Usai membaca Sepak “Dolar” Bola karya Amir Machmud NS, ruang kepala saya terpenuhi ingatan akan salah satu karya Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Buku yang terbagi menjadi dua jilid nan lumayan tipis namun sungguh yahud itu telah menginspirasi saya untuk terus menarik minat terhadap kajian Islam dari beragam bentuk aspeknya: tauhid, filsafat, politik, hukum, sosial dst. Karya Harun Nasution itulah yang telah mengantarkan saya pada pintu gerbang untuk memasuki dunia Islam yang lebih luas, seluas-luasnya.
Buku yang memuat 51 kolom ini juga telah menjadi pintu gerbang ke dalam dunia sepak bola yang lebih dalam, luas dan mengasyikkan. Lantas ia pun berhasil menyihir saya untuk mengulasnya dengan judul Sepak Bola Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Kolom demi kolom yang terdapat dalam buku tersebut secara keseluruhan pernah terbit di Rubrik “Free Kick” Harian Suara Merdeka dalam rentang waktu 2012-2016. Sebagaimana karya Harun Nasution, buku ini juga akan menjadi pengantar awal bagi Anda yang ingin mengkaji sepak bola lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Para penggemar sepak bola layak merayakan dan bersyukur atas hadirnya buku tersebut. Dan apabila Anda seorang pembaca dan pencinta sepak bola sekaligus, maka Anda wajib merayakannya secara lebih sebab keduanya terasa hadir bersama.
Sepak bola dan Kaum Intelek
Apa sebabnya? Kita tahu bahwa terlampau sedikit para ulama cum intelektual kita yang menekuni dunia literasi berfokus pada dunia sepak bola, media pun hanya menyajikan sepak bola dalam ruang fisikal-taktikal semata: perihal waktu pertandingan, punggawa kesebelasan, pelatih, pengadil lapangan, pelanggaran, kemenangan, dan kekalahan. Semua itu tak lebih dari sebatas daur ulang berita-berita “lama” yang tentunya akan terasa membosankan bin menjemukan di ruang kepala kita. Benarkah sepak bola hanya sesingkat waktu 90 menit saja?
Kita pun juga tahu bahwa para ulama, intelektual, hingga pejabat publik kita banyak yang “menghamba” pada sepak bola, entah secara diam-diam atau pun terang-terangan. Sebut saja, Gus Dur, Gus Mus, Gus Nadir, Pak Quraish Syihab, Bib Ja’far, Sujiwo Tejo, Mahfudz MD, Kang Maman, Agus Noor dll. Namun, seberapa persen dari karya-karya mereka yang secara fokus membahas bola? Tentu jawabannya cukuplah seram dan muram, yakni “tak ada” kecuali hanya hal-hal kecil sederhana dan tak lebih dari sebatas guyonan semata di Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube. Jika pun ada yang menuliskannya, meminjam bahasanya Zen RS, teramat sedikit dari mereka yang menulis tentang sepak bola sebagai fenomena yang “serius.”
Di antara sederet nama yang saya sebutkan mungkin hanya Gus Dur pengecualinya. Panditfootbal mencatatkan bahwa Bapak Pluralisme ini terhitung telah menulis ratusan artikel tentang sepak bola. Baik saat mengulas Piala Eropa 1988, 1992 hingga 1996. Atau saat membahas World Cup 1982, 1986, 1990, 1994 hingga 1998.
Kekaguman terhadap sepak bola tak hanya terjadi di barisan para ulama, intelektual, dan pejabat publik kita. Para pemikir dan sastrawan Barat pun demikian. Albert Camus pernah mengatakan andai ia disuruh memilih teater ataukah sepak bola? tanpa keraguan saya akan memilih sepak bola, ungkapnya. Pun demikian dengan Orhan Pamuk dan George Orwell.
Namun, sebagai buku pengantar awal, tentunya karya Amir Machmud cenderung lebih ringan daripada karya-karya lain yang “lebih” filosofis-historis semacam karya Romo Sindhu, Eddward S Kennedy, Zen RS, Pangeran Siahaan, dan Mahfud Ikhwan. Walaupun kedua unsur (filosofis-historis) tersebut juga ada di dalamnya. Sebagaimana yang diungkapan Amir Machmud sendiri dalam sekapur sirihnya bahwa ia tak hendak membuat rumit sepak bola dengan berbagai telaah di belakang panggungnya, sedangkan sejatinya ia hanya permainan yang bertujuan untuk dinikmati dan menenbar nilai-nilai sportsmanship; saya hanya ingin mengajak para pembaca menghayati lebih dari sekadar sepak bola (halaman 5).
Dalam kacamata Amir Machmud, sepak bola dipandang sebagai ide, impian, cita-cita, daya hidup, dan gambaran perilaku manusia dengan segala drama suka duka tentang kehidupan itu sendiri (halaman 3).
Baca juga:
Meskipun judul buku menampakkan frasa Sepak “Dolar” Bola serta judul kecil Manusia dalam Induistri Sepak Bola. Janganlah takut untuk membacanya sebab dalam buku tersebut tak akan Anda temukan pernak-pernik teori ekonomi Adam Smith atau pun hal-hal yang sangat kalkulatif-akuntatif. Pastinya, yang tak menggemari matematika dan statistika akan pergi jauh sebelum mendekat, bila konsep berpikirnya demikian.
Beragam Kacamata
Namun, memang ada beberapa kolom yang cenderung mengedepankan kacamata uang dalam membaca skema dunia sepak bola. Sebut saja salah satu contoh kasus yang pernah menimpa sosok Jose Mourinho. Mou pernah diusir dari bumi Stamford Bridge pada tahun 2007 oleh Roman Abramovich karena tak kunjung mempersembahkan trofi Eropa. Lalu, Abramovich meminangnya kembali pada tahun 2013 setelah Mou menampakkan sinyal ketidaknyamanannya di bumi Santiago Bernabeu.
Padahal di sisi lain, ada sosok Rafael Benitez, pelatih interim Chelsea, yang baru mempersembahkan piala Europa League. Menurut Amir Machmud, normalnya, fans The Blues harusnya mendesak Abramovich untuk mempermanenkan status Rafa dan menghapus predikat interimnya bukan malah mendepaknya. Namun, karena aura kebencian lebih menguasai hati fans The Blues lantaran Rafa pernah menangani Liverpool, mereka pun acuh tak acuh terhadap prestasi nyata yang telah diberikan Rafa. Pun demikian dengan Abramovich hal itu tak lagi penting. Yang lebih penting, ia ingin menunjukkan: dengan uang bisa memecat dan membeli siapa pun (halaman 110). Abramovich memaparkan satu contoh bahwa akan selalu ada “kuasa uang” di dunia sepak bola.
Lantas, kerangka berpikir dan norma yang berlaku di lapangan hijau akan menjadi seperti ini: Atas nama industri sepak bola, masa depan dan nasib akan terkalahkan oleh mantra “menang” dan “kalah”, lalu mantra itu pun tertindih oleh kekuasaan yang bernama “uang” (halaman 102). Tentulah, pada hakikatnya setiap pelatih dan pemain berada di tengah pusaran arus yang demikian.
Kacamata Manusiawi
Selain sebagai rujukan buku pengantar. Kesan lain yang juga saya rasakan dari tiap kolom ke kolom adalah keberhasilan Amir Machmud menarasikan sepak bola dengan cara “paling” manusiawi. Sepak bola di tangan Amir Machmud tak hanya digambarkan sebatas ajang perebutan kemenangan dan menghindari kekalahan, peran pelatih, pemain, uang, dan suporter. Tak berlebihan bila sang penyunting di mukadimahnya membubuhkan judul Menulis dengan “Kecerdasan” Rasa.
Iya, bagi Amir Machmud para pesepak bola harus kita pandang utuh sebagaimana mestinya dan seharusnya “mereka masih manusia dan akan terus menjadi manusia” maka apa yang disebut rasa tak akan pernah lepas dari mereka. Jadi, cinta, kebahagiaan, kesedihan hati, bahkan kegilaan manusia dari buncahan kegairahan, kegelisahan, kegalauan, juga keputusasaan dan harga diri semua itu tak akan pernah bisa dinafikan dalam ruang dada dan dunia mereka. Sejatinya para pencinta sepak bola harus memandang mereka dengan kacamata kemanusiaan, paling tidak agar tak ada penjajahan terminologis terhadap para pelatih ataupun pemain, yang hanya dipandang sebagai pengiring bola, uang, dan gelar. Serta padangan pragmatis lainnya yang cenderung memuncak pada pola tindakan nirkemanusiaan.
Berkat kacamata “kemanusiaan” yang dipakai Amir Machmud untuk melihat lebih dekat sisi lain sepak bola, ia berhasil melarikan diri dari jeratan fanatisme seorang fans. Amir Machmud berhasil menjadi Milanisti (sebuatan untuk fans Ac Milan) yang baik saat membicarakan Ac Milan. Bergitu pula saat berbicara Real Madrid, ia hadir sebagai Madridista sejati. Pun saat menarisakan Manchester United secara ajaib ia akan menjelma Manchunian sejati. Begitu pula saat membahas Inter Milan, Chelsea, Barcelona, Bayern Munchen, dst. Amir Machmud selalu berhasil menjadi fans yang sejati. Inilah keajaiban yang saya temukan di setiap kolomnya.
Entah sejak kapan dunia sepak bola secara diam-diam mulai mencuri waktu Amir Machmud. Namun, saya yakin di luar kecintaannya terhadap dunia literasi dan profesinya sebagai wartawan, sepak bola punya ruang tersendiri di kesehariannya. Tak ayal, bila meyakini apa yang ia tulis adalah rentetan sejarah yang telah lama berdiam di ingatannya. Amir Machmud merupakan salah satu saksi sejarah sepak bola dunia.
mantap sekali