Bermain-main transdisiplin.

Historiografi Luka dan Puisi Lainnya

Amos Ursia

1 min read

I. Dongeng Burung dan Pasukan Gajah
Untuk Lestari, dalam peziarahan kita.

biarkan,
puitika terpatri pada dinding Ka’bah,
biarkan,
ia jelmaan burung sorga bagi pasukan Gajah,
biarkan,
ia mewujud jadi sujud di pelataran Ka’bah.

ia menjelma
jadi tubuh,
jadi bunyi kipas,
jadi angin di jendela.

saat-saat puitika tertahan di ambang batas:
bicara omong kosong soal cinta.

ia bisa menjelma manusia berkepala anjing.
ia bisa mewujud pepaya yang kamu kupas.

sebab apa yang pasti darinya?

II. Ora et Proelium
untuk para Ibu pada setiap Kamis.

Dalam padang gurun yang kering, ada suara berseru-seru:
“Jangan diam, lawan! Jangan diam, lawan!”

Padang gurun masih sekering puluhan tahun kemarin. Tak ada yang baru di bawah kolong langit ini.

Penindasan, darah, dan sejarah masih berserakan.

Setiap detik,
setiap hari,
setiap minggu,
setiap bulan.

Suara yang berseru masih saja menggema dalam tandus.

Sementara Bunda Maria masih pada payung, terus berdoa dan berpegangan:

ora et proelium,
ora et proelium,
ora et proelium.

Sayup terdengar doa Ibu, memohon hujan:

“Ya Tuhan, kapan datang hujan? Kapan Engkau dan aku bertemu dalam keadilan?”

III. Sepetik Bunga Milik Ayah
Untuk Sarah, adik, dan kawan sepeziarahan.

Benih yang disemai pada tanah gembur jiwamu adalah sisa nyali masa mudanya:

Ya, tanpa kelaparan, tanpa penindasan! 

Yang ditumbuhkan pada pot kecil otakmu adalah cita-cita bodoh masa tuanya:

sebuah masyarakat tanpa kekerasan, tanpa penindasan, pensiunan itu bisa menanam kangkung di pekarangan tanpa gedoran debt collector. 

Kini tak ada apa-apa lagi yang ia punya:

rumah, tabungan hari tua, mobil, motor, atau sepotong Dunkin!

Yang kita miliki hanya bibit bunga, yang ia jaga dari waktu genting ketika Timor Leste memilih merdeka, yang ia pelihara pucuk kecilnya saat kawan-kawannya hilang ditelan ombak besar menjelang Mei 1998.

Kemarin di Cakung, Fatmawati, Sukabumi, dan Senayan, kamu telah berjanji tetap menjadi sepetik bunga itu:

tak layu,
mati,
busuk,
bertahan
menggugat zaman
yang makin edan!

IV. Historiografi Luka
—Untuk Nenek di Bukit Duri, Plantungan, atau entah di jurang atau laut.

dan sejarah tinggal pada wajah-wajah yang kita kenali,
dan sejarah mampir pada wajah-wajah yang asing,
dan sejarah hilang pada wajah-wajah jendral.

dan sejarah hidup pada wajah ia yang kita sayangi,
dan sejarah tak pernah mau singgah pada buku,
dan sejarah lari dari kejaran upacara bendera.

dan sejarah ingin dibangkitkan seni,
dan sejarah ingin diundang oleh sejarawan,
dan sejarah ingin diperkosa para iblis berkedok.

dan sejarah berputar pada arus sungai,
dan sejarah disantap rakus oleh kelas kakap,
dan sejarah dihakimi warga karena berpura-pura menubuh dalam topeng kerdil.

dan sejarah,
dan sejarah,
dan dunia yang terjungkat-jungkit,
dan manusia yang brutal,
dan hal-hal yang tetap tak bisa dipahami.

V. Persetujuan dengan Ibuk dan Mama

puluhan tahun lalu,
pada perang, Chairil berkata:

kau dan aku satu zat satu urat, di zatmu di zatku, di uratmu di uratku, kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh.

pada kini dan nanti,
kami berkata:

kau dan aku satu zat satu urat, kapal-kapal kami mungkin bertualang entah kemana, tapi kita akan tetap satu zat satu urat selamanya.

cintamu pada-Nya adalah ihwal paling teologis sepanjang aku mengintip Harvey Cox dalam tumpukan buku sela-sela perpustakaan para teolog:

Ia kekasih sejatimu selalu memeluk tiap malam.

bahkan Ia tak perlu kapal-Nya agar berdua bersamamu melayar ke negeri terang, pada sebuah istana di balik bukit yang konon itu:

sebab, engkau setiap hari adalah kecintaan-Nya!

pada kini dan nanti,
kami berkata:

kita akan tetap satu zat satu urat selamanya.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Amos Ursia
Amos Ursia Bermain-main transdisiplin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email