Siang pekerja, malam membaca dan menulis.

Paradoks Media Sosial pada Era Kapitalisme Pengawasan

Andika Aji Mabroery

3 min read

Digitalisasi dalam berbagai lini kehidupan nampaknya memang digaungkan di negeri ini, mulai dari rencana pendirian bukit algoritma sampai pembelian bahan bakar kendaraan yang menggunakan aplikasi. Transformasi digital perbankan kita juga sempat ramai di media sosial. Dikatakan bahwa sistem digital perbankan kita lebih baik dari negara-negara berteknologi terdepan seperti Jepang dan Amerika. Pandemi Covid menjadi pemantik digitalisasi besar-besaran di negeri ini. Namun, nyatanya perlindungan privasi pengguna media sosial di negeri ini sangat rendah. Menurut laporan Times pada akhir 2018 silam, keamanan data kita saja dapat bocor oleh media raksasa seperti Facebook. Lalu, apakah digitalisasi ini hanya ilusi urgensi?

Investigasi New York Times menemukan bukti bahwa Facebook memberi kuasa kepada Netflix, Spotify, dan Royal Bank of Canada untuk membaca, menulis, dan menghapus pesan pribadi pengguna. Sementara Microsoft, Sony, dan Amazon dapat memperoleh informasi kontak teman-teman penggunanya.

Di negeri kita, sudah menjadi masalah umum bahwa data pribadi diperjualbelikan. Buktinya, kita sering kali atau bahkan hampir setiap hari menerima pesan orang tak dikenal yang mempromosikan sebuah properti, jasa, maupun wadah sosial seperti tempat penyumbangan anak-anak yatim piatu. Perusahaan mobil ternama, Ford, bahkan menyatakan bahwa data konsumen merupakan pendapatan utama yang setara penjualan mobil.

Laporan New York Times ini membuka kesadaran bahwa apa yang kita lakukan di media sosial sesungguhnya diawasi. Menurut ilmuwan sosial, Shoshana Zuboff, kita telah memasuki era model ekonomi baru, yaitu kapitalisme pengawasan. Nampaknya kapitalisme terus menerus memperbarui dirinya tanpa model ekonomi tandingan yang lebih baik dari segi menyejahterakan orang banyak. Atau, justru kapitalisme ini adalah model ekonomi terbaik?

Kapitalisme Pengawasan

Kapitalisme pengawasan, menurut Zuboff, pertama-tama bukan dilakukan oleh sebuah pemerintahan melainkan oleh pihak swasta. Ada pihak yang lebih kuat dari instansi negara untuk melakukan mata-mata dan pengawasan. Hal ini dilakukan bukan oleh badan intelejen bukan pula badan intelejen multilateral. Pengawasan juga bukan berdasarkan alasan politis dan ideologi, melainkan alasan bisnis atau ekonomi. Sasarannya bukan kelompok tertentu, melainkan hampir semua pengguna media sosial. Kita semua diawasi bukan karena mengancam atau berbahaya, melainkan karena dibutuhkan sebagai pemasok data dan objek periklanan korporasi tertentu.

Orang-orang bermain media sosial seperti Facebook, Instagram, atau Twitter mungkin untuk merasakan komunikasi tanpa sekat seperti tak perlu mengenal orang lebih dulu untuk saling memberikan pendapat dan opini; menyalurkan ekspresi kesenangan, kesedihan, kegeraman; atau untuk pengembangan potensi diri yang dimiliki.

Namun, menurut Lori Andrews dalam bukunya yang berjudul I Know Who Wou Are and I Saw What You Did: Social Networks and the Death of Privacy, media sosial juga menciptakan sebuah ruang bagi penggunanya untuk bisa mengawasi pengguna lainnya. Pengguna ini bisa saja individu, perusahaan, organisasi, atau bahkan negara. Dampaknya tidak hanya hilangnya hak privasi, tetapi juga berbagai hak lain seperti otonomi dan kebebasan di hampir setiap aspek kehidupan pengguna.

Dikutip dari Harian Kompas, menurut Agus Sudibyo, kita sedang menghadapi campur tangan dan pengendalian atas kehidupan pribadi pengguna medsos. Menurutnya, pengguna medsos tidak menyadari campur tangan pengendalian tersebut. Hegemoni media sosial membuat masyarakat awam mengira bahwa media sosial murni untuk ruang diskusi dan interaksi sosial. Masyarakat tidak menyadari bahwa perusahaan media digital melakukan pengawasan terhadap media sosial.

Kita dapat melihat sebuah paradoks di media sosial, yaitu di mana masyarakat mengharapkan ruang kebebasan dalam berkomunikasi dan berekspresi, tetapi di sisi lain ruang itu diawasi dan informasi-informasi tentang penggunanya diambil lalu diperjualbelikan. Data informasi ini merupakan kumpulan dari hal-hal yang kita unggah dan konten yang kita sukai seperti selera musik, makanan, fashion, serta pandangan politik kita.

Kehadiran kita di media sosial begitu ditunggu-tunggu sebagai pemasok data. Ada kemungkinan data kita dikomodifikasi melalui redistribusi kekuasaan pada era informasi. Kita memang kelihatan menggunakan media sosial secara gratis. Namun, sesungguhnya kita membayar dengan data pribadi seperti alamat, email, dan nomer telepon.

Baca juga:

Sisi Gelap Medsos

Monetisasi merupakan langkah selanjutnya setelah penambangan data. Hal ini merupakan permainan jangka panjang. Pengguna medsos dijadikan sebagai target iklan online. Data behaviour kita, seperti di mana kita mengakses internet, kapan kita berbelanja online dan membeli makanan melalui layanan pesan-antar terus diawasi. Perusahaan memiliki data ini untuk menganalisis profil dan memodifikasi perilaku kita untuk memperoleh keuntungan.

Turow, dalam The Daily You: How the New Advertising Industry Is Defining Your Identity and Your Worth, berpendapat bahwa pengawasan dan penambangan data yang dilakukan industri swasta mengarah pada diskriminasi sosial. Hal ini terjadi karena proses analisis data diubah menjadi evaluasi individu. Perhitungan nilai pemasaran setiap individu dihasilkan berdasarkan pada perilaku dan pelacakan data. Masing-masing individu ditargetkan sebagai target, sebagai agen pemborosan.

Pengawasan dan penggalian data tidak hanya menentukan untuk perusahaan, tetapi juga pada diri kita. Bagaimana kita melihat diri kita dan orang lain. Kita yang dianggap “kaya dan boros” menerima opsi dari target iklan yang menyempit dalam pesan iklan yang ditargetkan pada kita. menurut Turow, ini berdampak pada perasaan kita.

Kapitalisme  telah dibajak oleh proyek “pengawasan” yang menguntungkan sebagian orang. Pengawasan komersial dan negara menjadi hasil dari digitalisasi. Pengawasan semacam  ini menghasilkan hubungan kekuasaan yang asimetris dan tidak demokratis menurut Andrejevic.

Kita dipaksa tanpa adanya persetujuan syarat yang seharusnya muncul ketika membuat akun medsos, bahwa segala perilaku kita diawasi, dilacak, ditambang untuk kebutuhan analisis pasar dan komoditas. Jika hal ini dibuat, itu menggambarkan bahwa media sosial memiliki nilai demokratisasi data.

 

Editor: Prihandini N

 

Andika Aji Mabroery
Andika Aji Mabroery Siang pekerja, malam membaca dan menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email