Itaru Nakamura, seorang kepala kepolisian nasional di Jepang mengundurkan diri setelah mantan Perdana Menteri Shinzo Abe tewas terbunuh. Lembaga kepolisian nasional Jepang merasa bertanggung jawab atas kejadian itu. Kepolisian Jepang mengaku lemah terhadap penanganan Shinzo Abe yang tengah melakukan kampanye. Maka mundur adalah keputusan mutlak. Saya tidak terbayang apabila sikap Itaru Nakamura ditiru oleh pejabat PSSI. 132 nyawa melayang akibat Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022. Jika berkaca pada Nakamura, sudah lebih dari cukup alasan untuk mendorong pengurus PSSI mundur dari jabatannya.
Namun, Ketua Umum PSSI, Iwan Bule hanya bergeming. Dengan congkaknya bahkan ia melempar tanggung jawab ke panitia pelaksana pertandingan Arema vs Persebaya. Dengan gagahnya, seorang Eksekutif Komite PSSI berkata, “enak saja mundur” di sebuah acara. Betul yang bersangkutan sudah memohon maaf. Tapi kalau hanya maaf, seorang anak kecil yang baru berantem saja sanggup.
Menolak Tanggung Jawab Moral
Pengurus PSSI mesti lebih dari sekadar minta maaf. Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dikomandoi Menko Polhukam Mahfud MD toh sudah menyampaikan hasil investigasinya dari kejadian di Kanjuruhan, Malang. PSSI, dari hasil investigasi TGIPF, wajib bertanggung jawab. Ada dua bahkan bentuk tanggung jawabnya.
Pertama, soal hukum. Kedua, tanggung jawab moral. Soal hukum itu biar menjadi urusan para penegak hukum. Sementara soal tanggung jawab moral, tim TGIPF merekomendasikan agar Ketua Umum PSSI Iwan Bule dan jajarannya sudi untuk mundur dari jabatannya.
Tentu pemerintah tidak bisa ikut campur. PSSI biasa memakai statuta sebagai tameng agar terhindar dari sanksi pemerintah. Kendati begitu, rekomendasi dari TGIPF sudah lebih dari cukup untuk melegitimasi tuntutan agar pengurus PSSI mundur.
Tuntutan agar Ketum PSSI dan koleganya mundur sejatinya sudah berdengung sebelum hasil TGIPF keluar. Sampai-sampai petisi pun muncul. Tapi desakan itu hanya bunyi kentut di siang hari di telinga PSSI. Tidak digubris, dan mereka masih lincah mengelak. Nah sekarang hasil TGIPF keluar dan harusnya mereka tidak bisa membantah lagi.
Baca juga:
Ada satu hal yang perlu dicatat: mundur adalah tanggung jawab moral. Dengan kata lain, jika itu masih tak terpenuhi, itu artinya PSSI memang tak bermoral. Makna lainnya adalah berarti sepak bola kita selama ini diurus oleh pengurus yang tak bermoral.
Kesimpulan itu mungkin terlalu dini. Tapi saya tidak punya kesimpulan lain jika PSSI masih ngotot tidak punya gelagat mengakui kesalahan dan legowo mundur. Padahal moralitas konon begitu melekat pada sepak bola.
Sepak Bola dan Moralitas
Sepak bola, sebagaimana olahraga lainnya adalah lahan untuk belajar moralitas. Di sana ada aturan fair play. Albert Camus bahkan terus terang mengatakan berhutang pada sepak bola terkait pemahamannya tentang moralitas. Meskipun saya tidak terlalu sepakat bahwa sepak bola mengajarkan moralitas dan kebajikan.
Betul sepak bola punya aturan-aturan yang mengarah untuk fair play. Aturan itu konon mengajarkan moralitas. Tapi saya pikir tidak selamanya begitu. Dalam praktiknya, sepak bola bahkan bisa jadi melenceng jauh dari moral. Tipu-tipu sering terjadi di sepak bola.
Thierry Henry pernah melakukan hand ball secara sembunyi-sembunyi di Piala Dunia 2010. Roy Keane pernah membunuh karier Alf-Inge Haaland dengan tekel kerasnya dan meneriaki ayah Erling Haaland itu. Ia juga tak mau lekas pergi sebelum wasit benar-benar mengeluarkan kartu merah.
Mendiang Diego Maradona pernah melahirkan gol tangan Tuhan. Pemain Timnas Brazil, Neymar adalah salah satu pemain yang kerap diving. Saat menghadapi Crystal Palace, penyerang anyar Liverpool, Darwin Nunez menanduk bek Joachim Andersen. Zinedine Zidane juga pernah menanduk Materazzi. Itu baru yang terjadi di lapangan. Di luar lapangan ada kasus-kasus yang amoral di dunia sepak bola. Mulai dari kekerasan seksual, penyiksaan hewan seperti kucing, sampai skandal pengaturan skor.
Standar moral cuma aturan di atas kertas dalam sepak bola. Praktik-praktik curang dan tidak bermoral itu juga sering terjadi. Namun, sejauh yang saya temukan tidak ada yang sampai menimbulkan korban jiwa hingga 132 nyawa. Di belahan dunia lain, kelalaian di pertandingan sepak bola yang mengakibatkan ratusan korban tewas juga terjadi.
Baca juga:
Federasi Sepak Bola Tanpa Moral
Akan tetapi, langkah berikutnya adalah pembenahan. Federasinya bersikap ksatria dengan mengakui kesalahan dan langsung bertanggung jawab. Walau beberapa ada yang membutuhkan waktu cukup lama untuk terungkap, tapi itu terjadi dulu saat corong informasi hanyalah media cetak.
Hari ini informasi begitu cepat. Laju kabar soal Tragedi Kanjuruhan berdesakan di media sosial. Siapa yang mesti bertanggung jawab mudah muncul. TGIPF terang mengungkap bahwa PSSI, federasi sepak bola Indonesia harus bertanggung jawab secara moral.
Ketua Umum PSSI, Mohammad Iriawan atau Iwan Bule dan jajarannya harus mulai angkat koper. Sudah jelas itu tuntutan moralnya. Jika masih belum sudi mundur, masih ingin mengelak sekali lagi, masih tidak mau menanggalkan jabatannya, ini menandakan bahwa PSSI punya sepak bola tanpa moral dengan variannya sendiri. Sepak bola tanpa moral yang menimbulkan ratusan nyawa terlepas dari raganya. Sepak bola tanpa moral yang membuat ratusan orang menanggung kesakitan. Sepak bola tanpa moral yang membuat tak sedikit orang menangis dan marah.
Editor: Prihandini Nur