Pedagang Martabak dari Mars

Sekolah Penghasil Kemiskinan

Alfian Bahri

2 min read

Seluruh harta kekayaan negara, hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya, namun hatiku selalu bertanya-tanya, mengapa kehidupan tidak merata? Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Begitulah tulis Rhoma Irama dalam lirik lagunya.

Rudi anak tukang ojek online, rumah kontrak di kampung sempit. Ibunya adalah ibu rumah tangga dengan tiga anak usia sekolah, dan sering dagang tahu isi dan gorengan di kampung-kampung. Sementara, Rafathar anak seorang pegawai negeri. Sepulang sekolah sudah harus ke tempat bimbingan belajar. Saat pulang bimbel, selalu naik ojek online. Uang saku dan kuota internet selalu tercukupi. Rudi dan Rafathar satu sekolah dan satu kelas. Mereka bertemu karena ada sistem zonasi saat pendaftaran.

Dari ilustrasi di atas, apa ada kesempatan yang sama bagi keduanya dalam akses kesempatan pendidikan? Di permukaan, terlihat gurunya sama, fasilitas sama, buku bacaan sama, dan akses lainnya juga sama. Kalau Rafathar bisa, mengapa Rudi gak bisa? Saat pernyataan semacam itu timbul, sesungguhnya ilusi agung sekolah sedang berjalan dan mitos kesetaraan kesempatan berproduksi. Padahal, keagungan sekolah dan kesetaraan kesempatan itu mengandung  kebiasan yang cenderung palsu.

Perlu disadari dari awal, budaya dalam sekolah selalu memiliki tuntutan dan syarat saat praktiknya. Entah itu berupa capaian prestasi atau lainnya, tuntutan dan syarat tersebut lebih mudah disikapi oleh kalangan elite. Karena memang mereka sejak awal telah memiliki kapital budaya dan kapital ekonomi untuk hal itu. Dalam istilah populer, permasalahan ini bisa disebut privilise.

Sekolah yang pada hakikatnya dimaksudkan untuk menghadirkan kesetaraan kesempatan pendidikan, nyatanya justru jauh panggang dari api. Kalangan miskin tidak pernah berada pada posisi setara sejak awal. Sebab, kalangan elite lebih mudah memperoleh akses perihal bimbingan belajar, buku ujian, bocoran soal, fasilitas tambahan, dsb.

Mengapa permasalahan mendasar dan mencolok ini terus berjalan dengan lancar? Piere Bourdieu menyebutnya kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu kekerasan dalam bentuknya yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, sebaliknya malah mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial.

Saat mendengar kata sekolah, guru, dan masa depan, pasti terbentuk anggapan bahwa sekolah sumber pengetahuan dan keagungan; guru itu maha tahu, harus dihormati, ia adalah sumber pengetahuan, dsb; sementara buku-buku itu isinya kebenaran; dan semua itu untuk masa depan. Itulah kekerasan simbolik menurut Bourdieau. Tertanam dalam benak-benak individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran.

Masyarakat secara sadar menerima dan mengkultuskan kekerasan simbolik tersebut (doxa). Padahal simbolisasi yang mereka pahami itu sulit didapatkan dan lebih tidak pernah untuk kalangan bawah. Selama ini mereka hanya dimabukkan oleh ilusi simbol budaya sekolah.

Praktik sekolah selama ini tidak pernah menjadikan latar belakang sosial keluarga dalam perhitungan model komunikasi pedagogi. Akibatnya, sekolah beserta hierarki strukturnya hanya akan mengkambinghitamkan kemampuan, bakat, atau kepribadian peserta didik. Itu sebabnya yang selalu diutak-atik adalah kurikulum beserta tetek bengeknya.

Baca juga: Kurikulumnya Prototype, Sistemnya Gaya Bank

Lihat saja dari pola asesmen. Apakah saat asesmen, sekolah memasukkan faktor ekonomi, kondisi keluarga, jumlah uang saku, kuota internet, orientasi bersekolah, serta latar belakang lainnya dalam landasan penilaian dan evaluasi? Jelas tidak. Dari sinilah sebenarnya pemenang ranah pendidikan sudah diketahui. Lalu pada akhirnya, mereka akan mewariskan kemenangan itu dan memproduksi kekerasan simbol seluas-luasnya.

Memutus Rantai

Keberhasilan yang dijanjikan sekolah agaknya cuma ilusi bagi kalangan bawah. Alih-alih memperbaiki taraf hidup, pendidikan justru semakin memiskinkan.  Di benak masyarakat, seakan sekolah membuka kesempatan sama bagi semua lapisan. Padahal, budaya sekolah selalu memiliki tuntutan dan syarat bila ingin mendapat tempat terhormat dari pendidikan (prestasi dan kedudukan). Inilah yang disebut pertarungan modal.

Jadi, pra-andaian bahwa semua peserta didik memiliki kesempatan yang sama adalah keliru. Selalu ada peraturan di dalam ranah. Dan kelas elite lebih siap dengan kapital budayanya (privilese). Sementara kalangan bawah hanya mendapatkan ilusi kesetaraan dan keagungannya.

Kalangan bawah akan terus menghasilkan kalangan bawah, begitupun  sebaliknya. Cita-cita simbolik sekolah, bahwa sama dalam kesempatan agaknya benar-benar hanya mitos. Jadi jangan heran, bila berita anak buruh tani jadi profesor merupakan berita besar yang mewah di negara yang kesenjangan sosialnya melebar. Karena memang selama ini, pada umumnya pendidikan selalu menguntungkan kalangan elite, dari kalangan elite untuk kalangan elite. Dan itu sifatnya terwariskan dan membuai banyak orang.

Memang, kesenjangan sosial hampir terjadi di setiap negara. Angka kesenjangannya saja yang membedakan. Tapi, itu bukan berarti harus diterima sebagai suatu kewajaran hidup atau konsekuensi modernitas. Kesenjangan harus disikapi serius, holistik, dan kompleks.

Kita sama-sama harus mulai sadar, bahwa sekolah turut andil besar dalam reproduksi kesenjangan tersebut. Karena jelas kecil kemungkinan peserta didik dari kalangan bawah menang dalam pertarungan modal dalam ranah pendidikan. Yang nanti pada akhirnya akan menurunkan warisan budaya kelasnya.

Pemerintah harus serius dalam membuat kebijakan standarisasi sekolah. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menciptakan kelompok-kelompok sekolah yang kontras dalam budaya sekolahnya. Berapa banyak sekolah swasta yang lebih maju ketimbang sekolah negeri? Berapa banyak sekolah negeri yang timpang kedudukannya? Berapa banyak sekolah swasta yang dituntut sama seperti negeri?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar itu harus dijadikan refleksi pemerintah. Kesempatan yang sama dalam pendidikan harus dibentuk-nyatakan. Memang, ini merupakan masalah kompleks dan pelik. Tapi pemerintah setidaknya bisa memulai dari meminimalisasi kemudahan akses yang melibatkan modal. Hanya dengan begitu, kesenjangan sosial yang dihasilkan sekolah bisa ditekan seminimal mungkin.

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email