Sekat-Sekat Tak Kasat Mata di Media Sosial

Muhamad Anugrah Pratama

4 min read

Akhir-akhir ini, saya merasa orang-orang makin sering terpecah dan tersulut emosinya saat membicarakan suatu isu di media sosial. Bahkan sering kali terjadi penyematan label dan stereotip, argumen seseorang seakan-akan dapat menggambarkan seluruh persona dirinya, seperti gaya hidup dan perilakunya. Hal ini membuat saya bertanya-tanya: mengapa netizen hampir selalu mempertahankan mati-matian keyakinan dan perspektifnya di media sosial? Mengapa netizen lebih mudah tersulut emosinya saat menghadapi perbedaan pendapat di dunia maya? 

Tujuan orang-orang bermain media sosial kemungkinan besar cuma untuk mengisi sedikit waktu luang, mengonsumsi candaan-candaan “receh”, melihat foto-foto kucing lucu, mendapatkan berbagai macam rekomendasi, atau berinteraksi dengan teman dan sesama netizen. Menurut survey dari Kemkominfo dan KataData 2021, dari 11.000 responden pengguna sosial media, 72.7% di antaranya hanya ingin melihat-lihat atau mindless scrolling, dan 37.7% lainnya ingin berjejaring dan mencari teman. Namun, alih-alih merasa kebutuhan sosial terpenuhi, kadang kita malah harus menghadapi berbagai macam emosi negatif, seperti marah, lelah, iri dengki, atau cemas. 

Indonesia pernah dijuluki sebagai negara yang paling kecanduan Twitter pada tahun 2010. Pada tahun 2022, Sebanyak 191.4 juta orang atau 68.9% dari seluruh populasi Indonesia mengakses media sosial. Negara kita pun lumayan sering masuk 10 besar negara dengan durasi akses media sosial terlama, menghabiskan rata-rata 3 jam 17 menit per harinya. Dengan durasi akses yang lama dan banyaknya orang Indonesia yang mengakses, wajar jika kita bertemu banyak orang dengan pandangan berbeda ketika membicarakan berbagai macam isu di sosial media. 

Perbedaan Pandangan dan Sikap Militan

Orang-orang di seluruh dunia merasa media sosial berkontribusi terhadap meningkatnya polarisasi. Survei dari Centre for International Governance Innovation (CIGI) dan Ipsos menyatakan 58% responden Indonesia merasa bahwa media sosial makin memecah-belah. Dalam survey tersebut, beberapa negara lain seperti Kenya, Afrika Selatan, Turki, India, Hongkong, dan AS mengalami hal yang sama. Menurut survei dari Pew Research Center, 64% orang dewasa di AS menganggap media sosial membawa lebih banyak efek negatif daripada positif. Mereka menganggap media sosial meningkatkan polarisasi dan interaksi yang tidak sehat. 

Baca juga:

Mengapa netizen menjadi sangat argumentatif dan terpecah belah dalam membicarakan berbagai macam isu? Menurut hipotesis echo chamber (ruang gema), netizen terpecah belah karena mereka cenderung berinteraksi hanya dengan orang-orang yang memiliki keyakinan sama. Mereka tidak terpapar pendapat-pendapat yang berlawanan. Solusi yang ditawarkan untuk membuat interaksi di media sosial lebih sehat adalah dengan membuka diri kepada orang-orang dengan pola pikir yang berlawanan. Namun, bukti-bukti yang ada ternyata membuktikan sebaliknya. 

Pada tahun 2018, Bail et. al. dari Duke University melakukan eksperimen terhadap pendukung Partai Demokrat dan Republikan di Amerika Serikat dengan mekanisme setiap responden diberikan instruksi untuk me-retweet 24 twit dalam sehari selama 1 bulan. Namun, Bail et. al. membuat sebuah bot yang berisi informasi dan argumen yang berlawanan dengan pandangan politik responden, semua responden akhirnya terpapar pandangan politik lawannya. Hasil dari eksperimen ini menyatakan bahwa penudukung Partai Demokrat yang me-retweet twit dari bot Republikan memiliki keyakinan yang semakin kuat terhadap liberalisme, begitu juga sebaliknya, Republikan menjadi semakin konservatif. 

Sebaliknya, penelitian yang dilakukan pada tahun 2019 menyimpulkan bahwa echo chamber dapat mengurangi polarisasi dan mengubah pandangan seseorang menjadi lebih moderat. Eksperimen ini mengumpulkan orang-orang pendukung partai yang sama untuk menjawab pertanyaan mengenai isu-isu seperti imigrasi dan kepemilikian senjata api. Para responden dalam satu kelompok lalu berdiskusi dan diberikan 3 kali kesempatan untuk merevisi opininya. Ternyata, para responden malah melunakkan pendapatnya tentang suatu isu.

Permasalahan mendesak ini membuat platform media sosial tidak tinggal diam. Pada 2018, Twitter memodifikasi sistem algoritmanya dengan tujuan mengeluarkan penggunanya dari echo chamber. Hal ini dilakukan dengan menampilkan twit-twit yang bertentangan dengan keyakinan para penggunanya.

Niat baik Twitter untuk menjadikan platformnya sebagai ruang interaksi yang terbuka, aman, dan open-minded hanya menjadi sebuah angan-angan utopis. Kenyataannya, keterbukaan media sosial hanya menambah sekat-sekat tak kasat mata. Yang menjadi pertanyaan, mengapa semangat melawan manusia lain yang memiliki pandangan berbeda makin menjadi-jadi di media sosial? 

Media Sosial sebagi Melting Pot Perbedaan Pendapat

Kita pasti pernah berusaha mengoreksi argumen atau pengetahuan seseorang akan suatu hal. Saat merasa ada yang janggal, kita biasanya memaparkan bukti-bukti yang mematahkan argumen lawan bicara kita. Ada kalanya alih-alih mengakui kalau argumennya misleading, lawan bicara kita malah makin giat mempertahankan keyakinannya sambil marah-marah. Akhirnya hanya tersisa debat kusir yang tidak akan pernah mencapai titik terang.

Baca juga:

Manusia lebih mudah mengkritisi orang lain daripada diri sendiri. Mercier dan Sperber melakukan eksperimen dengan menginstruksikan responden untuk menjawab beberapa permasalahan logika dasar. Responden lalu diberikan kesempatan untuk membenahi kesalahan dalam argumen mereka. Kurang dari 15% responden yang mengoreksi argumennya. Pada tahap terakhir, peneliti memperlihatkan dua argumen dengan kesimpulan yang berbeda kepada para responden; yang satu dilabeli sebagai argumen si responden dan yang satunya lagi dilabeli sebagai argumen milik orang lain. 60% responden tidak lagi meyakini argumen yang pertama ia berikan. Dengan melabeli suatu argumen sebagai milik orang lain, para responden dapat lebih kritis melihat celah dalam diri mereka sendiri.

Beberapa bagian otak kita mengalami aktivasi saat menghadapi bukti yang berlawanan dari keyakinan.  Misalnya ketika responden yang mengaku dirinya liberal dihadapkan dengan beberapa bukti yang membantah argumen mereka di berbagai isu, politis maupun nonpolitis. Penelitian yang dilakukan oleh Kaplan, Gimbel, dan Harris ini menemukan ada beberapa bagian otak yang berperan untuk menimbulkan emosi dan perilaku defensif menjadi aktif saat melihat bukti yang membantah argumen seseorang tersebut. Salah satunya adalah anterior insula yang aktif pada saat seseorang merasa keyakinan dan pandangan hidupnya terancam akan roboh. Manusia merasa pandangan hidupnya adalah bagian dari identitas sosial yang melekat pada dirinya. Pada saat ada bukti yang membantahnya, eksistensi dan kepribadiannya seakan-akan ikut terbantahkan.

Jika di dunia nyata kita mengalami perbedaan pendapat dengan orang lain, kita bisa dengan mudah mengabaikannya. Tapi isu seremeh temeh apapun bisa berubah menjadi keributan besar di media sosial. Hal ini ada kaitannya dengan penilaian manusia terhadap moralitas dan perbedaan aspek ruang interaksi di dunia nyata dengan dunia maya. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Petter Tornberg, media sosial meningkatkan risiko terjadinya partisan sorting, bahwa perbedaan pendapat yang awalnya hanya terbatas pada isu-isu yang sifatnya makro, seperti calon presiden yang didukung, kebijakan militer, atau hukum imigrasi negara, jadi melebar ke hal-hal yang seharusnya netral. 

Tinggal bersama keluarga dan tetangga, contohnya, tidak menghindarkan kita dari perbedaan pendapat. Namun, biasanya perbedaan pandangan tidak tumpang tindih dengan hal-hal yang seharusnya tidak terpecah belah, seperti ras, agama, gaya hidup, dan kebudayaan lokal. Fans Bonek yang tinggal di Jawa Timur bisa saja memiliki lebih banyak kesamaan pengalaman hidup sehari-hari dengan fans Arema daripada fans Persib yang ada di Jawa Barat. Masih ada banyak ruang untuk berdamai dan bersinggungan. 

Media sosial membuat ruang-ruang netral tersebut menjadi kabur dan melebur jadi satu. Akibatnya, warganet yang awalnya tidak mengasosiasikan argumen seseorang dengan preferensi pribadi mereka, malah memberikan label dan stereotip tertentu yang belum tentu benar. Apalagi interaksi di media sosial tidak pernah benar-benar bisa menggambarkan kehidupan asli sebuah si pemilik akun

 

Editor: Prihandini N

Muhamad Anugrah Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email