Sekolah Penggerak menjadi narasi baru untuk menggambarkan pendidikan yang ideal. Program ini diharapkan menghasilkan ekosistem yang menusiawi dan progresif dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, realitas di lapangan justru menunjukkan kebuntuan. Sekolah Penggerak hanya menyentuh tatanan birokratis dan abai pada substansi utama. Sekolah Penggerak hanya memberi intruksi pergerakan, tapi tidak pernah berupaya melakukan gerakannya sendiri. Sekolah-sekolah justru hanya menjadi Sekolah Penggerak yang mangkrak.
Di salah satu kecamatan di Bangkalan, Madura, terdapat satu Sekolah Penggerak dan koordinator Guru Penggerak. Sekolah ini menjadi salah satu lokasi penelitian skripsi saya. Oleh karena itu, saya sedikit banyak mendapat data lapangan terkait Sekolah Penggerak.
Baca juga:
Pada suatu momen, terjadi bentakan-bentakan keras oleh seorang Guru Penggerak kepada siswa. Guru Penggerak itu marah-marah hingga matanya memerah. Alasan guru itu marah ternyata karena siswa-siswa di hadapannya tidak memasukkan baju mereka ke dalam celana dan memotong rambut sesuai aturan sekolah.
Di satu sisi, para siswa itu memang melanggar aturan sekolah. Namun di sisi lain, guru itu terkesan berlebihan dan cendurung masuk dalam ranah perundungan yang menyudutkan. Perundungan antara guru dan siswa cenderung terlihat samar. Menurut Michel Foucault dalam buku Power/Knowledge, terdapat relasi kuasa yang timpang antara keduanya. Lantas, apakah memang demikian cara kerja Sekolah Penggerak, merundung siswa yang merupakan subjek utama berjalannya pendidikan?
Di Mana Pendidikan Humanis?
Sekolah Penggerak harusnya menjadi lanjutan harapan pendidikan yang humanis. Secara substantif, program ini adalah upaya untuk mencapai tujuan pendidikan yang berdaulat, mandiri, dan menghasilkan para pelajar Pancasila. Akan tetapi, bagaimana mungkin para pelajar mampu memahami makna “kemanusiaan yang adil dan beradab” jika mereka dididik dengan cara dibentak?
Maka dari itu, Sekolah Penggerak berupaya membangun pondasi pendidikan yang merujuk pada perbaikan ekosistem, pedagogi, guru, kurikulum, dan sistem penilaian. Bagian ekosistem merujuk pada tahap-tahap pencapaian lingkungan belajar. Mulai dari tahap satu, lingkungan belajar masih menjadikan perundungan sebagai norma. Di tahap dua, perundungan tidak menjadi norma. Di tahap tiga, mulai tidak ada lagi perundungan di lingkungan sekolah. Dan di tahap empat, sekolah menjadi lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan membahagiakan.
Namun, pada kenyataannya Sekolah Penggerak cenderung mangkrak dan tetap berada di tahap satu. Perundungan masih menjadi norma. Menurut Mansour Fakih dalam buku Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, norma yang teregulasi dalam bentuk aturan sekolah menjadi acuan perundungan oleh guru sebagai pembuat norma kepada siswa sebagai kalangan yang menjalankan norma.
Konteks ini merujuk pada data lapangan yang sempat saya temui di Sekolah Penggerak di Bangkalan, Madura. Dari sini setidaknya dapat terlihat bahwa sumber daya manusia para agen Sekolah Penggerak, seperti guru dan kepala sekolah, belum menatap tajam substansi dari konsep Sekolah Penggerak. Sekolah Penggerak yang harusnya terus bergerak dinamis, justru seakan mangkrak tak bergerak.
Mencari Titik Temu
Setidaknya, kepala sekolah dan guru harus menemui titik temu jiwa yang ayom dan manusiawi kepada siswa sebagai subjek utama pendidikan. Pembuatan aturan, kurikulum, dan model teknis pembelajaran perlu melibatkan siswa secara substantif. Dengan begitu siswa merasa dilibatkan, menjadi hidup, dan benar-benar menjadi subjek pendidikan.
Perlu disadari bahwa siswa bukanlah objek pasif yang menjadi bahan eksperimen berbagai bentuk kebijakan sekolah. Siswa bukanlah hewan yang ketika melakukan kesalahan layak dipukuli, digunduli, dan dipisuhi.
Baca juga:
Siswa perlu mengambil peran dalam menggerakkan sekolah agar benar-benar menjadi Sekolah Penggerak. Pada momen ini, kepala sekolah sebagai pimpinan harus menjadi mediator, guru menjadi pendidik yang rendah hati, dan siswa sebagai eksekutor akar rumput.
Kolaborasi yang interpersonal antara kepala sekolah, guru, dan siswa akan menghasilkan gerakan pendidikan yang lebih signifikan, sebab tidak ada sekat birokratis yang terlalu tebal antara agen Sekolah Penggerak tersebut.
Oleh karena itu, berbagai persoalan belajar dan kejanggalan-kejanggalan pendidikan seperti perundungan, pelecehan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kemurkaan guru dapat diredam dan diatasi secara bersama-sama dengan nuansa pendidikan yang menyejukkan.
Sejatinya, pendidikan adalah arena yang membahagiakan jika agen-agen di dalamnya saling berkolaborasi untuk menghasilkan kebahagiaan dalam belajar. Kepala sekolah, guru, dan siswa adalah jantung yang menghidupkan pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan siswa adalah roda gigi kendaraan yang menggerakkan pendidikan. Sekolah Penggerak akan bergerak jika kolaborasi antara kepala sekolah, guru, dan siswa terjalin secara harmonis dan saling memanusiakan. Maka dari itu, bergeraklah!
Editor: Prihandini N