Kemampuan mendeteksi berita hoaks masih menjadi PR bagi generasi Z. Generasi yang dikenal sebagai digital native ini masih perlu menanamkan kemampuan literasi digital dalam aktivitas bersosial media mereka.
Beberapa waktu, The Conversation Indonesia menerbitkan sebuah artikel menarik berjudul “Digital ‘native’ atau ‘naïve’? Generasi Z di Indonesia cenderung percaya info dari pemerintah, tapi kesulitan mendeteksi hoaks”. Sebanyak 647 partisipan gen Z diminta mendeteksi hoaks terkait COVID-19 dalam 30 berita campuran informasi benar dan hoaks. Dari hasil penelitian tersebut, data statistik menunjukkan bahwa 83% dari mereka cenderung menganggap informasi yang diberikan itu benar walaupun sebenarnya hoaks.
Dari hasil survey tersebut, dapat disimpulkan bahwa Gen Z di Indonesia mampu mengidentifikasi dan menemukan sumber-sumber berita yang kredibel, misalnya yang bersumber dari lembaga-lembaga pemerintah. Namun, kebanyakan dari mereka masih kesulitan mendeteksi berita hoaks yang beredar di media sosial.
Pesatnya pertumbuhan literasi dewasa ini tidak berbanding lurus dengan kemampuan masyarakat kita dalam memvalidasi sumber informasi di media sosial. Padahal, literasi digital sangatlah penting. Pandemi Covid-19 semakin memperparah kepincangan literasi digital masyarakat kita. Saat awal pandemi, masyarakat cenderung mencari informasi mengenai virus Corona melalui internet.
Lahirnya berbagai media alternatif untuk mencari data ibarat dua buah mata koin, sumber-sumber alternatif memang dibutuhkan untuk memperkaya data, akan tetapi kredibilitasnya masih perlu dipertanyakan.
Oleh karena itu, masyarakat khususnya Gen Z cenderung mencari sumber informasi dari media yang punya otoritas karena mampu memberikan informasi valid berdasarkan data ril di lapangan. Selain itu, semakin masifnya misinformasi di media sosial dewasa ini, tentu menjadi PR masyarakat, media arus utama, dan pemerintah.
Media arus utama (mainstream) mempunyai kewajiban bukan hanya untuk menyajikan data berupa informasi, tetapi juga memberikan pengetahuan kepada para pembacanya. Kemampuan literasi digital menjadi softskill baru yang harus dimiliki masyarakat kita. Dikutip dari buku Peran Literasi Digital di Masa Pandemik (2021) karya Devri Suherdi, mengolah dan memanfaatkan informasi sesuai dengan kebutuhan dan porsi yang dicari adalah sebuah kecapakan. Kemampuan literasi media digital adalah bagaimana seseorang mampu mengomunikasikan informasi secara kognitif maupun teknikal.
Namun, masih ada beberapa miskonsepsi mengenai literasi dalam masyarakat kita. Ada yang beranggapan bahwa literasi itu hanya berkutat pada kemampuan membaca dan menulis. Faktanya, literasi menjangkau lebih dari itu, literasi mencakup segala lini kehidupan manusia.
Dalam 5-10 tahun terakhir, kata “literasi” banyak kita temui di media massa dan media digital. Bahkan, ada masa di mana kata “literasi” digunakan sebagai sinonim yang langsung bisa dipakai untuk kata “pengetahuan”.
Baca juga:
Literasi dan Persoalan Hidup
Hal yang tak kalah penting dari kemampuan membaca adalah aktivitas tersebut tidak semata-mata bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan teoretis. Membaca juga mampu meningkatkan hajat hidup pembacanya. Kehidupan sendiri tak bisa lepas dari masalah dan persoalan serta proses pencarian jalan keluarnya. Dan proses menemukan jalan keluar itu membutuhkan pengetahuan, salah satunya literasi. Aktivitas membaca itu sendiri sudah semestinya menjadi jawaban atas usaha pencarian pengetahuan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “mengapa aku membaca ini? Apa yang aku hasilkan dari bacaan ini? Mengapa bacaan ini penting untuk aku baca?” sekiranya perlu ada dalam benak kita, sebab upaya mencari tahu tujuan dari apa yang kita lakukan hendaknya memiliki orientasi menyelesaikan masalah.
Ini menjadi sebuah tantangan baru pada era literasi hari ini. Bacaan yang kita konsumsi harusnya sudah mampu melahirkan sebuah kebijakan atau mengubah paradigma keliru yang terjadi dalam masyarakat.
Jika beberapa tahun lalu membaca hanya menjadi sarana hiburan, refreshing. serta mengisi waktu senggang, hari ini membaca diharapkan mampu menjadi kegiatan wajib dan akan berdosa jika tidak dilakukan. Dalam hal ini, membaca bertujuan untuk melahirkan sebuah pemecahan yang dialami masyarakat kontemporer
Lahirnya suatu pergerakan dimulai dari literasi. Pergerakan dimulai dari apa mereka baca dan mereka pahami. Gerakan-gerakan feminisme, aktivisme lingkungan hidup, dll jika ditelusuri merupakan buah dari aktivitas membaca para penggagasnya yang kemudian berimplikasi dalam kehidupan sosial masyarakat hari ini.