Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Dorongan moral, etis, dan semangat kerja-kerja kolektif merupakan inti semboyan pendidikan Indonesia gubahan Ki Hadjar Dewantara tersebut. Pertanyaannya, apakah semboyan itu telah diterjemahkan dalam kehidupan pendidikan Indonesia termutakhir?
Guru turut mengarungi perjalan kehidupan bangsa Indonesia. Dari situ, mereka yang disebut pendidik menyerap dan membagikan energi perubahan. Profesi Guru sebagai pedagog adalah kreator peradaban. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan kalau kualitas seorang guru merupakan gambaran bagaimana kualitas sebuah negara.
Baca juga:
Jika melihat kualitas bangsa Indonesia hari-hari ini, sepertinya pendidikan atau pedagogi masih jauh dari cita-cita Ki Hadjar Dewantara, utamanya soal memanusiakan manusia. Sebagai penuntun peradaban, guru seakan tak tahu langkah apa dan jalan mana yang musti ditempuh agar pendidikan menghasilkan generasi penerus bangsa yang memanusiakan manusia.
Pendidikan yang Feodal
Idealnya, hubungan antara guru dan murid ialah hubungan antar teman berpikir. Dalam hal ini, keduanya adalah insan akademis yang punya kedudukan setara. Pendidikan yang memanusiakan manusia berarti pendidikan yang menempatkan guru dan murid setara dalam aktivitas berpikir, menentukan sikap, menyampaikan gagasan, bahkan saling bertukar bantahan.
Namun, pada praktiknya, peran guru sebagai kawan bernalar siswa masih dibatasi dan dikendalikan oleh alam pikiran feodalistik. Hubungan guru dan murid masih diwarnai dengan dikte-dikte arogan karena sikap ingin menguasai, tak mau dibantah, dan gila hormat yang terpelihara dalam alam bawah sadar seorang pendidik.
Lebih dari 77 tahun berlalu pasca kemerdekaan, bangsa kita belum kunjung mendapatkan obat yang mujarab mengikis watak-watak feodal pada diri para pendidik. Alih-alih mendidik, guru yang feodal hanya akan memberikan doktrin, ilmu-ilmu usang, dan pemikiran yang tidak kritis kepada muridnya.
Tidak cuma itu, mereka turut mewariskan watak antikritik, gila hormat, dan merasa aman dalam situasi kenyamanan (tak ingin diusik pikirannya) kepada para murid. Nah, bagaimana pendidikan bisa berkembang kalau guru-gurunya masih tunduk pada mindset feodal?
Pendidikan dan Negara
Omongan soal relasi negara dan pendidikan tampaknya membuat banyak orang murung dan mengerutkan dahi. Banyak sekali problem di sana; dan sialnya, semuanya sama genting sehingga sulit menentukan hendak mulai menuliskannya dari mana. Kalau boleh usul satu kata kunci, barangkali kita bisa berangkat dari persoalan kesenjangan antara apa yang tertulis dan apa yang dipraktikkan.
Kebijakan-kebijakan negara terkait pendidikan bisa saling tumpang-tindih dan inkonsisten antara satu dengan yang lain. Sudah begitu, praktik dari kebijakan yang sudah kusut ini pun jadinya sering cuma setengah-setengah. Di tengah karut-marut ini, para guru kian kesulitan mengekstrapolasi kebaruan-kebaruan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat dibutuhkan oleh para siswa.
Alih-alih fokus mendidik, guru sudah kadung lelah berkutat dengan urusan administrasi dan pemenuhan kebutuhan hidup mereka masing-masing. Terlebih, belakangan marak pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di bidang pendidikan yang menjadikan penghidupan para guru, terutama yang masih berstatus honorer dan PPPK, kian tak terjamin. Ini adalah cerminan bagaimana negara telah gagal mengasuh dan merawat guru-guru yang berkualitas.
RUU Sisdiknas yang akan menganulir UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen mengancam hilangnya perlindungan bagi guru dalam menjalankan tugas mereka. Belum lagi, kurikulum pendidikan kita bisa sewaktu-waktu berubah yang membuat para guru kelimpungan. Problem-problem ini kian menambah daftar panjang kebobrokan kebijakan negara di dunia pendidikan.
Lebih lanjut, melalui kurikulum pendidikan yang sifatnya formalistik, negara mengobyektifikasi guru. Pada perkembangannya, guru lanjut mengobyektifikasi murid. Perkara obyektifikasi ini erat kaitannya dengan capaian-capaian pendidikan yang tak masuk akal dalam kurikulum. Di hadapan kurikulum, baik guru maupun murid dipandang sebagai obyek pemenuh capaian semata ketimbang subyek yang berpartisipasi aktif dalam merancang dan menentukan arah pendidikan.
Baca juga:
Pendidikan multikulturalisme dapat dijadikan kerangka berpikir untuk menyelesaikan masalah-masalah pendidikan itu. Pendidikan multikulturalisme merangkul keberagaman dalam semangat kesetaraan untuk berbenah dari kesalahan-kesalahan yang telah lalu sembari menata pendidikan kita untuk mempersiapkan masa depan.
Namun, agar bisa berjalan, pendidikan multikulturalisme harus terlebih dulu sampai ke telinga para guru, murid, dan negara. Dari situ, bersama-sama kita musnahkan sifat angkuh, arogan, dan antikritik dari pendidikan. Kemudian, negara harus berkomitmen membuat dan menjalankan kebijakan pendidikan yang konsisten, masuk akal, dan memanusiakan.
Editor: Emma Amelia
PPPK justru menjamin kehidupan para guru. Gaji P3K itu setara ASN. Kalau punya serdik, bisa tembus 7jutaan. Kurang kuat basis datanya.