Ketika ada yang bertanya kabar, sampai saat ini jawaban saya tetap sama: kabar saya masih jauh lebih baik dibanding sepak bola Indonesia.
Sudah 32 tahun Indonesia tak pernah meraih gelar juara di lapangan hijau. Tim nasional Indonesia terakhir kali juara pada 1991 ketika Pasukan Garuda meraih medali emas SEA Games 1991 di Manila, Filipina. Kala itu, yang bermain di SEA Games adalah pemain senior—kalau sekarang, kan, dibatasi hanya untuk pemain berusia di bawah 23 tahun.
Sudah tak berprestasi, sepak bola Indonesia dari tahun ke tahun malah begitu akrab dengan kontroversi. Selalu saja ada hal buruk yang terjadi. Pengaturan pertandinganlah, pemukulan wasitlah, perkelahian antar pemain, tawuran antar suporter, sampai keputusan-keputusan konyol federasi sepak bolanya. Kompetisi sepak bola Indonesia seakan kehilangan esensi.
Sudah begitu, federasi selalu saja lebih sibuk dengan urusan organisasi dibanding pembinaan. Kesibukan itu pun tak pernah menghasilkan apa-apa. Malah, sepak bola Indonesia semakin jauh tertinggal dari negara-negara lain. Pendek kata, benar-benar kusut sepak bola Indonesia ini.
Karena itulah, setiap ada yang tanya kabar, saya selalu menjawab kabar saya jauh lebih baik dibanding sepak bola Indonesia. Sulit kiranya menemukan orang Indonesia yang tidak kesal dengan sepak bola negeri ini. Saya tak terkecuali. Kesal, marah, kecewa, sedih, dan sakit hati—semua bercampur jadi satu tiap melihat kondisi sepak bola Indonesia. Mau meninggalkan sepak bola rasanya sangat berat, sangat sulit. Sebab, saya sangat mencintainya.
Baca juga:
Di tengah kemuraman itu, saya diselamatkan oleh sepak bola yang dimainkan anak-anak. Segala rasa kesal dan sakit hati terhadap sepak bola Indonesia menguap ketika saya mendatangi lapangan-lapangan yang semarak dengan anak-anak bermain bola. Energi dan keceriaan anak-anak di lapangan menular ke saya.
Saya merasa berutang budi kepada anak-anak. Dari rasa berutang budi itu, tiga tahun lalu, terbersit ide membuat kompetisi sepak bola anak-anak. Liga sepak bola anak-anak.
Ide itu bahkan sudah beberapa kali saya diskusikan di Asprov PSSI Jawa Timur. Cuma, belum sempat dieksekusi.
Sekarang, mimpi itu saya bagi lewat tulisan ini. Kalau dirasa pas dan cocok, Anda boleh mengaplikasikannya. Kalau ada yang dirasa kurang, monggo ditambahi, monggo dikoreksi.
Liga Anak-Anak
Ide saya seperti ini:
Liga anak-anak digelar di tingkat kabupaten/kota.
Waktu pelaksanaan di tingkat asosiasi kabupaten/kota (askab/askot) dihelat pada rentang bulan Maret sampai Mei untuk putaran pertama. Bulan Juni jeda kompetisi untuk memberi waktu dan ruang bagi anak-anak berkonsentrasi menjalani ujian semester di sekolah. Nah, bulan Juli sampai September adalah waktu untuk menjalankan putaran kedua.
Liganya menggunakan sistem kompetisi penuh. Setiap kesebelasan akan bertemu dua kali: kandang dan tandang. Penyelenggaraan pertandingan kandang dan tandang tak harus sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, pertandingan bisa dipusatkan di dua sampai empat lapangan saja.
Dengan sistem kompetisi penuh, setiap tim dijadwalkan bermain minimal 20 kali. Kalau ada 11 kesebelasan yang berkompetisi, maka setiap tim akan bermain tepat 20 kali. Bagaimana kalau jumlah peserta kompetisinya lebih dari itu? Askot/Askab bisa merancang agar pelaksanaan liga dibagi menjadi dua grup kalau, katakanlah, pesertanya 24 tim. Jadi, setiap kesebelasan akan memainkan pertandingan sesuai batas minimum, yakni 20 kali.
Dengan asumsi setiap tim bermain minimal 20 kali, setiap pemain yang didaftarkan diharapkan dapat bermain minimal 6 kali selama kompetisi berjalan. Mengingat ini kompetisi usia muda, semua pemain harus dapat kesempatan bermain. Karena itu, pergantian pemainnya bebas alias tidak dibatasi pergantian hanya tiga atau lima pemain. Untuk setiap pertandingan, yang masuk daftar susunan pemain (DSP) maksimal 20 pemain.
Pertandingan digelar setiap akhir pekan; hari Sabtu dan Minggu. Dengan begitu, setiap anak sudah punya tujuan pasti akan ke mana saat akhir pekan: lapangan sepak bola. Lapangan dan sepak bola bukan saja bisa menjadi arena belajar, tapi juga momen rekreasi.
Liga anak-anak diperuntukkan bagi kelompok umur (KU) 13 dan 15 tahun. Untuk liga KU 13 tahun, waktu pertandingan 2×30 menit. Dengan waktu dan jumlah pertandingan sedemikian rupa, setiap tim minimal bermain 1.200 menit—hampir separuh waktu bertanding kesebelasan yang bermain di liga profesional dengan peserta kompetisi 18 klub. Dalam liga ini, mereka memainkan laga 11 vs 11 pemain, menggunakan lapangan penuh.
Sama halnya dengan kompetisi KU 13 tahun, liga untuk KU 15 tahun juga memainkan laga 11 vs 11 pemain menggunakan lapangan penuh. Hanya, waktu pertandingannya yang berbeda. Untuk kompetisi KU 15 tahun, waktu pertandingannya 2×35 menit. Dengan begitu, setiap tim minimal bermain 1.400 menit.
Sebagai bentuk apresiasi, juara di masing-masing kabupaten/kota bakal dipertemukan di tingkat provinsi. Pertandingannya digelar di bulan November. Ada jeda satu bulan dari jadwal kompetisi di tingkat kabupaten/kota.
Jika ini terlaksana, saya membayangkan betapa semaraknya kota-kota di Indonesia setiap akhir pekan. Saya juga membayangkan betapa negeri ini bisa memberi ruang bagi ribuan anak-anak untuk belajar sepak bola dengan baik. Kemudian, akan lahir ratusan, bahkan ribuan perangkat pertandingan yang matang.
O, ya, kenapa idenya hanya kompetisi untuk kelompok umur 13 dan 15 tahun? Sebab, saya membayangkan ada jenjang kompetisi di atas usia 15 tahun yang dihelat bersamaan dengan Liga 1 dan 2. Dengan kata lain, perhelatan Liga 1 dan 2 juga harus dibarengi dengan kompetisi usia muda. Misal, kontestan Liga 1 harus membentuk tim U-20 dan U-18 untuk berkompetisi di kelompok umur tersebut. Sementara itu, kontestan Liga 2 wajib membentuk tim U-16.
Baca juga:
Mengubah Sudut Pandang
Mengiringi kompetisi usia dini, perlu ada kampanye bahwa kompetisi usia dini bukanlah untuk mengejar gelar juara. Kompetisi usia dini adalah sarana bagi anak-anak untuk mengaplikasikan pelajaran yang didapat ketika latihan. Kompetisi usia dini merupakan arena untuk mengeksplorasi kemampuan anak-anak; tempat melihat kelebihan dan kekurangan mereka. Sarana mematangkan kontrol, passing, dribbling, dan keeping bolanya anak-anak.
Kompetisi usia dini bukan tempat untuk berlomba menjadi juara. Juara itu hanya bonus, bukan tujuan utama. Sebab, anak-anak harus dibiarkan berkembang.
Sudah menjadi rahasia umum kalau dalam sepak bola Indonesia, anak-anak ditarget juara. Sekolah sepak bola (SSB) dan pelatih ingin selalu juara agar pamor mereka naik dan menarik banyak murid. Para orangtua pun sama, mereka ingin tim anaknya juara. Bukan saja demi kebanggaan, tapi gelar juara itu juga dijadikan pintu masuk ke sekolah negeri.
Sudut pandang asal juara itu jelas salah kaprah. Orientasi sekadar menjadi juara memunculkan fenomena pencurian umur, menginspirasi langkah menyewa pemain dari SSB lain yang dinilai memiliki kemampuan mumpuni.
Sudut pandang tersebut harus diubah. Salah satunya lewat kompetisi usia dini yang waktunya panjang, serta digelar secara kontinyu dan berjenjang.
Begitulah sepak bola Indonesia yang saya impikan.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Sepak Bola Indonesia yang Saya Impikan”