April Mop
Aku tergesa-gesa ingin bertemu dengan April
dengan 29 dan jepret pertamamu tentang kopi yang begitu kau sukai
Pun tentang cerita-cerita yang enggan kuakhiri
(Entah apa jadinya jika kita teruskan keinginan mengungkap alegori gua Plato, di saat kita sudah bosan dengan cahaya dan kehangatan yang kita buat dari ilusi.
Pun sejak potret itu aku jadi tak setuju dengan Dekart yang terus berbicara tentang aku, aku, aku, seolah yang di luar kendali pun tak lebih penting dari apa-apa yang terkendali oleh aku, aku, aku: bukankah para stoik amatir bilang begitu?)
Aku tak ingin Maret cepat berlalu
Aku tak mau melepaskan dering telepon darimu malam itu
Yang pada akhirnya membawaku pada kesadaran
bahwa kau adalah ketiadaan
(Sebab lama selepas April waktu itu, kujumpai kau selayaknya dunia yang mengalir, dunia yang air, dan aku tenggelam dalam ketertakhinggaan yang terproyeksi seketika kau masuk dan menunjukkan padaku gua yang kata mereka palsu itu.
Aku melihat cahaya, melihat api, terpana akan pendapat-pendapat klise soalmu: bagaimana bisa mereka begitu tabu?)
Maret dan April adalah persimpangan
Serupa zebra cross atau lampu merah atau detik-detik lampu lalu lintas
Aku menghitung waktu
Aku menghitung jumlah pernyataan yang mampu menjawab alasanmu tak sampai pada Mei
Tapi lampu merah bisa berhenti,
Lampu hijau bisa nyala kembali
Sementara itu, aku belum selesai menyeberangi jawaban ini
(dan bersepakat dengan Chairil: aku tak tahu apa nasib waktu.
Apakah mengalir seperti air, apakah lingkaran sehingga kita bertemu pada masa yang berulang, ataukah hanya mesin-mesin ilusif ciptaan sebuah perusahaan?)
–
Do I Wanna Know if There Are No Words that Can Save Us?
Di hadapanmu,
sekali lagi maafkanlah karena aku sedikit merasa terpinggirkan dunia. but if you have a thought to leave me ingatkah kau ketika bilang, “kau pemeran utama di sebuah alun detak jantungku,” hmm? seketika aku merasa cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan tentang kau niat apa enggak ngomongnya waktu itu
however, if you (still) have a thought to leav(e)-ing me, have i along with you among hitam putih, fana merah jambu, and gazing at the pelangi di matamu; between rumah ke rumah; and in the ramai sepi, sehingga langitku tak lagi sendu? sebelum pada akhirnya kamu temukan arti rumah, setelah akhirnya kucatat nama kita dalam sejarah
wisata masa lalu kemudian menyadarkanku bahwa aku kesal sama waktu, tepatnya ketika angin kencang membawa kau tatkala surya perlahan menghilang. menghadapi itu, ada perhaps tonight we’ll be fine. but how’s tomorrow, when we’re running out of time? and i wasn’t prepared to let you go, though i know i should to let you go at anytime
i hope i can say, “i don’t care no more, so don’t you worry, my whole 505”. yet i just couldn’t save you tonight.
–
Sudah, Sudah
Seperti yang sudah-sudah, sayangku, akan selalu ada ledakan sederhana yang mengenai lubukmu, dan ledakan itu makin menganga di sudut-sudut legam kepalamu
Tapi aku bersyukur kamu masih bisa berteriak di dalamnya, seraya menyanyikan Good Riddance yang membuat matamu kembali gersang
Sesekali, tentu tak apa, jika kau tak bisa tidur dengan berbagai disforia yang membentang sepanjang malam, dan sebaliknya kau menghalau itu dengan tidur kusut seharian
Namun kalau sudah dua kali atau lebih, sebaiknya kau dapat meletakkan benang-benang di kepalamu itu pada tanganku, dan aku akan menyulapnya menjadi sulaman yang berisi playlist-playlist tentang jalan-jalan menuju bagaimana mentersenyumi duka-lara
Omong-omong, bagaimana dengan merenungi berbelas-belas lagu maskulin milik Dewa 19, Dewa 20, atau yang lebih banyak lagi? Atau lebih sedikit dari Sheila On 7—Sheila On 6, misalnya? Ya terserah. Tetap saja, aku bersikeras, marilah kita urai kekusutan ini dengan menenun detik-detik musik menjadi hari-hari tanpa sedu sedan.
–
Berulang Baru
Biar lah riuh. Biar lah sorai
Kali ini mataku menyepi pada kamu, Iwan
dan pada Fakhrunnas yang berulang tahun berbarengan
Akan kupantik lilin perayaan
Juga buku-bukumu
Biar nyala
Nyala di sadarku
Walau tak ada yang bertepuk tangan
Tak ada yang menyanyikan tiup lilinnya
Suaraku berkisar pada namamu
Topi-topi kerucut berdansa
terinjak kehampaan
Kembang api tak lagi berpijar
mekar gemetar
Apa yang kulewatkan, selain hari ulang tahunmu?
Apakah tahun lalu yang berulang baru?
Apakah kembang api yang tak nyala apinya?
Apakah terompet yang tersumpal lubangnya?
Lantas apa arti riuh, sorai,
jika belum juga kau selesaikan ulang tahun yang lalu?
–
Seporsi Gula
Berapa banyak porsi gula yang kau taburkan pada ujung bibirmu?
Aku bertanya-tanya
Apakah bisa aku pesan rasa matcha?
Senyummu itu manisan
Ada kandungan buah serta permen padanya
Tapi aku masih bertanya-tanya
Adakah yang rasa haru, warna biru,
serta yang menyesatkan?
Aku ini semut yang tak tahu
Di balik senyummu,
apakah menyiratkan tentang gelisah,
atau barangkali resah yang kau tata satu-satu
dalam sekoci tawa yang kau hadirkan tanpa ragu
Aku ini semut yang suka senyummu
Aku suka mengerubunginya tiap waktu
Tak peduli senyummu ini sedih bahkan pedih
Biar begitu tetap semanis nektar di pucuk bunga.
*****
Editor: Moch Aldy MA