Bagaimana penjajahan terjadi melalui pendidikan? Bagaimana pendidikan yang menjajah? Apa yang dijajah oleh pendidikan? Bagaimana bentuk pendidikan yang tidak menjajah?
Empat pertanyaan itulah yang coba dijawab Galih lewat buku Pendidikan yang Menjajah (2021). Buku ini terdiri atas sembilan esai yang sebagian besar isinya merupakan pengalaman pribadi Galih saat bersinggungan dengan pendidikan. Pengalaman-pengalaman itu lantas dibedah dan dielaborasi menggunakan berbagai sudut pandang pengetahuan, dari sejarah sampai ekonomi politik.
Lewat pengantarnya, Galih menulis kalau penerbitan buku Pendidikan yang Menjajah ditujukan sebagai kritik terhadap wacana pendidikan yang kerap mengagungkan konsep pendidikan ideal. Dalam hal ini, Galih menawarkan pengalaman membaca yang sepenuhnya berbeda. Galih ibarat pemandu yang membantu pembaca melihat dari dekat bagaimana praktik pendidikan di kalangan akar rumput. Ironis karena di balik pencapaian yang diraih pendidikan nasional, masih menyisakan banyak masalah yang mengindikasikan pendidikan belum beranjak dari tempatnya. Bahkan masih tetap pada karakter antagonisnya yang “menjajah”.
Pendidikan yang Menjajah
Memoar pertama berjudul Dari Kakak, Sir, Pak, Jon, Lalalih tak hanya berisi pengalaman penuh emosional saat Galih berhadapan dengan siswa berkebutuhan khusus. Lebih dari itu, pengalaman ini juga memberikan gambaran kepada Galih soal apa dan bagaimana pendidikan yang seharusnya. Pendidikan versi Galih yaitu pendidikan yang mampu menerima keberagaman dan tidak diskriminatif terhadap hak para subjek yang terlibat di dalamnya. Subjek dalam hal ini yaitu murid, guru, dan orang tua.
Penegasan ini membuat ide “pendidikan yang menjajah” tidak terikat pada konteks zaman. Baik di era penjajahan maupun kemerdekaan, nyaris dapat ditemukan rupa pendidikan yang menjajah. Galih merangkumnya secara komprehensif lewat esai kedua berjudul Pendidikan yang Menjajah. Adapun yang disoroti adalah aspek politis dari kebijakan pendidikan era kolonial, orde baru, sampai reformasi.
Di masa kolonial, tepatnya di era kepemimpinan Herman Wilhelm Daendels, pendidikan difungsikan sebagai sarana perekrutan tenaga kerja guna menjalankan poros ekonomi yang mengacu pada kerja rodi. Kalaupun ada alternatif seperti yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara lewat Taman Siswa, pendidikan kala itu dijadikan sebagai alat penyebaran nilai feodalisme, kejawen, konservatif, dan anti terhadap nilai-nilai barat.
Pendidikan sebagai alat kontrol ini terus berkembang hingga Orde Baru. Meski relatif terbuka terhadap nilai-nilai barat, penguasa Orde Baru tak mau ketinggalan dalam memanfaatkan pendidikan sebagai alat depolitisasi, de-Sukarnoisasi, dan penyebaran sentimen anti kiri.
Sedang di era reformasi, pendidikan lebih dekat dengan bisnis, salah satunya lewat pengadaan buku cetak yang justru memperlebar ketimpangan sekaligus menyuburkan praktik korupsi di lingkungan pendidikan.
Esai ketiga yang berjudul Yang Melihat Pendidikan dari Teras Rumah lebih mempersoalkan pandangan Ki Hadjar Dewantara soal keterlibatan perempuan di lapangan pendidikan.
Galih memandang pemikiran Ki Hadjar Dewantara soal keterlibatan perempuan di wilayah pendidikan masih sarat akan nilai moral yang berpotensi menjurus ke dikte soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan. Galih membangun kritiknya dengan paparan sejarah soal kiprah R.A Kartini dan Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar) yang populer pada dekade 1950-an. Dua fakta sejarah yang tidak hanya membuat pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang keterlibatan perempuan di wilayah pendidikan tidak lagi relevan.
Masih soal kesejarahan, lewat esai keempat yang berjudul (Imbas) Politik Pengetahuan dan Pendidikan Era Kolonial, Galih berfokus menyoroti operasi etis pemerintah kolonial di lapangan pendidikan. Berdasar temuan Galih, operasi etis kolonial di wilayah pengetahuan masyarakat pribumi terdiri atas dua bentuk. Pertama, menundukkan rakyat jajahan lewat penerbitan erboek (buku pelajaran) dan leesboek (buku bacaan) di tingkat sekolah dasar. Kedua, lewat penjarahan kekayaan intelektual yang berhubungan dengan identitas nasional. Kedua praktik ini cukup politis karena turut melestarikan rasa inferior rakyat jajahan di satu sisi, dan sebaliknya menempatkan penjajah atau Pemerintah Hindia-Belanda sebagai pihak superior.
Selain masalah yang berkenaan dengan sejarah, terdapat tiga esai yang fokus menyoroti problem aktual pendidikan. Esai Homeschooling di Tengah Pandemi sedikit banyak menyentil ketidaksiapan institusi pendidikan dalam menyiapkan skema pembelajaran yang adaptif terhadap pandemi, berikut sarana-prasarana pendukungnya. Relevansi penggunaan lagu anak yang dari segi penciptaannya sarat akan bias cara pandang orang dewasa juga turut dipersoalkan lewat esai Masih Relevankah Lagu Anak?
Sementara itu, memoar Toxic Goverment, Toxic Teacher, dan Toxic Parents mengisahkan kehidupan Udin dan Teteh yang tersingkir dari kehidupan, kemudian memilih jalanan sebagai tempat untuk pulang. Perihal Udin ini, Galih menulis, “sebagai korban orang tua, dibedakan oleh teman dan guru, diludahi hidupnya oleh pemerintah yang menjadikan mereka anak tiri di berbagai bentuk kehidupan.” (hlm 96)
Dua tulisan terakhir lebih banyak menyinggung konsep yang berhubungan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan. Reportase berjudul Apakah Sekolah Inklusi, Ekslusi? mengajak pembaca melihat dari dekat bagaimana program layanan pendidikan yang ada di sekolah alternatif seperti Sanggar Dasar Tumbuh, Sekolah Anak Alam, dan Jogja Green School. Dalam hal ini, Galih juga menilai sekaligus memetakan risiko yang mesti dihadapi oleh sekolah alternatif. Sedangkan pada tulisan Pendidikan yang Adil di Wilayah Rural Galih fokus mengkritisi skema pendidikan nasional yang cenderung terpusat dan terkesan ‘dipaksakan’ untuk diterima masyarakat pinggiran. Galih menawarkan metode zonasi guru sebagai jalan keluar bagi pemerataan pendidikan yang adil di pelosok.
Pendidikan yang Menjajah karya Galih Nugraha SU punya dimensi pembahasan yang luas dan menyasar sebagian besar aspek pendidikan di Indonesia. Satu bagian yang menurut saya patut mendapat sorotan adalah ketika Galih membahas peran agensi yang bekerja di balik politik pendidikan kontemporer. Di beberapa bagian, Galih menyebutnya sebagai kapitalisme. Istilah yang muncul ketika Galih membahas bisnis pengadaan buku cetak dan iuran SPP oleh sekolah swasta. Dengan demikian kapitalisme pendidikan versi Galih terjadi ketika pendidikan menjadi komoditas atau barang dagangan.
Pandangan tersebut cenderung terbatas dalam menjelaskan kapitalisme dan kaitannya dengan praktik pendidikan. Penggunaan istilah kapitalisme namun membatasi penjelasannya hanya pada komodifikasi pendidikan, membuat Galih seakan mereduksi pengertian kapitalisme sebagai modus produksi masyarakat. Bagi saya ini merupakan kelemahan mendasar dari buku Pendidikan yang Menjajah.
Ada kesan menyederhanakan persoalan. Galih menganggap berbagai masalah di tubuh pendidikan bertolak dari kebijakan yang keliru, sehingga alternatif yang ditawarkan sebagian besar berorientasi pada perbaikan kebijakan pendidikan oleh pemerintah. Opsi tersebut diajukan sembari mengabaikan persoalan bahwa dalam konteks masyarakat kapitalis, perumusan kebijakan pendidikan oleh pemerintah lebih diarahkan untuk melayani kepentingan pasar daripada tujuan pendidikan itu sendiri. Para pakar pendidikan tak bisa berbuat banyak karena selalu ada kepentingan kapitalisme yang membayangi proses kebijakan terkait pendidikan.
Namun, terlepas dari kelemahannya, buku ini tetap punya kelebihan tersendiri. Dari otentisitas pengalaman, kekayaan literatur, sampai gaya penulisan yang mengalir dan mudah dipahami. Kelebihan yang terbilang cukup untuk memberi gambaran konkret mengenai realitas penyelenggaraan pendidikan di lapangan, berikut berbagai masalah yang tengah melingkupinya. Dua aspek yang menurut saya penting bagi usaha untuk mengubah wajah pendidikan ke arah yang lebih adil dan demokratis.
***
Editor: Ghufroni An’ars