

Visi Indonesia Emas 2045 sering diangkat dalam panggung-panggung politik menjelang Pilpres 2024. Bagi saya ini menggelikan. Apalagi ketika ada politisi yang mengaku ingin membangun generasi emas hanya dengan bagi-bagi susu dan nasi kotak gratis. Sungguh cara berpikir yang instan dan dangkal, minim perenungan. Sesat pikir yang demikian tidak mencerminkan persoalan fundamental bagi pembangunan generasi masa depan.

Bagaimana mungkin isu literasi dan pendidikan yang justru amat penting malah dikesampingkan? Saya rasa, upaya semacam itu hanyalah akal-akalan. Sekadar tambal lubang, sambil menggali lubang lain. Tidak menjadi solusi apalagi menyelesaikan persoalan. Problem bangsa kita memang begitu kompleks, termasuk bagaimana membangun generasi masa depan yang cemerlang. Ini masih menjadi misteri. Banyak yang sudah merasakan keresahan ini. Namun, lagi-lagi para politisi terus memunculkan beragam anomali.

Baca juga:

Bukan karena sentimen atau kebencian, saya melihat problem di atas secara objektif sebagai fenomena akal-akalan, di mana politisi dengan gampangnya membuat program hanya dengan tujuan promosi, bukan berdasarkan pada fakta dan riset ilmiah.

Contohnya soal bagi-bagi susu. Jika kita melihat riset dan pendapat para ahli gizi, justru yang penting untuk diberikan kepada anak-anak usia sekolah adalah protein hewani, bukan susu sapi, apalagi susu kotak yang banyak beredar di pasaran. Susu hanyalah tambahan yang diberikan kepada anak dalam kondisi tertentu. Sementara protein hewani seperti daging, ikan, dan telur itu sangat penting untuk pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak anak.

Saya kira, program semacam itu mungkin hanya sebagai iming-iming atau gimmick belaka demi meraih atensi politik dari kalangan masyarakat tertentu, sebab bila mau sepenuh hati membangun generasi masa depan bangsa yang baik, seharusnya mereka mampu melakukan riset atau setidaknya menyimak riset-riset yang sudah dilakukan oleh para ahli. Ya, inilah kelemahan kita. Ini juga menjadi gambaran yang menggelikan sekaligus bisa menjadi mengerikan. Apakah ini seperti yang digambarkan Tom Nichols sebagai era matinya kepakaran (the death of expertise)? Atau memang hanya bualan (bullshit) yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia seperti yang diceritakan Tom Phillips dalam bukunya, Truth? Lalu, kita harus bagaimana?

Pendidikan yang Membebaskan

Pertama-tama, kita harus memiliki kesadaran penuh untuk menghentikan segala macam pendangkalan itu. Jika kita kembali jauh ke belakang, pendidikan di Indonesia sebetulnya memiliki semangat pembebasan. Hal inilah yang tergambar dari kesaksian sejarah, tokoh bangsa kita seperti Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, dan RA Kartini menjadikan pendidikan sebagai ruang yang membebaskan masyarakat dari belenggu penjajahan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya.

Pendidikan itu sejatinya membebaskan, sementara politisasi di dunia pendidikan justru membuat kita melihat yang sebaliknya. Seperti yang dikatakan Galih Nugraha dalam buku Pendidikan yang Menjajah (2021), politisasi pendidikan akan membuat pendidikan menjadi penjara yang membelenggu, bahkan menjajah. Padahal, seperti kata Tan Malaka, pendidikan itu harus membebaskan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan, dan ketidaktahuan, serta menjadikan hidup lebih berguna bagi masyarakat.

Pendidikan adalah kunci memajukan generasi masa depan bangsa. Tanpa pendidikan yang tersistem dan berjalan dengan baik, obrolan soal Indonesia Emas 2045 hanyalah omong kosong. Di sini kita memang mengharapkan adanya pendidikan berkualitas bagi anak-anak kita. Namun di sisi lain, kenyataan pahit ini begitu nyata terasa. Pendidikan kita terjebak dalam alur birokrasi yang rumit, tetapi di sisi lain kita mendapati pencapaian-pencapaian yang dangkal. Pendidikan sebagai komoditas pun tak terbantahkan lagi.

Keresahan ini pula diungkapkan Whitehead, seperti dikutip Supraja, doktor ilmu sosiologi dari UGM, dalam buku Mengeja Pedagogi di Indonesia. Ia melihat proses pendidikan dengan daya nalar yang dangkal dapat menjadi sesuatu yang merusak. Pendidikan yang menelurkan ide-ide yang lesu dan lembek bukan hanya tak bermanfaat, lebih gawat lagi, pendidikan jenis ini akan menghasilkan corruptio optimi pessima atau kerusakan yang amat buruk.

Apa yang diungkapkan Supraja lewat risetnya ini sangat menarik karena menghadirkan gambaran dari realitas sosial tentang bagaimana pendidikan di Indonesia terjebak dalam birokratisasi dan komersialisasi, sehingga proses pendidikan menjadi dangkal dan tak bermakna, bahkan berkembang pemahaman bahwa menyekolahkan anak sama dengan investasi yang dikalkulasikan dengan materi, jabatan, dan pekerjaan.

Semangat liberasi dalam pendidikan kita perlahan pun terlupakan. Banyak lembaga pendidikan berlomba memasang tarif dan menyediakan fasilitas super lengkap. Bahkan, ini miris bagi saya, ada sekolah-sekolah yang memiliki branding untuk kelas-kelas sosial masyarakat tertentu. Istilah sekolah elite, sekolah favorit, dan sebagainya tumbuh subur di masyarakat kita. Ketimpangan dan tidak terciptanya pemerataan inilah yang seharusnya dipikirkan oleh pemangku kebijakan.

Maka, ada dua hal fundamental yang mesti kita miliki untuk mengembalikan ruh pendidikan kita agar lebih maju. Pertama, harus ada political will (kehendak politik) yang mengatur dan menghadirkan kebijakan yang pro terhadap kemajuan pendidikan. Hal ini mungkin akan menjadi bias ketika kita hanya bicara kemajuan dalam hal-hal yang bersifat materialistis, seperti perangkat teknologi, gedung, dan sebagainya. Meskipun hal itu juga penting sebagai penunjang, kita mesti memahami bahwa kemajuan dalam pendidikan itu juga mencakup kemajuan berpikir, mulai dari pembuat kebijakannya, kemudian operatornya di lapangan, fasilitatornya, orang tua, sampai pada peserta didiknya.

Kedua, kesadaran akan pentingnya menumbuhkan daya literasi pada anak-anak itu harus sudah dimulai. Jalan pendidikan tidak hanya kita dapatkan dari mendengarkan pembelajaran di sekolah. Anak-anak kita, generasi muda kita, butuh kemampuan belajar mandiri dan hal ini sangat mustahil jika kita tidak membekali mereka dengan kesadaran literasi. Namun, masalahnya justru literasilah yang kerap terabaikan.

Fondasi yang Terabaikan

Kemampuan literasi anak-anak Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara lain. Peringkat PISA Indonesia tidak pernah mencapai hasil yang membanggakan. Untuk soal literasi, kita selalu tertinggal. Apakah benar pendapat umum tentang orang Indonesia lebih dekat dengan tradisi lisan dibanding tulisan?

Menurut saya, anggapan itu hanya pembenaran yang justru menyesatkan. Jika kita melihat founding father bangsa ini saja merupakan para literat yang sangat gila baca buku. Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Buya Hamka, misalnya, mereka masih hidup hingga hari ini bukan saja karena perannya dalam perjalanan sejarah bangsa, melainkan juga karena ide-ide dan gagasannya terus mengalir lewat buku.

Baca juga:

Beberapa waktu yang lalu, Kemendikbud mengumumkan Indonesia mengalami peningkatan hingga 6 peringkat dalam survei PISA tahun 2022. Namun, nyatanya ada dua fakta menarik soal ini. Pertama, negara-negara lain skornya menurun sehingga Indonesia secara peringkat naik. Kedua, skor Indonesia sebenarnya mengalami penurunan, meskipun hal ini dibanggakan karena penurunannya tidak terlalu buruk dibandingkan survei yang sama pada 2018. Kenyataan ini membuat kita geli karena Mendikbud Nadiem Makarim berada dalam euforia karena pencapaian yang sebetulnya tidak terlalu menggembirakan itu. Pertanyaannya kemudian, kenapa kita begitu lemah dalam soal literasi? Tentu ada sebab musababnya.

Dalam buku Literasi: Episentrum Kemajuan Kebudayaan dan Peradaban, Djoko Saryono mengungkapkan bahwa tanpa kemampuan membaca kritis-kreatif, tidak mungkin kemampuan berpikir kritis-kreatif terbentuk. Begitu pula tanpa kemampuan berpikir kritis-kreatif, mustahil terbentuk literasi dalam diri manusia, masyarakatdan suatu bangsa.

Membaca adalah pintu untuk mengetahui segala pengetahuan sekaligus ketidaktahuan diri. Daya membaca yang lemah membuat kita juga lemah dalam berpikir. Masalahnya, pembiasaan membaca belum betul-betul menjadi tradisi di masyarakat kita. Di sisi lain, peran-peran pendukung seperti pemerintah melalui kebijakan politiknya tidak begitu menguntungkan dalam persoalan literasi ini. Harga buku mahal, pembajakan buku diabaikan, akses perpustakaan terbatas, bahkan mirisnya, masih ada aparat yang merongrong dunia perbukuan dengan razia dan pemusnahan buku.

Dengan kenyataan dan persoalan sekompleks itu, apa yang bisa dilakukan? Penguatan literasi sejatinya merupakan tanggung jawab bersama. Semua elemen bangsa harus memiliki kesadaran mengenai hal ini. Orang tua bertanggung jawab untuk mengenalkan anaknya terhadap buku-buku cerita. Akses buku cerita anak sangat penting untuk mengembangkan kepribadian bahkan kemampuan anak dalam berbicara, menyimak, dan berimajinasi.

Di sisi lain, sekolah wajib menghadirkan iklim pendidikan yang dialektis, yang memberi ruang kepada anak untuk berani mengungkapkan gagasannya, baik secara verbal maupun tulisan. Di sisi lain, fase sekolah juga menjadi ruang bagi anak untuk mengenal lebih banyak bahan bacaan. Maka, perpustakaan sekolah harus mendukung tradisi literasi, baik dari segi fasilitas maupun program dan kegiatannya.

Kemudian, pemangku kebijakan juga harus melek terhadap kondisi ini. Pemerintah mesti memiliki komitmen untuk memajukan literasi, seandainya memang serius soal isu menyongsong Indonesia Emas 2045. Jangan sampai bonus demografi yang kita elu-elukan malah bertolak belakang menjadi beban karena salah dalam kebijakan dan programnya. Kita memang memiliki generasi muda yang banyak secara kuantitas, tetapi bagaimana dari segi kualitas?

Tentu, segala hal yang telah saya jabarkan di atas barangkali menjadi pemantik keresahan kita bersama, yang saya harap sekaligus memantik kesadaran. Kita tak bisa berpangku tangan hanya pada satu elemen saja. Ini merupakan pekerjaan rumah kita bersama dan kita semua bertanggung jawab untuk membenahinya. Tentu dengan kapasitas dan proporsinya masing-masing. Semoga saja kita akan menemui titik terang.

 

Editor: Prihandini N

Ahmad Soleh
Ahmad Soleh Penulis, Editor, dan Pedagang Buku. Punya akun Instagram namanya @ahm_soleh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email