1/
Syahdan. Kembali ke berabad-abad yang silam. Konon hiduplah seorang penyair muda yang pandai bertutur-kisah dalam kata-kata yang dirangkainya menjadi dunia sekitar, dengan pena lampu yang berpendar, dan tinta yang nyala bercahaya, di dalam kertas hitam, gelap itu bermakna — menyelam dari yang terselam di kedalaman gelap lautan.
2/
Penyair itu mencintai seorang putri, bernama Mazswa. Putri ideal dambaan orang pilihan, yang dikenal paling terpandang di kerajaan. Pada suatu malam, pernah ada seorang filsuf berkepala seribu cabang ilmu, datang merayu sang putri dengan berbagai jenis teknis nihilisme, dan berujung pada perjamuan anggur semata.
3/
Kamilah yang katakan; perasaan pada jalar akar itu, baiknya menjadi keniscayaan yang terpendam. Perkara Puteri Mazswa yang tidak diketahui bagaimana perasaannya; ikat saja dia ke dalam tulisan.
4/
Di dunia huruf; sang penyair membangun rumah kata yang terhijab menjadi gambaran; maka, nikmatilah kebenaran nasib yang kelak pasti akan datang perpisahannya, dan siapkan ucapan selamat tinggal untuk dunia yang khayali ini.
5/
Ketahuilah, sang putri sering kali berdiri dari balik jendela; memandang ke luar taman dan menanti seseorang. Tetaplah engkau kepada pendirian yang semula dasar penyair bodoh lagi zalim!
6/
Malam itu, di tepi danau, sang penyair merenung atas cemas akan pohonan tertanamnya tumbang di alam hati; hanya gagak yang lalu lalang, dan desir angin yang berjaga malam.
7/
Taklimat; saat lewat melihat anaknya sedang menyendiri, disambangilah oleh sang ayah, “Assalamualaikum!” katanya yang lalu wajib dibalas salam juga. “Aku menantikan ayah.” kata si penyair kemudian.
8/
Sang ayah menegakkan penyairnya. “Anakku, perkara apa yang terjadi denganmu?” katanya. “Apakah engkau dilahirkan untuk ini?” sang penyair keheranan, kemudian duduk mereka bersampingan; di tepi danau itu bulan melihat dan langit berkemilau bintang-bintang bersama para ikan mendengarkan begitu seksama.
9/
Resah yang melanda dada sang penyair adalah sebab ketidakmengertiannya dalam membaca bahasa kerinduan kekasihnya; Ah, dalam arti, betapa penyair itu lebih lemah dari dirinya sendiri. Benih-benih yang tertanam, dan telah tumbuh dari tanah ke langit menjulang tentu membutuhkan air hikmah untuk berbuah; ambilah air itu dan telan meskipun dari ludah orang munafik.
10/
“Wahai penyair, apakah aku belum memberitahumu?” sang ayah berujar; orang yang cantik tidaklah selamanya baik, tapi orang yang baik selalu cantik;
Oleh karena itu, kau cintailah kekasihmu sekadarnya saja! Siapa tahu dia akan bermusuhan dengan kamu nantinya?
11/
Sang penyair tertunduk diam, sebab celakalah bila dia mau mengelak dari nasihat, dan kebenaran yang pahit itu ditelannya tanpa seteguk air. Pasalnya, bukanlah kesulitan yang bikin si penyair takut tetapi ketakutanlah yang membuat kepribadiannya jadi kesulitan.
12/
Sejak dulu sudah aku katakan kepadamu; Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia; perkataan sang ayah merasuk hati sang penyair dan dimakannya. Sebagaimana perut, hatinya juga merasa teramat lapar.
13/
Sinar cahaya membakar ribuan butir debu dalam hati, dengan desir air rintik dan angin sejuk di gaibnya alam jiwa; O, alangkah anggun sang penyair itu dengan jubah, berjalan di bawahnya, bagaikan pangeran hujan.
14/
Tepuk bahunya, sadarkan dia! Anakku, jangan sekali-kali engkau terlalu berpikir akibat dari sesuatu keputusan atau tindakan; karena sampai kapan pun, itu tidak akan membuatmu jadi seorang pemberani. Jangan lagi engkau berkata, wahai Allah, aku punya masalah yang besar; sebab bila itu terjadi, maka terjadilah.
15/
Dalam kearifan drama tersebut sang penyair menyadari ada buah cahaya di lubang gelap alam hatinya; dua matanya jadi berbinar optimistis melihat peluang dalam segala kesulitan: bangkitlah dia dan menantang, “wahai masalah! Aku punya Allah yang Maha Besar.”
16/
Penyair itu memang pemalu, tetapi sadar begitu mencintai sang putri: manakah yang pantas dipilihnya? keyakinan ada dua aliran dalam satu lautan, atau kebimbangan antara tongkat itu kayu bakar atau ular?
17/
Lihat saja, kau begitu bodoh penyair! Orang-orang yang selalu bersama Allah tidak lagi menjadi penakut; Sebab mereka tahu angka sepuluh dan tiga yang kecil disulap menjadi tiga belas tetaplah kebenarannya angka sepuluh yang lebih bernilai. Tetapi sebaliknya, seseorang yang meninggalkan Allah, kepada siapa dia akan berharap?
18/
O, apa orang lain punya seribu saran mungkin, mestinya penyair ini diarahkan ke mana? Tidak lain, ia telah memasuki dirinya sendiri; menjadi hamba Sang Cahaya, di jalan yang lurus, bersama bintang-bintang; kehidupan akan bercerita tentang siang jadi malam dan malam jadi siang.
19/
Sampaikanlah pesan ini kepada sang filsuf; mengapa jadi angkuh begitu dirimu mendongak saat berjalan di lorong gelap itu; wahai filsuf! Kau bicara eksistensi manusia di bumi tercipta? Tak lain ialah karena cinta, dan siapa yang tak punya cinta di hatinya; Jalan buntu manakah yang mau ditujunya? Ada banyak jalan yang bercahaya menuju cinta sejati, dan jumlah jalan itu sebanyak makhluk yang diciptakan oleh Yang Mahamencintai.
20/
Katakanlah padaku, penyair muda mana yang bisa menahan panasnya api cinta? Jika cinta datang, pengetahuan jadi tidak lagi menarik untuk dibanggakan.
21/
Sang penyair muda itu berkicau salam sejahtera Anta Syamsun, Anta Badrun; bagaikan Ashabul Kahfi, yang dimatikan dan dihidupkan bersilam ratusan tahunnya membuat para ulama bersilang pendapat.
22/
Katakanlah (penyair) : “Tunggu saja, niscaya akan datang kabar-kabar itu kepadamu; kabar yang sama sekali belum kamu dengar. Kabar yang belum pernah kamu ikuti dan tiada pernah kamu ketahui kapan waktunya tiba; akan mendatangimu.”
23/
Tanyakanlah; kalian sedang berdiap dalam pentas drama wayang atau mau sampai berapa lama lagi berbicara takut kerugian dunia, azab neraka, dan keuntungan surga? Wahai para ulama!
24/
Ayo, mari, lihat di Lahul al-Mahfuz, telah tertulis segala sesuatu; derita baik dan buruk semua bergantung kepada Sang Penguasa, sebelum waktu bermula. Sebelumnya, kita tak ada, dan tak ada pula yang kurang. Sesudahnya, bila kita tiada, akan sama pula seperti semula.
25/
Takutlah hanya kepada Dzat Mahasuci yang memberikan azab sesuai ketentuan-Nya. Mahabijaksana Dia tidak memberatkan pikulan seorang hamba melebihi kemampuannya; Kemarilah hamba sahaya, bergabung bersama Rasulullah berdoa: Tuhan, berikanlah kami kebajikan di dunia, dan kebajikan di akhirat. Lindungilah kami dari azab neraka.
26/
Sang penyair berjalan ke danau dan melihat satu wajah yang lagi berujar atas nasib; O hati, tenanglah atas siksa ini walau kau begitu mendambakan kematian raga; dan jiwa yang merindukan pertemuan untuk pulang, itu sungguh bukan atas kuasa tanganku.
27/
“Beritahu dia!” sang ayah merangkul sang penyair. “Datangilah dia, tetapi ingat adab seorang tamu. Ia harus menerima suguhan apa pun yang diberikan oleh tuan rumah. Tunggulah di pintu sampai Putri Maszwa bersedia membukanya. Pada saat itu tiba; Gembiralah! Atas apa yang kamu lihat dan jumpai pada akhirnya.
***
Editor: Ghufroni An’ars